SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Selasa, 18 Juni 2013

Bedah Rumah Polres Buton


Dalam rangka menyemarakkan HUT Bayangkara yang jatuh 1 Juli 2013 mendatang, dan peringatan pelayanan prima, maka Kepolisian Resort (Polrers) Buton menggelar sejumlah bakti sosial, diantaranya adalah bedah rumah yang kurang layak huni.
    Bedah rumah yang dilaksanakan di Desa Boneatiro, Kec.Kapuntori dipimpin langsung oleh Kapolres Buton, AKBP H.Fahrurrozi. “Kegiatan serupa sudah yang kelima kalinya diadakan, dan sudah delapan rumah yang di bedah, termasuk empat buah rumah yang ada di Desa Boneatiro,” katanya.
    Tujuan dari bedah rumah ini adalah untuk membantu ekonomi masyarakat, utamanya yang kurang mampu, termasuk meringankan beban ekonominya dengan cara memperbaiki rumah-rumah tempat tinggalnya.
     “Maksud kegiatan ini adalah agar ada kedekatan antara masyarakat dengan polisi, ada trust (kepercayaan) yang terbangun antara keduanya, termasuk menyerap keluhan dan permasalah-permasalah yang dialami masyarakat langsung dari tingkat bawah,” mantan Kabag Humas Polda Sulawesi Tenggara ini.
    Keempat rumah tangga tersebut selain mendapatkan bantuan perbaikan rumah, juga diberi bantuan dua sampan bagi dua kepala keluarga, dan 20 ekor ayam bagi dua kepala keluarga yang lain. Keluarga yang dapat sampan ini, karena keduanya hidup dari nelayan.
    Fahrurrozi mengakui, sebelum tim bedah rumah turun ke lapangan, atau sebelum penentuan lokasi dan rumah yang akan dibeda, maka terlebih dahulu turun survey, seperti yang dilakukan oleh Kapolsek dan Tripika Kapuntori.
    “Disamping itu, juga pihak kita mencermati keseharian warga yang akan dibeda rumahnya. Untuk memastikan tidak salah program, sehingga nantinya program bedah rumah betul-betul yang memiliki rumah yang tidak layak huni lagi,” imbuhnya.
   Selain bakti sosial dengan cara bedah rumah, kegiatan lainnya adalah sunnatan massal yang ditaretkan 200 orang anak, dan pengobatan massal bagi warga Kab.Buton, dan bagi-bagi sembako.
    “Event sosial seperti ini memang sumber dayanya diambil dari zakat mal bagi anggota Polres Buton, juga ada sumbangan dari masyarakat dan pihak lain yang tidak mengikat,” jelasnya.
    Jadi peringatan HUT Bhayangkara ini juga dimeriahkan dengan kegiatan olaharga, seperti bola volley dan tennis meja (khusus untuk internal), sedangkan kegiatan lainnya yang dapat diikuti masyarakat (eksternal) adalah tennis meja, dan beberapa cabang lainnya.
    “Acara puncak 1 Juli mendatang diadakan panggung hiburan di Pasar Wajo, sehingga masyarakat dapat menikmati acara hiburan tersebut,” katanya, seraya menambahkan dengan kegiatan seperti ini, maka tercipta hubungan yang baik, harmonis dan saling mendukung antara masyarakat dengan Polri. (nining)

BAUBAU - KOTA LAYAK ANAK

Baubau menyandang sekian banyak pengistilahan dalam pertumbuhannya dan silang strategisnya, mulai dikenal sebagai kota budaya dengan benteng keratonnya yang monumental, juga dikenal sebagai kota jasa, kota transit, dan lainnya.
    Sebagai kota transit, yang merupakan pintu gerbang teramai Indonesia timur setelah Makassar, maka Baubau tentu memiliki keragaman latarbelakang penduduknya, baik asal muasal, latarbelakang ras, suku, maupun latarbelakang profesionalisme.
     Seiring keragaman tersebut, maka pertumbuhan penduduknya pun juga semakin berkembang, apalagi kalau dibanding dengan kabupaten tetangganya, Baubau memang menjadi poros, termasuk diantranya adalah pusat pendidikan bagi wilayah peyanggahnya.
     Berdasarkan fakta-fakta itu, maka sungguh layak kalau Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Kerukunan Keluarga Berencana Nasional (BKKN) Kota Baubau, Darussalam, S.Sos.,M.Si., mencanangkan kota ini sebagai kota layak anak.
     “Salah satu tugas layanannya PP dan BKKBN ini adalah memperhatikan kondisi kebutuhan anak-anak, mulai dari anak-anak sekolahan, anak putus sekolah, pengamen dan anak-anak jalanan, akan diberdayakan,” ujarnya.
     Menurutnya, kota layak anak itu diartikan sebagai bahwa setiap anak, apa pun status sosial dan status pendidikannya, merasa aman, merasa nyaman, dan merasa bebas memperoleh hak-haknya sebagai seorang anak.
     “Sang anak merasa aman ketika berada di sekolah, atau merasa nyaman ketika berada di ruang-ruang publik,” ujarnya, seraya mencontohkan bahwa ketika seorang ibu melepas anak-anaknya ke sekolah, tidak merasa khawatir lagi. Sang ibu merasa aman ketika anaknya dalam perjalanan, karena dia percaya bahwa sepanjang perjalanannya dari rumah hingga di sekolah, ada polisi, ada Satlantas, ada pamongpraja, ada petugas perhubungan, dan memang ada petugas sekolah yang secara khusus ditempatkan di jalan-jalan masuk ke sekolahnya.
     Olehnya itu ke depan, dalam menjadikan Baubau sebagai kota layak anak ini, bukan hanya tupoksi dari PP dan BKKN semata, tetapi juga lintas instansi, ada kerjasama dengan Kepolisian, Dinas Perhubungan, Satpol PP, Dinas Pendidikan, dan pihak-pihak lain, termasuk kelompok-kelompok sosial masyarakat.
    Bahkan katanya ke depan, kota layak anak ini bukan hanya sekedar bicara tentang hak anak, tetapi juga bicara tentang kewajiban-kewajiban pemerintah, misalnya bagaimana pihak Badan Catatan Sipil dapat memberikan akte kelahiran secara gratis, atau kepengurusannya mendapatkan akte tidak berbeli-belit.
    Jadi katanya untuk memenuhi berbagai persyaratan untuk menjadi Baubau sebagai kota layak anak, pihaknya sendiri, sudah pernah melakukan studi banding di Kota Surakarta, Solo, karena memang kota ini merupakan kota layak anak terbaik di Indonesia.
   Selain itu, alumni S2 Unhas ini mengungkapkan bahwa BKKBN yang dipimpinannya juga mencanangkan program “Genre” (generasi berencana). “Genre diharapkan para anak-anak didik, generasi dini, sudah harus mampu merencanakan segala sesuatunya ke depan, yang tentu berhubungan tugas-tugasnya, baik sebagai anak, maupun sebagai pelajar,” jelas pria kelahiran Bonebone 21 Mei 1971 ini.
    Show forcenya melalui pramuka saka kencana. Katanya, nanti disana diperkenalkan secara meluas tentang gerakan Genre bagi anak-anak pelajar ini. “Untuk penyiapan awal, maka terlebih dahulu dibentuk kesatuan pada tingkat sekolah, dan saat ini semua SMA di kota ini sudah terbentuk organisasi Genrenya, dan selanjutnya pada tingkat SMP dan SD,” jelasnya. (nining)

KOMUNITAS ADAT RONGI


Sungguh wajar kalau Buton, bekas Kesultanan Al Buthuuni, dikenal sebagai negeri seribu benteng. Kali ini yang mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Buton adalah Benteng Rongi. Sebuah lingkungan benteng yang terletak di Kecamatan Kapuntori, sekitar 30 Km dari pusat Kota Baubau – Sulawesi Tenggara.
    Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten, Drs.H.Lutfhi Hasmar mengungkapkan bahwa Matana Srumba (sistem pertahanan) dulunya dibuat khusus untuk mencegah serangan dari laut, utamanya bagi bajak laut. Tetapi dalam perkembangannya, benteng ini juga berfungsi baik dalam sistem pertahanan Kesultanan Buton secara keseluruhan.
     Benteng ini memiliki panjang keliling 700 meter, tingginya antara 1,5 – 2 meter, serta tebalnya rata-rata 50 cm atau lebih. “Ada 17 KK khusus dalam benteng ini, atau 56 kepala keluarga. Warganya memang adalah keturunan para pasukan elit Kesultanan Buton,” ujarnya.
     Ia membenarkan bahwa khusus dalam benteng ini masih terjaga rumah-rumah tradisonil khas Buton, yang dapat dilihat dalam dua bentuk, yakni malige yang dulunya dikhususkan bagi para kalangan atas kesultanan, juga dengan rumah biasa yang dibangun oleh masyarakat.
    Selain kedua model rumah tersebut, benteng ini juga dilengkapi dengan baruga (balai rumpun keluarga), dimana orang-orang dulu menggunakan sebagai tempat musyawarah besar, baik yang dilakukan oleh penghuni benteng itu sendiri, maupun karena oleh Sultan Buton sendiri.
     Sebelum musyawarah untuk keluarga besar yang dilakukan di baruga ini, terlebih dahulu rumpun keluarga kecil melakukan musyawarah di galampa (koja-koja). “Dulu rata-rata satu rumpun kecil juga memiliki galampa, yang diperuntukkan untuk musyarawah khusus satu turunan, kemudian di bawahnya hasil rapat tersebut ke rapat yang lebih besar yang digelar di baruga,” jelas Lutfhi.
     Dalam baruga ini tidak melulu yang dibicarakan soal-soal pertahanan, atau soal kesultanan, tetapi masyarakat juga dapat menggunakannya, utamanya dalam penentuan hari (jadwal) yang terbaik kapan memulai menanam padi di kebun.
     “Dulu keputusan di baruga sangat dihargai, tidak boleh ada yang melanggar dari keputusan, karena ada sanksinya, diantaranya adalah diusir dari kampung,” kenang Lutfhi. Menurutnya, selain hal tersebut, juga penentuan kapan seseorang (petani) sudah pindah ke lokasi lain untuk berkebun, karena kebun lamanya tidak subur lagi.
    Jadi sistem rotasi berkebun juga dibicarakan dalam baruga. “Setelah genap tiga atau lebih tinggalkan kebun lamanya, maka sang petani bisa kembali menggarapnya karena dianggapnya sudah subur kembali. Tapi itu semua melalui keputusan di baruga atau galampa,” jelasnya.
    Ia mengaku salut atas tatanan dan system adat yang berlaku dalam masyarakat Rongi, termasuk warga yang ada dalam benteng.  Bahkan katanya perilaku dan bicaranya juga dijaga, sesuai adat yang berlaku.
   “Masyarakat adat Rongi dikenal sangat irit kalau bicara, tidak suka sembarang bicara. Malah kalau ada tamu, atau orang asing yang datang ke wilayahnya, dimana orang asing itu tidak dapat langsung bertanya ke warga, selain karena tidak dapat jawaban, juga memang ada pos yang khusus menerima tamu yang kemudian baru disalurkan ke warga yang dituju tamu tersebut,” ceritanya.
    Karakter ini dibenarkan karena memang dalam sejarah panjang komunitas ini sebagai garis perang terluar dari wilayah keamanan Kesultanan Buton. “Kalau ada yang bertanya, mereka tida diladeni, karena selain tidak dikenal orangnya, juga warga selalu memunculkan dua pertanyaan, apakah orang tamu ini lawan atau kawan,” sambungnya.
   Dengan situs benteng yang masih utuh, lengkap dengan situs pendukung lainnya sebagai bentuk pertahanan yang kokoh, termasuk penghuninya, maka Rongi harus mendapat perlindungan akan kelestariannya dari semua pihak, termasuk Pemkab Buton sendiri. (sultan darampa)


Kamis, 28 Februari 2013

DI KAKI LANGIT LAPPARIA



Di bawah kaki langit, di menaranya seolahnya menyentuh langit, terhampar kuasa Pencipta Alam semesta yang begitu elok, hijau menghitam, dan seolah berselimut permadani. Dan sesekali halimun putih membungkus puncak-puncak Bowonglangi’, dimana anak-anak bukitnya mengempung lembah Lapparia seolah benteng alam yang bersiaga sepanjang abad.
    Itulah gambaran yang pas bagi Dusun Lapparia Desa Bontoriu, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Sebuah pedukuhan yang menyendiri sejak ratusan tahun yang silam, dimana kedamaian dan ketenteraman warganya seolah tak terpengaruh perkembangan zaman yang mengepungnya di belakang bukit-bukit yang mengeliling pedukuhan ini.
     Seorang tetua adat, yang juga Kepala Dusun Lapparia, Puang Caggi, ketika ditemui tim susur gunung Forum Passikarimanggiang Anak Tombolo Pao (PATP) mengaku berterima kasih atas kunjungan sekelompok anak-anak muda penjelajah gunung.
     “Kami disini tidak banyak tuntutan kebutuhan, selain hanya menginginkan adanya jalan tembus menuju ke induk kecamatan (Bontoncani-Bone, Tampolo Pao–Gowa, red), agar hasil-hasil bumi kami tidak usah lagi dipikul untuk keluar dari dusun ini,” pintanya.
    Pria yang berusia 60 tahun lebih ini, juga selama beberapa tahun diresahkan oleh sekelompok orang yang datang menjarah kayu-kayu di hutan adat mereka, atau di hutan lindung pada batas Bone – Gowa. Sementara pihaknya sendiri terus menjaga hutan tersebut, tanpa pernah menyentuhnya.
     Karena bagi warga Lapparia, hutan selain sebagai sumber kehidupannya, utamanya untuk kebutuhan rumah tangga skala sangat kecil, hanya sekedar kayu bakar, (ranting-ranting), juga hutan baginya merupakan sumber air, baik untuk kebutuhan keperluan sehari-hari, seperti minum, memasak dan mandi, lebih-lebih sebagai air baku untuk irigasi persawahan mereka.
    Sementara lahan-lahan kritis, atau lahan yang tidak memiliki ekosistem hutan, atau hanya hutan perdu, atas izin dari Dinas kehutanan dipinjampakaikan kepada warga untuk diolah menjadi areal produktif.    
    Warga Lapparia adalah sebuah komunitas adat yang hidup secara turun temurun, dengan tetap mempertahankan tradisi leluhur mereka, meski memang seolah terpisah dari dunia luar. (ardi) 

Menengok Komunitas Adat Lapparia




Untuk mencapai dusun eksotik ini,  sebaiknya anda menempuh jalur Kabupaten Gowa. Kalau star dari Makassar – Sulawesi Selatan, kira-kira pukul 09.00 pagi wita, menuju selatan, jalur Sungguminasa (Ibukota Kab.Gowa). Lalu dari Sungguminasa, arah timur menuju Malino (kota sejuk di jazirah Pegunungan Bawakaraeng – Lompobattang).
     Malino dapat ditempuh dengan mobil atau motor kira-kira 2 jam hingga 2,5 jam. Kota Wisata Malino ini berdiri sejak ratusan tahun yang silam, masih zaman kolonial, anda dapat menikmati kota ini sambil mencari warung bersantap siang.
     Setelah berpuas diri di Kota Bunga ini, kendaraan anda arahkan sedikit ke utara, membelah Kota Malino, yang kemudian menuju kawasan pasar, yang selanjutnya tembus di kawasan wisata Hutan Pinus. Atau anda menikmati makan siang di hutan pinus ini. Warung-warung dengan aneka menu dan gaya makanan, termasuk yang vegetarian, dapat menikmatinya disini.
     Dari Hutan Pinus Malino,  pastikan kendaraan anda melaju dengan kecepatan pelan menuju poros Kabupaten Sinjai. Dan setelah kira-kira 1,5 jam digoyang “ombak darat” dari dalam mobil, anda akan memasuki kota kecil nan mungil tetap asri, Tombolo (Tamaona), ibukota Kecamatan Tombolo Pao. Suatu kawasan yang terletak di bagian timur Kabupaten Gowa, berbatasan dengan Kab.Sinjai, Bone di timur laut, dan Jeneponto di sebelah tenggara.
    Begitu memasuki Tombolo (Tamaona), setelah melewati kawasan berkabut tebal, atau kawasan hortikultura terbesar di Indonesia timur ini, Kelurahan Kanre Apia, anda dapat istirahat sejenak, dan mempersiapkan segala peralatan, termasuk untuk keperluan jalan kaki atau dengan sepeda motor.
    Untuk menembus dusun cantik ini nantinya, kendaraan roda empat (mobil dan truk) tidak berguna sama sekali. Karena medan jalan yang lebarnya tidak lebih hanya satu meter, dan badan jalan yang masih terdiri tanah merah, bukan pengerasan. Maka pilihnnya hanya ada dua, yakni jalan kaki, atau naik kendaraan roda dua alias motor. Sebab, sepeda juga tidak laku disini.
     Motornya pun juga kelas khusus, karena medan yang menembus bukit yang menjulang tinggi, terletak di ekosistem Dataran Tinggi Bowonglangi’, serta ngarai yang mencapai puluhan bahkan ratusan meter, otomatis kondisi mesin motor harus stelan area pegunungan.
    Kecuali kalau memilih kendaraan yang lebih ramah lingkungan, tidak berdampak pada polusi udara, yakni naik kuda. Cuma kendalanya kalau naik kuda, selain faktor kelihaian duduk di atas pelana, juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sama persis waktu tempuh dengan jalan kaki.
    Ketika semua peralatan dan anggota tim disiapkan, dimana sebelumnya mobil sudah diparkir aman, baik di rumah penduduk, maupun di sekretariat Forum Passikarimanggiang Anak Tombolo Pao (PATO), sebuah perkumpulan generasi muda untuk lingkungan hidup dan cinta gunung.  
    Maka tim mengambil jalan ke timur. Dari Kota Tombolo menuju Desa Ere Lembang, merupakan desa pertama yang ditemui dan terakhir dalam wilayah Kab.Gowa. Untuk mencapai Ere Lembang membutuhkan waktu 1,5 jam untuk kendaraan bermotor, dan untuk jalan kaki, (ukuran biasa, bukan ukuran kemampuan penduduk setempat), maka dapat ditempuh sekitar empat hingga lima jam.
     Dalam jalur ini, anda dapat menikmati sawah-sawah bertingkat-tingkat, bahkan seolah petakan sawah irigasi alam itu mencapai ujung bukit yang sudah terlihat membiru. Dan sesekali melihat penduduk yang berjalan dalam balutan halimun yang terkadang turun tak terduga.
     Melewati Ere Lembang, maka anda disuguhkan jalan simpang tiga, batas Kabupaten Bone – Gowa. Dua arah lainnya menuju Desa Pangusuren, dan satunya lagi menuju Desa Bontoriu. Tapi untuk Desa Pangusuren, jaraknya terlampau panjang.
     Untungnya di tapal batas ini tidak ada pos jaga, yang akan menginterogasi dan memintai tanda pengenal anda. Cukup anda membaca papan pengumuman yang ditancapkan di pinggir jalan. Kata-katanya singkat sekali, dua patah kata terlukis warna hitam diatas papan warna merah, “Batas Bone”.
     Mungkin memang tidak ada makna simbolik atau makna mistik pada warna papan, atau warna tulisan tersebut. Tetapi yang jelas, sepanjang pengetahuan warga, sudah berpuluh kali pergantian pimpinan daerah (kepala daerah), belum ada yang pernah menginjakkan kakinya di tapal batas ini, apalagi Gubernur Sulsel, bahkan kepala pemerintahan kecamatan (baik Bone maupun Gowa) juga masih diragukan kalau ada yang pernah berkunjung kesini.
     Setelah mengambil nafas dan mendinginkan keringat, serta menservice motor, maka perjalanan pun dilanjutkan,  dengan mengambil jalur Desa Bonto Riu.
    Pemandangan hampir seruga juga terlihat disini, cuma bedanya, disuguhkan hutan-hutan alam yang masih perawan, dan kondisi jalan sedikit lebih lebar meski masih tetap jalan tanah.
     Walau keringat bercucuran di badan, tetapi suasana terasa menusuk kulit, dingin, dan sedikit mencekam, ditambah suara-suara penghuni hutan yang berceloteh tentang kedamaian. Suatu pengalaman yang jarang ditemui di tempat lain.
    Untuk mencapai dusun terdekat, anda membutuhkan waktu dua jam lagi untuk mencapai Lapara’, atau kalau jalan kaki sekitar dua hingga empat hingga lima jam. Disinilah tujuan akhir dari rute perjalanan kali ini, dimana memakan waktu tempuh sehari penuh kalau starnya dari Makassar.
     Di Lapara’ anda dapat menyaksikan sebuah pedukuhan yang elok, cantik, alami dan belum tersentuh peradaban modern, kecuali para pencuri kayu (baik skala kecil maupun besar) yang terkadang mondar-mandir di sekitar dusun ini.
      Penduduknya pun ramah-ramah, tetapi kalau mau berkomunikasi dengan mereka, sebaiknya jangan menggunakan Bahasa Indonesia, karena sudah dipastikan komunikasi dua arahnya tersendat-sendat, bahkan bisa salah paham.
    Untuk itu, lebih bijak menggunakan Bahasa Bugis saja, atau Bahasa Konjo. Kalau anda lancar menggunakan salah satu dari bahasa ini, maka dipastikan pula, anda adalah bagian dari warga itu sendiri. Suasana kekeluargaan dan sikap ramah tamah penduduk segera tampak, bahkan tidak perlu menunggu lama untuk bersantap makanan dari tuan rumah.
     Sebaliknya, jika anda tetap ngotot memperlihatkan ciri “keindonesiaan”, berbahasa Indonesia, bukan hanya anda kurang diterima, tetapi bisa juga menimbulkan prasangka yang kurang mapan di hati anda. Bisa saja dicurigai sebagai orang yang akan merampas hak kekayaan alam di sini, atau dicurigai bahwa anda adalah illegal logger, pembalak, pada hutan-hutan alam yang mereka jaga selama ratusan tahun ini.
   Kalau anda sudah rukun dengan warga setempat, silahkan bermalam seenak hatinya, berapa malam pun tak masalah. Soal makan (beras, sayur dan lauk pauk lainnya) tidak usah pusing, karena hasil-hasil aneka sayuran yang ada disini bisa langsung dipetik  dari batangnya. Berasnya pun tak perlu takut habis, cuma memang harus membantu warga memikul gabah untuk ke tempat penggilingan padi yang jaraknya cukup jauh.
   Jika sudah penyesuaian iklim disini, maka anda dapat memberi bantuan kepada warga melalui tetua adat setempat, atau kepala dusun. Diantara bantuan tersebut, bagaimana anda mengajak warga Lapara’ untuk mendiskusikan kondisi kampungnya, termasuk dalam hubungannya dengan perhatian pemerintah.
     Atau bisa juga mendiskusikan mimpi-mimpi warga, yang sudah sejak lama memimpikan jalan untuk dapat dilalui mobil. Tentu bukan mobil mentereng, cukup dengan hartop bak terbuka, dobel gardan, karena hanya mobil yang dapat mengangkut hasil-hasil panen warga ke ibu kota desa, atau ke ibukota kecamatan.
    Selama ini, hasil buminya diangkut pakai kuda, atau dengan di jinjing atau pikul. Jaraknya jinjing dan pikulnya bukan ketulungan jauhnya, sampai memakan waktu 6 – 7 jam jalan kaki, untuk tembus di Pasar Tombolo (Kab.Gowa).
   Pasar reguler warga Lapara’ setiap hari Jumat, ia turun ke Pasar Tombolo (Gowa) untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ia sengaja memilih pasar yang tempatnya sudah lintas kabupaten ini, disesuaikan dengan hari pasar besar di Tombolo yang jatuh setiap hari Jumat.
     Untuk pasar-pasar yang ada di Kecamatan Bontocani (Bone) warga memilih hari lain. Sehingga secara reguler, warga Lapara’ memiliki dua wilayah untuk akses jual belinya, selain di Kabupaten Bone juga Kab.Gowa.         
     Anda juga dapat membantu para guru SD untuk jam belajar di luar jam sekolah, atau semacam sekolah alam, dengan cara mengajak anak-anak usia SD dan SMP yang putus sekolah untuk mencoba mencerna kekayaan alam tempat tinggalnya, sekaligus memperdalam mata pelajaran sekolah formalnya.
    Sekedar informasi, penerbit Majalah ProFiles, yakni Yayasan Sulawesi Channel, tiga tahun lalu sudah mengaggas sekolah rakyat atau sekolah petani (SP) di sebuah dusun dalam wilayah Kecamatan Tombolo Pao. Sekolah ini cukup efektif ,baik bagi petani sendiri, maupun bagi anak-anak putus sekolah. Kerja sosial ini sekarang sudah mandiri dan dilanjutkan oleh tetua-tetua adat setempat.   
    Seperti SP yang ada di Tombolo Pao, maka disini, tentu dengan inisiatif dan upaya kepala dusun untuk pengadaan taman bacaan, perpustakaan kampung, dan bahan-bahan bukunya dapat dimintakan dari berbagai LSM yang ada di Indonesia. 
     Dengan sumber daya alam yang tersedia di sini, ditambah warga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalnya, maka sebuah potensi dan peluang besar untuk mengembangkan kerja-kerja sosial bagi para penggiat dan aktivis sosial.  
    Beres dengan itu, anda juga dapat mengeliling pedukuhan ini, atau kalau perlu turut menaman padi di sawah-sawah / petegalan milik penduduk. Sesudah itu, jangan lupa membersihkan badan di pancuran yang tersebar di dinding bukit yang menjadi benteng alam Lapara’.
    Jika sudah puas tinggal sementara di dusun ini, silahkan kawani penduduk turun ke Pasar Tombolo yang jarak tempuhnya sampai 6 – 7 jam dengan cara memikul atau menjinjing hasil bumi Lapara. Karena dengan pengalaman ini, maka semakin bertambah lagi warna kehidupan anda.

Rabu, 29 Agustus 2012

Tata Cara Pelantikan Sultan Buton (2)


   Setibanya rombongan kalawati, calon sultan keluarlah dari rumahnya (kamali) dengan memakai serba putih mulai dari surban sampai sarung dengan di apit oleh Patalimbona dengan  pedang terhunus. Tamburu  di depan dan  di belakang, terus di bunyikan.
    Sultan langsung ke masjid di tempat yang telah disediakan. Setelah itu kalawati  keluar dari masjid melaporkan kepada Bhonto Ogena oleh  Bhontona Gama (artinya) “yang mulia Bontoogena sudah dimesjid calon sultan cucumu”.
      Kemudian Bhonto Ogena memberitahu kedua Kapitalao, katanya (artinya) “yang mulia Kapitalao berdirilah bersama kakak dan adikmu”.  Serentak kedua Kapitalao dengan mengenakan tandaki dan berjalan dengan seluruh Bobato, semua memakai pedang terhunus. Kedua Kapitalao mengapit pintu masuk masjid dengan pedang terhunus.
    Ketika waktu untuk shalat Jum’at tiba, kepada imam masjid di isyaratkan  untuk memimpin Shalat Jum’at dengan Judul Khutbah “Khalakal Arwah”
     Selesai pelaksanaan shalat Jumat, maka prosesi adat,  penulisan kalimat khusus pada tulang belikat calon Sultan oleh cucu Saidi Raba di mulai. Di awali calon sultan di antar di bawah kaki mimbar dan terus duduk tahiyat awal. Setelah itu di tulis pada tulang belikatnya calon sultan (tulisan khusus), biasanya yang menulis itu cucu Saidi Raba dari Sapati Waolima, dilanjutkan pembacaan do’a dari Cucu Saidi Raba keturunan Kenepulu Tanailandu.
    Setelah prosesi adat di mesjid selesai, maka Sultan kemudian di bawah ke Bhatu Popaua(atau  batu pelantikan ) untuk pemutaran payung  yang dilakukan oleh Bhonto Pata Limbona.  Pada prosesi ini kaki kiri sultan dimasukkan kedalam lubang Batu Popau sambil menghadap ke Barat.  Diputarkan payung kebesaran sebanyak 8 putaran.  Kemudian sultan meletakkan kaki kanan ke dalam batu yang sama sambil menghadap Timur sebanyak 9 putaran oleh Bontona Peropa dengan ucapan (artinya),satu,dua, tiga, empat, lima, enam tujuh, delapan prasyarat, Sembilan langgeng dan lestari serta sepuluh dengan engkau La Ode.  Perhatian,  perhatian, perhatian, La Ode engkaulah kini yang menjadi kesepakatan kakekmu bhaluwu peropa, engkaulah yang ditampilkan yang penuh cahaya terang benderang dalam pemerintahan di tanah ini La Ode, di dalam dan di luar, batu dan kayunya dan segala apa yang ada didalam dan di luar. Jangan terbagi perhatianmu selain untuk kepentingan negeri ini,jangan engkau kerjasamakan untuk kepentingan yang tidak baik,…dst”.
     Setelah pemutaran kedua payung selesai di Batu Popau kedua Kapitalau berseru (artinya) “Sembah, sembah, sembah,  baik turunan kaomu, turunan walaka maupun turunan Papara. Siapa siapa yang tidak menyembah, datanglah didepanku ini kupotong hingga berkeping keping dengan pedang ini”.
     Kemudian hadirin pun semua somba ( menyembah ) lalu kesemua hadirin menuju bharuga termasuk semua bharata. Di Bharuga, Sultan yang baru dilantik didudukkan di atas lampa diapit dengan empat (4) buah bantal guling, muka belakang dan kanan kirinya untuk melakukan prosesi adat Tuturangi.
     Akhirnya setelah  selesai acara ini maka, selesailah rangkaian acara ritual adat Bulingiana Pau Laki Wolio (Pelantikan Sultan Buthuuni) yang  di tutup oleh Bhontona Peropa menyampaikan pada Bhonto Ogena (artinya) “yang mulia Bhontoogena selesailah ritual adatnya bhaluwu Peropa”, Bhonto Ogena menjawab (artinya) “yang muliah Sapati, selesailah prosesi adat bhaluwu Peropa, perangkat pemerintah memohon berkah”.
     Menyembahlah berturut-turut mulai dari Sapati ,Kenepulu, Kapitalao, Bontoogena dan seterusnya. (sultan darampa)

Tata Cara Pelantikan Sultan Buton (1)


Bontona Gampikaro Matanaeo, Drs Arif Tasila, yang juga ketua seksi ritual adat pada penobatan Sultan Buton ke-39 ini menceritakan tahap-tahapan Bulilinganiaya Pau Laki Wolio (pelantikan Sultan Buton).
      Menurutnya, setelah masa seratus dua puluh hari setelah Sokaiana Pau (pengukuhan nama Sultan hasil seleksi), maka pada, kamis sore Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) yang berada di Lele Mangura (masih di dalam kompleks Masjid Keraton) di beri kelambu.
    Dari Tobhe-Tobhe membawa air dari tingko (tombula) juga bhancana kaluku bula, serta bancana pangana  yang pada malam jum’at sebelum pelantikan, keduanya tadi di sandingkan di Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) di Lele Mangura dan semalam suntuk rakyat Tobhe-Tobhe menabuh gendang dan gong di tempat itu.
     Besoknya pagi hari Jum’at prosesi adat di mulai. Diawali ke empat Patalimbona (Bhontona Bhaaluwu, Bhontona Peropa, Bhontona Gundu Gundu dan Bhontona Bharangkatopa) berkumpul di rumah Bhontona Peropa.  Rombongan Patalimbona ini di dampingi oleh Galangi,  Tamburu (kompanyia) Pataanguna yaitu  (Bhaaluwu Peropa, Gundu-Gundu, dan Bharangkatopa), dan delapan orang laki laki dan delapan orang perempuan anak Bhaaluwu Peropa (anak-anak dari kaum walaka) sebagai pembawa air (tambia) maupun perlengkpan lainnya.
     Rombongan ini di pimpin oleh Patalimbona  menuju Bhatu Wolio (Bhatu yGandangi) untuk mengambil air.  Sepanjang jalan tamburu di bunyikan. Sesampainya di Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) di awali dengan Galangi prosesi adat pengambilan air di mulai. Setelah itu Tingko air dan bhancana kaluku bula serta bancana pangana satu persatu oleh Bhontona Peropa di serahkan kepada ke enambelas anak Bhaaluwu- Peropa dan diakhiri dengan pembacaan do’a selamat.
      Dari Bhatu Wolio selanjutnya rombongan Patalimbona langsung  ke rumah calon sultan (kamali) untuk di mandikan. Di kamali sudah menunggu ( 11 ) sebelas orang Bhonto ynunca masing masing bersama istri. Setibanya rombongan itu maka Bhontona Dlete dan Bhontona Katapi melaporkan kepada calon Sultan sebagai berikut : “Akawamo opua miu Bhaaluwu Peropa”artinya( sudah tiba kakekmu bhaluwu peropa).
Calon sultan turun dari Galampa  atau tempat bersemayam dengan pakaian Baju Bodo dengan kancing emas, Destar (Bewe Betaawi), badik atau keris, sarung
     Dalam prosesi memandikan ini calon sultan diperlakukan seperti anak kecil  yang tidak bisa berbuat apa-apa dan kerjanya hanya menangis dan tertawa. Pada saat di mandikan Bhontona Peropa berada di sebelah kanan, Bhontona Bhaaluwu disebelah kiri, Bhontona Gundu-Gundu di depan dan Bhontona Bharangkatopa di belakang calon sultan. Semua perlengkapan sultan waktu di mandikan, sarung segalanya di tinggalkan dan di ambil oleh Bhaaluwu Peropa. Pakaian untuk persalinan di timang oleh Bhontona Kalau dan Bhontona Waberongalu.
    Setelah pemandian, maka Bhontona Gundu Gundu membuka bhancana kaluku bula dan bancana pangana, memisahkannya dari seludangnnya dan bhanca itu di kipas kipaskan dibelakang sultan oleh Bhontona Bharangkatopa, sebelah kiri delapan kali dan sebelah kanan sembilan kali turun naik.
    Pada saat dimandikan,  calon sultan diberi bedak (burati) pada bagian dahinya oleh Patalimbona. Bedak (bura) itu dibuat dari ( 120 ) seratus dua puluh macam  bahan dengan rasa yang berbeda  yang di olah di kediaman Bhontona Peropa oleh isteri dari patalimbona. Dalam proses tandea ini Bhontona Peropa berkata (artinya) “dengarkan laode rasa pedis dan segala rasa yang tidak menyenangkan ataupun rasa yang sangat menyenangkan sebagaimana rasa yang ada pada seratus dua puluh macam bahan bedak tadi saya tandai kamu La Ode, jangan kamu kerjasamakan negeri ini dengan pendatang ataupun semacamnya untuk menghancurkan negeri ini,jangan kamu berikan destar dikepalamu dalam arti sebagai pemimpin dan penguasa kamu gunakan kekuasaanmu untuk maksud kejahatan terhadap negeri ini, apabila kamu lalaikan semua itu kamu, melebur serta lenyap dan hancur binasa  anakmu dan anaknya bhaluwu peropa” .
    Selanjutnya, setelah patalimbona selesai mengganti pakayan maka setelah tiba saatnya Patalimbona  berangkat ke bharuga membawa parinta (alat-alat kerajaan).
Menjelang pelaksanaan shalat Jum’at  Bhonto Ogena memerintahkan Sapati dengan bahasa adat  (artinya): “yang  mulia Sapati, kiranya segera utus penjemput calon sultan kakakmu”.
    Maka berangkatlah utusan kalawati ( penjemput )kerumah calon sultan yang terdiri dari delapan orang Bhonto dan delapan orang Bobato di iringi rombongan tamburu sambil dibunyikan.