Pedusunan Tonrong yang terletak di perbatasan Sinjai – Bone, di Desa Terasa, Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai – Sulawesi Selatan, merupakan pedukuhan yang memiliki sejarah panjang, dengan penghuni pertama sejak zaman Puangta ri Terasa masih memerintah, kemudian dilanjutkan di zaman pergolakan Di/TII hingga zaman modern seperti sekarang ini.
Dari sekian dekade tersebut, penghidupan komunitas adat Tonrong pun tidak pernah bergeser, meski memang juga terus mengikuti perkembangan, utamanya soal politik tanaman pangan. Jadi kondisinya saat ini, selain masih menggeluti penghasilan gula aren, juga mereka telah berhasil menanam cengkeh, kakao, kopi dan aneka tanaman tahunan lainnya.
Star dari Makassar dengan menggunakan roda dua, sekitar jam 04.00 subuh melalui rute Makassar – Malino – Tondong (Sinjai). Tiba di Manipi sekitar jam 11.00 siang, dimana sebelumnya transit di kawasan wisata Pinus Malino, menikmati mie isntansi dan gogos, setela hujan agak reda, kemudian melanjutkan perjalanan dengan potong kompas Kanreapia – Manipi.
Dari Manipi, ibukota Kecamatan Sinjai Barat, sekitar 10 Km kearah timur. Lalu berbelok ke utara (kiri), memasuki Arango, dan dari Arango secara perlahan menembus sekatan-sekatan pegunungan terjal yang merupakan batas Sinjai – Gowa.
Dari Arango, lalu terus ke utara hingga memasuki Desa Bontosalama, yaitu Tanah Lembang. Dari ibukota desa ini, berbelok ke arah timur, (setelah melewati pasar desa dan disamping lapangan), karena beberapa berhenti, maka saya mencapai Tanah Lembang sekitar jam 07.00 malam. Sesudah beristirahat di rumah salah seorang tokoh pemuda disitu, Arfah Cakkari, dengan hujan yang gerimis, maka perjalanan dilanjutkan ke Turunan Baji.
Turunan Baji adalah sebuah perkampungan tua, yang istilah adatnya adalah Soppeng, dan tiba di rumah kawan, Dg.Tiro, yang juga adalah Fasilitator Sulawesi Channel bersama Arfah, sekitar jam 07.30 wita. Setelah mendapat suguhan teh hangat, maka perjalanan motor dilanjutkan hingga diujung perkampungan.
Dari ujung Turunan Baji, perjalanan dilanjutkan dengan kedua tungkai kaki yang sudah mulai loyo, apalagi seharian diguyur hujan, tapi karena semangat ’45, maka ayunan kakipun diteruskan diantara kelamnya malam, dan kelamnya hutan-hutan rakyat.
Lepas hutan-hutan rakyat, saya bersama 3 kawan lain, memasuki hamparan persawahan, dengan hanya mengandalkan lampu HP, kami terus menyusuri pematang-pematang mungil (ciri persawahan di dataran tinggi).
Entah sudah berapa lama melangkah sambil menghindari terjangan anjing-anjing liar yang terus mengaung menengkas suara air deras DAS Tangka / Tanggara’. Dan setelah memastikan diri tiba di pinggiran sungai, maka kami menyeberangi jembatan gantung yang baru saja dibangun masyarakat atas pembiayaan dari proyek PISEW-PNPM.
Lepas jembatan gantung yang sekitar 80 meter panjangnya itu, kami dihadang pendakian yang sangat panjang (bagi ukuran kami). Saya pun ngos-ngosan, apalagi tidak ada persiapan pemanasan sewaktu masih di Makassar.
Saya tertinggal cukup jauh di belakang, karena berbekal kerel / rangsel dengan peralatan pelatihan, sehingga tidak mampu mengejar kawan-kawan, apalagi factor usia yang memang sangat menentukan daya tahan perjalanan. Karena rasa kepedulian yang tinggi, ransel terpaksa dioper kawan lain.
Alhamdhulillah, sekitar 30 menit kemudian, sekitar pukul 10.30 malam, kami mendapat sambutan yang sangat meriah, yaitu gonggongan anjing dari rumah ke rumah. Sambutan ini justru menambah semangat kami melanjutkan langkah membela pedukuhan itu.
Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah Kepala Dusun Tonrong, Syarifuddin, yang terletak di tengah-tengah perkampungan. (sultan darampa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi