Makassar, (KBSC)
Kami dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang berkedudukan di Jalan Duren Tiga No. 64 Pancoran – Jakarta 12760, menyatakan PROTES atas Pembahasan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang sedang dibahas oleh Panitia Khusus DPR RI saat ini.Kami memandang bahwa RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang diusulkan pemerintah kepada DPR RI pada tanggal 15 Desember 2010, dan Pansusnya telah dibentuk pada tanggal 15 Januari 2011 ini, adalah salah satu RUU yang anti rakyat dan tidak demokratis, serta berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia apabila disahkan menjadi undang-undang.
Alasan dari keberatan dan protes kami terhadap kehadiran RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini adalah sebagai berikut:
- Bahwa RUU ini akan melegitimasi perampasan dan penggusuran tanah-tanah rakyat atas nama pembangunan dan kepentingan umum. RUU ini tidak menjelaskan kepentingan dan kriteria mengenai kepentingan umum, sehingga sangat berpotensi untuk ditafsirkan dan diberlakukan secara sewenang-wenang bila pemerintah hendak melakukan pembangunan di atas tanah-tanah rakyat.
- RUU ini akan menambah jumlah orang miskin, menambah jumlah petani tak bertanah dan menambah jumlah petani gurem di Indonesia, serta semakin menyingkirkan keberadaan masyarakat adat. Itu artinya bahwa RUU ini kontra-produktif dengan upaya pemerintah untuk menurunkan jumlah orang miskin. Saat ini, sekitar 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani tak bertanah dan petani gurem. Hal ini berbanding terbalik dengan penguasaan tanah oleh pengusaha perkebunan yang mencapai 7 juta hektar, pengusaha HPH/HTI yang mencapai 34 juta hektar. Artinya dengan RUU ini, maka tanah yang dikuasai oleh pengusaha jauh lebih banyak lagi dibandingkan rakyat kecil. Sementara di sisi lain tak satu pun peraturan yang dikeluarkan untuk memberikan tanah kepada rakyat tak bertanah.
- RUU ini akan menambah jumlah konflik agraria di Indonesia disertai dengan tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Saat ini, konflik pertanahan yang disebabkan oleh proyek pembangunan mencapai ribuan kasus, tetapi sampai saat ini tidak ada makanisme penyelesaian konflik secara adil dan demokratis.
- Bahwa kedudukan dan posisi korban dan calon korban yang tanahnya akan dijadikan sebagai objek pembangunan sangat lemah. RUU ini tidak mengatur mekanisme keberatan pemilik tanah bila tidak setuju dengan proyek pembangunan. Disamping itu, mekanisme restitusi yang diatur adalam RUU ini hanya ganti kerugian menunjukkan bahwa RUU tidak bertanggungjawab terhadap kelanjutan dan kelayakan hidup para korban.
- Bahwa RUU ini lebih mengakomodasi kepentingan swasta dari pada kepentingan rakyat. Melalui RUU ini, pemerintah membuka ruang lebih besar pagi pengusaha untuk terlibat dalam pembangunan. Ini artinya bahwa kepentingan swasta berselubung dalam kepentingan umum.
- Kami juga tidak menemukan urgensi dan relevansi kehadiran RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, karena kehadiran RUU ini justru akan menambah persoalan agraria di Indonesia, khususnya terkait dengan tumpang tindih kebijakan.
Kami sebagai organisasi konsorsium yang terdiri dari 187 anggota organisasi rakyat/NGO juga mendesak kepada DPR RI dan Pemerintah untuk SEGERA MENJALANKAN AGENDA REFORMA AGRARIA, menyelesaikan konflik-konflik agraria, mekakukan review terhadap kebijakan dan peraturan mengenai agraria dan SDA sebagaimana yang dimanatkan oleh TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Hormat Kami,
Konsorsium Pembaruan Agraria
Idham Arsyad
Sekretaris Jendral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi