Makassar, (KBSC)
“Saya asli Tolaki, lahir di Labibia, kurang lebih jaraknya 3 kilometer menuju tempa wisata Batu Gong, Konawe. Saya sekolah SD 62 di Sekolah Rakyat Wawombalata. Sekolah SMP Muhammadiyah di Mandonga. Tahun 1969 -1972 mengikuti Pendidikan Guru Agama, lalu Lanjut Pendidikan Guru Agama selama 6 tahun sampai tamat tahun 1974. Lalu kuliah di IAIN di Tipulu pada tahun tahun 1975,” itulah komentar pengantar Kakanwil Depag Propinsi Sultra, H.Abdul Muis, ketika mengawali wawancarai.
Berikut cerita tutur H.Abd.Muisketika mengenang perjalanan hidupnya sampai saat ini, sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulawesi Tenggara.
Dulu saya sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah yang terdekat hanya 3 kilometer jalan kaki. Jadi, sejak SD kelas 3, tahun 65-an, sudah membantu orang tua jual ikan, dan pikul ikan dari Erpaka Batu Gong sampai Bundaran Mandonga, dan di pasar tradisional itulah kemudian dijual. Kalau lagi kurang pembeli, ya sewaktu-waktu dipikul lagi ke Abeli sawah, malah terkadang siang atau malam.
Tapi, sewaktu di PGA, saya masuk 4 hari belajar, terhitung 2 hari bolos, kalau tidak, saya tidak bisa sekolah, jadi hari bolos itu untuk kerja. Kenapa, karena saya 6 bersaudara, Sekolah PGA Wawombalata, kurang lebih 12 kilometer jalan, dan itu harus terjadi tiap hari. Jadi kalau tidak mau terlambat, terpaksa harus star dari rumah ketika masih dini hari, atau paling lambat jam 04 subuh.
Karena keadaan kampung gelap gulita, belum ada listrik, daripada takut terjatuh atau tergelincir yang membuat pakaian pada kotor, jadi ketika siap-siap bukan hanya alat-alat belajar yang disiapkan, tapi juga harus siap payung, (biasanya payungnya kadang daun pisang atau daun jatih), takutnya kehujanan. Juga yang tak kalah penting adalah pakai obor, apalagi sepanjang perjalanan, kiri-kanan jalan gelap gulita, dan setelah melalui jalan sepanjang 12 kilometer itu, maka saya tiba di sekolah kira-kira jam 07 pagi. Begitu pula ketika pulang, tiba di rumah paling cepat jam 04 sore.
Tahun 1974-1975 menjelang tamat sekolah guru, ada bus “Hanura”. Sewaktu-waktu bisa naik bus bila ada uang, tapi itu jarang sekali terjadi, karena sangat diirit. Bus itu pun harus antrian, karena bus hanya satu buah, jadi kadang uang tapi tidak muat, kelebihan penumpang. Kalau begitu ya, terkadang juga terpaksa menunggu truk, (yang khusus dinaiki pegawai), kadang kita di toki. Tapi yang lebih umum adalah jalan kaki lagi sepotong perjalanan.
1979 selesai sarjana muda. Selama kuliah tetap menjual ikan, tapi karena kita sudah mahasiswa hanya sewaktu-waktu. Nanti tahun 1975 mulai kenal dengan seorang gadis, tak lama kenal, akhirnya tahun 1978 menikah di Kabaena, Bombana. Tahun 1978, setelah menikah, sang istri terangkat jadi guru MIN di Kota Kendari. Lalu 1979 selesai, lalu lanjut honorer di IAIN di Tipulu, Sampai 1981 jadi guru MTS 2 Kendari. (nining-bersambung)
“Saya asli Tolaki, lahir di Labibia, kurang lebih jaraknya 3 kilometer menuju tempa wisata Batu Gong, Konawe. Saya sekolah SD 62 di Sekolah Rakyat Wawombalata. Sekolah SMP Muhammadiyah di Mandonga. Tahun 1969 -1972 mengikuti Pendidikan Guru Agama, lalu Lanjut Pendidikan Guru Agama selama 6 tahun sampai tamat tahun 1974. Lalu kuliah di IAIN di Tipulu pada tahun tahun 1975,” itulah komentar pengantar Kakanwil Depag Propinsi Sultra, H.Abdul Muis, ketika mengawali wawancarai.
Berikut cerita tutur H.Abd.Muisketika mengenang perjalanan hidupnya sampai saat ini, sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulawesi Tenggara.
Dulu saya sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah yang terdekat hanya 3 kilometer jalan kaki. Jadi, sejak SD kelas 3, tahun 65-an, sudah membantu orang tua jual ikan, dan pikul ikan dari Erpaka Batu Gong sampai Bundaran Mandonga, dan di pasar tradisional itulah kemudian dijual. Kalau lagi kurang pembeli, ya sewaktu-waktu dipikul lagi ke Abeli sawah, malah terkadang siang atau malam.
Tapi, sewaktu di PGA, saya masuk 4 hari belajar, terhitung 2 hari bolos, kalau tidak, saya tidak bisa sekolah, jadi hari bolos itu untuk kerja. Kenapa, karena saya 6 bersaudara, Sekolah PGA Wawombalata, kurang lebih 12 kilometer jalan, dan itu harus terjadi tiap hari. Jadi kalau tidak mau terlambat, terpaksa harus star dari rumah ketika masih dini hari, atau paling lambat jam 04 subuh.
Karena keadaan kampung gelap gulita, belum ada listrik, daripada takut terjatuh atau tergelincir yang membuat pakaian pada kotor, jadi ketika siap-siap bukan hanya alat-alat belajar yang disiapkan, tapi juga harus siap payung, (biasanya payungnya kadang daun pisang atau daun jatih), takutnya kehujanan. Juga yang tak kalah penting adalah pakai obor, apalagi sepanjang perjalanan, kiri-kanan jalan gelap gulita, dan setelah melalui jalan sepanjang 12 kilometer itu, maka saya tiba di sekolah kira-kira jam 07 pagi. Begitu pula ketika pulang, tiba di rumah paling cepat jam 04 sore.
Tahun 1974-1975 menjelang tamat sekolah guru, ada bus “Hanura”. Sewaktu-waktu bisa naik bus bila ada uang, tapi itu jarang sekali terjadi, karena sangat diirit. Bus itu pun harus antrian, karena bus hanya satu buah, jadi kadang uang tapi tidak muat, kelebihan penumpang. Kalau begitu ya, terkadang juga terpaksa menunggu truk, (yang khusus dinaiki pegawai), kadang kita di toki. Tapi yang lebih umum adalah jalan kaki lagi sepotong perjalanan.
1979 selesai sarjana muda. Selama kuliah tetap menjual ikan, tapi karena kita sudah mahasiswa hanya sewaktu-waktu. Nanti tahun 1975 mulai kenal dengan seorang gadis, tak lama kenal, akhirnya tahun 1978 menikah di Kabaena, Bombana. Tahun 1978, setelah menikah, sang istri terangkat jadi guru MIN di Kota Kendari. Lalu 1979 selesai, lalu lanjut honorer di IAIN di Tipulu, Sampai 1981 jadi guru MTS 2 Kendari. (nining-bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi