Kawasan-kawasan hak kelola adat, hak kelola rakyat, akan terancam akibat undang-undang yang baru.
Makassar, (KBSC)
Pengadaan tuntuk dalam suatu negara sejatinya memang perlu diatur. Dasar pengaturannya tentu bukan sekedar untuk menjamin kepastian hukum di dalamnya, tetapi pengaturan tersebut agar dapat menjadi instrumen dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Seyogyanya sebuah aturan menjadi jalan bagi negara untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya kepada warga negara. Aturan haruslah mengacu pada dasar dan tujuan berbangsa dan bernegara. Itulah pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek filosofis, historis, yuridis, serta pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sebelum membuat suatu aturan atau kebijakan.Pertimbangan-pertimbangan di ataslah yang akan mengantar kita pada kesimpulan terkait dengan urgen tidaknya suatu undang-undang dilahirkan. Dan untuk mengatakan suatu undang-undang urgen atau tidak bukanlah perkara mudah, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa undang-undang merupakan produk politik. Sehingga pertanyaan penting berikutnya adalah kepentingan siapa yang bermain diundang-undang tersebut? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Dan realitas apa yang hendak dihadirkan serta apa implikasi bagi kehidupan rakyat Indonesia?
Apakah RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (PTUP) ini telah mempertimbangkan berbagai aspek filosofis, historis, yuridis, serta pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat? Kami juga bahwa RUU ini adalah “regulasi pesanan” dari sebagian kelompok masyarakat(pengusaha/modal). Karena sepanjang pengetahuan kami bahwa RUU ini merupakan salah satu rekomendasi penting dari National Summit 2009.
Pertemuan lintas pengusaha dan pemerintah di awal pemerintahan SBY-Boediono ini menyimpulkan bahwa salah satu kendala pembangunan yang menyebabkanpertumbuhan ekonomi lamban adalah sulitnya memperoleh tanah untuk proyek, khususnya proyek infrastruktur. Menurut pengusaha bahwa masalah utama pengadaan tanah adalah: sulitnya melaksanakan UU No.20/1961 tentang pencabutan hak atas tanah; penetapan ganti rugi berdasarkan musyawarah; pemerintah tidak dapat mengendalikan resiko waktu biaya pengadaan tanah.
Menurut RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (RUU PT)ini, pembangunan menjadi instrumen penting untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera. Untuk itu diperlukan hukum yang menjamin pembangunan tersebut berjalan dan memperoleh tanah melalui cara yang lebih adil dan demokratis.
Namun RUU ini tidak merujuk beberapa pasal penting dalam UUD 1945 pasal-pasal lainnya 1945 yang tidak dirujuk adalah: 1) pasal 18b ayat 2, UU”;2pasal 28h ayat 4, pasal 33 ayat 4, RUU ini juga tidak merujuk pada UU No.tahun 2007 tentang Penataan Ruang, juga tidak merujuk pada UU No.tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi , serta tidak menjelaskan posisinya terhadap UU No.tahun 1961 tentang atas . Padahal kesemua undang-undang ini menjadi prasyarat efketifidaknya RUU ini dalam menjalankapembangunan secara demokratis dan berkeadilan.
Sebagian besar substansi dari RUU PTUP tidak jauh berbeda dengan Perpres 36 tahun 2005 tentang Pengadaan untuk Pembangunan bagi Kepentingan yang ditolak sebagian besar masyarakat sipil karena dinilai menjadi alat penggusuran bagi tanah-tanah rakyat, serta tidak adanya perlidungan bagi masyarakat korban. RUU ini juga menyisakan banyak persoalan, oleh karena itu kami dari beberapa organisasi menyatakan MENOLAK RUU PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN dengan alasan sebagai berikut :
Pertama, RUU PTUP Tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan harus tolak keberadaannya.
Kedua,dengan lahirnya undang-undang tentang pengadaan tanah, dan penggusuran atas tanah-tanah dan sumber daya alam yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari hal ini akan berpotensi pada kekerasan baru dan akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Ketiga,RUU ini akan mempertajam konflik-konflik agraria di Indonesia, termasuk konflik-konflik yang terjadi di wilayah masyarakat adat, karena selama ini lemahnya perlindungan negara atas wilayah-wilayah masyarakat adat.
Keempat,Pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah banyak berpihak kepada pengusaha hal ini bisa dilihat pada pasal khusus pengadaan tanah untuk swasta.
Kelima, sejumlah pasal dalam RUU ini sangat otoriter dan memungkinkan negara abai terhadap penegakan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi warga negara.
Keenam, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing.
Ketujuh, posisi sebagian besar rakyat yang tidak dilindungi hak atas tanahnya, mekanisme pembebasan tanah yang bersifat otoriter/memaksa, sehingga akan menimbulkan kemiskinan yang tersruktur dan dilegalkan melalui aturan.
Kedelapan, RUU ini sarat dengan pesanan asing.Telah dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) adalah tiga lembaga kreditor yang memainkan peran kunci dalam mengarahkan kebijakan pembangunan infratruktur yang bercorak pasar di Indonesia.
Makassar, 24 Maret 2011;
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulsel
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) Sulawesi
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar
Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel
Jurnal Celebes (sultan darampa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi