Makassar, (KBSC)
Pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Pontianak, Kalimantan Barat pada tahun 2007, seluruh anggota AMAN yang merupakan komunitas-komunitas masyarakat adat menyerukan kepada Negara untuk segera mengambil langkah-langkah politik dan hukum dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat adat.
Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Sulawesi Selatan, Sardi Razak mengatakan, tujuan dari workshop ini adalah untuk menjaring masukan dari berbagai kalangan di wilayah dalam rangka memperkaya dan memperkuat naskah akademik yang telah dibuat
"Mengkonsolidasikan jaringan pro gerakan masyarakat adat, mulai dari komunitas masyarakat adat, kalangan perguruan tinggi di wilayah, organisasi non-pemerintah, dan juga pemerintah (provinsi dan kabupaten) dan DPRD untuk turut mendukung kesuksesan undang-undang ini," urainya.
Menurutnya, memberikan informasi atau mensosialisasikan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat kepada public yang lebih luas.
Jadi, Seruan itu kemudian terkristalisasi sebagai mandat bagi AMAN agar memperjuangkan sebuah undang-undang yang pada pokoknya harus dapat memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di seluruh nusantara. Jika dilihat dari prosesnya, seruan itu bukanlah hal yang baru. Paling tidak sejak tahun 2004, AMAN telah mulai meng-arus-utamakan pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Bahkan pernah dilakukan konsultasi gagasan di beberapa wilayah. Sejak tahun 2004 itu pula AMAN bekerjasama dengan pegiat masyarakat adat yang lain, baik organisasi, maupun individu untuk mempertajam gagasan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat itu.
Ada beberapa momentum politik dan hukum di tingkat nasional yang dapat dicatat sebagai arena yang memperkuat gagasan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Pertama, reformasi yang menempatkan agenda mengamandemen UUD 1945 sebagai salah satu target terbesarnya.
Kedua, pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada perayaan hari Internasional Masyarakat Adat di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta pada tahun 2006. Dalam pidatonya, presiden menyatakan bahwa masyarakat adat berada pada posisi yang lemah dalam mempertahankan hak-hak nya seraya menyatakan bahwa pemerintah tentu harus berpihak kepada yang lemah itu.
Ketiga, penyusunan program legislasi nasional (PROLEGNAS) tahun 2010 – 2014 di mana salah satu undang-undang yang akan dibahas pada periode ini adalah Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.
Menyikapi momentum politik dan tuntutan dari komunitas-komunitas masyarakat adat di seluruh nusantara, AMAN bekerjasama dengan organisasi pegiat masyarakat adat yang lain, seperti HuMA, EPISTEMA, dan PUSAKA melakukan dan terlibat diskusi-diskusi dalam rangka mematangkan ide dan gagasan untuk menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.
Diskusi-diskusi itu juga melibatkan organisasi seperti ILO, dan juga lembaga Negara seperti Mahkamah Konstitusi dan Komnas HAM. Hasil-hasil diskusi itu kemudian menjadi bahan dasar bagi sebuah tim kecil yang bertugas menulis naskah akademik. (sultan darampa)
Pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Pontianak, Kalimantan Barat pada tahun 2007, seluruh anggota AMAN yang merupakan komunitas-komunitas masyarakat adat menyerukan kepada Negara untuk segera mengambil langkah-langkah politik dan hukum dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat adat.
Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Sulawesi Selatan, Sardi Razak mengatakan, tujuan dari workshop ini adalah untuk menjaring masukan dari berbagai kalangan di wilayah dalam rangka memperkaya dan memperkuat naskah akademik yang telah dibuat
"Mengkonsolidasikan jaringan pro gerakan masyarakat adat, mulai dari komunitas masyarakat adat, kalangan perguruan tinggi di wilayah, organisasi non-pemerintah, dan juga pemerintah (provinsi dan kabupaten) dan DPRD untuk turut mendukung kesuksesan undang-undang ini," urainya.
Menurutnya, memberikan informasi atau mensosialisasikan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat kepada public yang lebih luas.
Jadi, Seruan itu kemudian terkristalisasi sebagai mandat bagi AMAN agar memperjuangkan sebuah undang-undang yang pada pokoknya harus dapat memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di seluruh nusantara. Jika dilihat dari prosesnya, seruan itu bukanlah hal yang baru. Paling tidak sejak tahun 2004, AMAN telah mulai meng-arus-utamakan pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Bahkan pernah dilakukan konsultasi gagasan di beberapa wilayah. Sejak tahun 2004 itu pula AMAN bekerjasama dengan pegiat masyarakat adat yang lain, baik organisasi, maupun individu untuk mempertajam gagasan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat itu.
Ada beberapa momentum politik dan hukum di tingkat nasional yang dapat dicatat sebagai arena yang memperkuat gagasan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Pertama, reformasi yang menempatkan agenda mengamandemen UUD 1945 sebagai salah satu target terbesarnya.
Kedua, pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada perayaan hari Internasional Masyarakat Adat di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta pada tahun 2006. Dalam pidatonya, presiden menyatakan bahwa masyarakat adat berada pada posisi yang lemah dalam mempertahankan hak-hak nya seraya menyatakan bahwa pemerintah tentu harus berpihak kepada yang lemah itu.
Ketiga, penyusunan program legislasi nasional (PROLEGNAS) tahun 2010 – 2014 di mana salah satu undang-undang yang akan dibahas pada periode ini adalah Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.
Menyikapi momentum politik dan tuntutan dari komunitas-komunitas masyarakat adat di seluruh nusantara, AMAN bekerjasama dengan organisasi pegiat masyarakat adat yang lain, seperti HuMA, EPISTEMA, dan PUSAKA melakukan dan terlibat diskusi-diskusi dalam rangka mematangkan ide dan gagasan untuk menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.
Diskusi-diskusi itu juga melibatkan organisasi seperti ILO, dan juga lembaga Negara seperti Mahkamah Konstitusi dan Komnas HAM. Hasil-hasil diskusi itu kemudian menjadi bahan dasar bagi sebuah tim kecil yang bertugas menulis naskah akademik. (sultan darampa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi