SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Selasa, 29 Maret 2011

Wokrshop PHR Sulawesi

Makassar, (KBSC)
Pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Pontianak, Kalimantan Barat pada tahun 2007, seluruh anggota AMAN yang merupakan komunitas-komunitas masyarakat adat menyerukan kepada Negara untuk segera mengambil langkah-langkah politik dan hukum dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat adat.

Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Sulawesi Selatan, Sardi Razak mengatakan, tujuan dari workshop ini adalah untuk menjaring masukan dari berbagai kalangan di wilayah dalam rangka memperkaya dan memperkuat naskah akademik yang telah dibuat

"Mengkonsolidasikan jaringan pro gerakan masyarakat adat, mulai dari komunitas masyarakat adat, kalangan perguruan tinggi di wilayah, organisasi non-pemerintah, dan juga pemerintah (provinsi dan kabupaten) dan DPRD untuk turut mendukung kesuksesan undang-undang ini," urainya.

Menurutnya, memberikan informasi atau mensosialisasikan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat kepada public yang lebih luas.

Jadi, Seruan itu kemudian terkristalisasi sebagai mandat bagi AMAN agar memperjuangkan sebuah undang-undang yang pada pokoknya harus dapat memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di seluruh nusantara. Jika dilihat dari prosesnya, seruan itu bukanlah hal yang baru. Paling tidak sejak tahun 2004, AMAN telah mulai meng-arus-utamakan pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Bahkan pernah dilakukan konsultasi gagasan di beberapa wilayah. Sejak tahun 2004 itu pula AMAN bekerjasama dengan pegiat masyarakat adat yang lain, baik organisasi, maupun individu untuk mempertajam gagasan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat itu.

Ada beberapa momentum politik dan hukum di tingkat nasional yang dapat dicatat sebagai arena yang memperkuat gagasan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Pertama, reformasi yang menempatkan agenda mengamandemen UUD 1945 sebagai salah satu target terbesarnya.

Kedua, pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada perayaan hari Internasional Masyarakat Adat di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta pada tahun 2006. Dalam pidatonya, presiden menyatakan bahwa masyarakat adat berada pada posisi yang lemah dalam mempertahankan hak-hak nya seraya menyatakan bahwa pemerintah tentu harus berpihak kepada yang lemah itu.

Ketiga, penyusunan program legislasi nasional (PROLEGNAS) tahun 2010 – 2014 di mana salah satu undang-undang yang akan dibahas pada periode ini adalah Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.

Menyikapi momentum politik dan tuntutan dari komunitas-komunitas masyarakat adat di seluruh nusantara, AMAN bekerjasama dengan organisasi pegiat masyarakat adat yang lain, seperti HuMA, EPISTEMA, dan PUSAKA melakukan dan terlibat diskusi-diskusi dalam rangka mematangkan ide dan gagasan untuk menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.

Diskusi-diskusi itu juga melibatkan organisasi seperti ILO, dan juga lembaga Negara seperti Mahkamah Konstitusi dan Komnas HAM. Hasil-hasil diskusi itu kemudian menjadi bahan dasar bagi sebuah tim kecil yang bertugas menulis naskah akademik. (sultan darampa)

Melegalkan Perampasan Tanah-Tanah Rakyat

Kawasan-kawasan hak kelola adat, hak kelola rakyat, akan terancam akibat undang-undang yang baru.
 Makassar, (KBSC)
Pengadaan tuntuk dalam suatu negara sejatinya memang perlu diatur. Dasar pengaturannya tentu bukan sekedar untuk menjamin kepastian hukum di dalamnya, tetapi pengaturan tersebut agar dapat menjadi instrumen dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Seyogyanya sebuah aturan menjadi jalan bagi negara untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya kepada warga negara. Aturan haruslah mengacu pada dasar dan tujuan berbangsa dan bernegara. Itulah pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek filosofis, historis, yuridis, serta pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sebelum membuat suatu aturan atau kebijakan.

Pertimbangan-pertimbangan di ataslah yang akan mengantar kita pada kesimpulan terkait dengan urgen tidaknya suatu undang-undang dilahirkan. Dan untuk mengatakan suatu undang-undang urgen atau tidak bukanlah perkara mudah, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa undang-undang merupakan produk politik. Sehingga pertanyaan penting berikutnya adalah kepentingan siapa yang bermain diundang-undang tersebut? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Dan realitas apa yang hendak dihadirkan serta apa implikasi bagi kehidupan rakyat Indonesia?

Apakah RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (PTUP) ini telah mempertimbangkan berbagai aspek filosofis, historis, yuridis, serta pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat? Kami juga bahwa RUU ini adalah “regulasi pesanan” dari sebagian kelompok masyarakat(pengusaha/modal). Karena sepanjang pengetahuan kami bahwa RUU ini merupakan salah satu rekomendasi penting dari National Summit 2009.

Pertemuan lintas pengusaha dan pemerintah di awal pemerintahan SBY-Boediono ini menyimpulkan bahwa salah satu kendala pembangunan yang menyebabkanpertumbuhan ekonomi lamban adalah sulitnya memperoleh tanah untuk proyek, khususnya proyek infrastruktur. Menurut pengusaha bahwa masalah utama pengadaan tanah adalah: sulitnya melaksanakan UU No.20/1961 tentang pencabutan hak atas tanah; penetapan ganti rugi berdasarkan musyawarah; pemerintah tidak dapat mengendalikan resiko waktu biaya pengadaan tanah.

Menurut RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (RUU PT)ini, pembangunan menjadi instrumen penting untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera. Untuk itu diperlukan hukum yang menjamin pembangunan tersebut berjalan dan memperoleh tanah melalui cara yang lebih adil dan demokratis.

Namun RUU ini  tidak merujuk beberapa pasal penting dalam UUD 1945 pasal-pasal lainnya 1945 yang tidak dirujuk adalah: 1) pasal 18b ayat 2, UU”;2pasal 28h ayat 4,  pasal 33 ayat 4, RUU ini juga tidak merujuk pada UU No.tahun 2007 tentang Penataan Ruang, juga tidak merujuk pada UU No.tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi , serta tidak menjelaskan posisinya terhadap UU No.tahun 1961 tentang atas . Padahal kesemua undang-undang ini menjadi prasyarat efketifidaknya RUU ini dalam menjalankapembangunan secara demokratis dan berkeadilan.

Sebagian besar substansi dari RUU PTUP tidak jauh berbeda dengan Perpres 36 tahun 2005 tentang Pengadaan untuk Pembangunan bagi Kepentingan yang ditolak sebagian besar masyarakat sipil karena dinilai menjadi alat penggusuran bagi tanah-tanah rakyat, serta tidak adanya perlidungan bagi masyarakat korban. RUU ini juga menyisakan banyak persoalan, oleh karena itu kami dari beberapa organisasi menyatakan MENOLAK RUU PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN dengan alasan sebagai berikut :

Pertama,   RUU PTUP Tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan harus tolak keberadaannya.

Kedua,dengan lahirnya undang-undang tentang pengadaan tanah, dan penggusuran atas tanah-tanah dan sumber daya alam yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari hal ini akan berpotensi pada kekerasan baru dan akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.

Ketiga,RUU ini akan mempertajam konflik-konflik agraria di Indonesia, termasuk konflik-konflik yang terjadi di wilayah masyarakat adat, karena selama ini lemahnya perlindungan negara atas wilayah-wilayah masyarakat adat.

Keempat,Pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah banyak berpihak kepada pengusaha hal ini bisa dilihat pada pasal khusus pengadaan tanah untuk swasta.

Kelima, sejumlah pasal dalam RUU ini sangat otoriter dan memungkinkan negara abai terhadap penegakan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi warga negara.

Keenam, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing.

Ketujuh, posisi sebagian besar rakyat yang tidak dilindungi hak atas tanahnya, mekanisme pembebasan tanah yang bersifat otoriter/memaksa, sehingga akan menimbulkan kemiskinan yang tersruktur dan dilegalkan melalui aturan.

Kedelapan, RUU ini sarat dengan pesanan asing.Telah dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) adalah tiga lembaga kreditor yang memainkan peran kunci dalam mengarahkan kebijakan pembangunan infratruktur yang bercorak pasar di Indonesia.

Makassar, 24 Maret 2011;

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulsel
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) Sulawesi
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar
Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel
Jurnal Celebes (sultan darampa)


Monev Semester Pertama Perencanaan Partisipatif

Suasana monitoring dan evaluasi semester pertama program perencanaan partisipatif kerjasama Yayasan WaKIL - ACCESS yang dilaksanakan di Kantor Bappeda Kabupaten Gowa, beberapa waktu lalu.
Makassar, (KBSC).
Program Perencanaan Partisipatif dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM) dan Sistem Bank Data Desa yang bekerjasama antara Yayasan WaKIL – ACCESS Phase II telah memasuki enam hingga tujuh bulan, maka untuk meneropong ulang, maka diadakan monitoring dan evaluasi enam bulan atau Monev semester pertama.

Dalam kegiatan ini melipatkan kepala desa pada lokasi program, atau pemerintah desa, warga penerima dampak, SKPD seperti BPM-PD, Bappeda dan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan, sertakader-kader pemberdayaan masyarakat, fasilitator pendukung, manajemen Yayasan WaKIL.  

Direktur Eksekutif Yayasan WaKIL, Kaharuddin Muji dalam sambutannya mengatakan, banyak hal yang menarik dapat shearingkan bersama selama beberapa bulan yang lalu, seperti apa pengalaman - pengalaman di desa, teman-teman, dan pihak-pihak lain.

“Kami akan meminta para Kades  yang berbicara, sebelum dan sesudah ada program ini, termasuk para teman – teman  fasilitator, jadi terima kasih Pemda Gowa, utamanya Bappeda dan BPM-PD, tentu tidak akan berjalan dengan baik, tanpa dukungan yang maksimal dari pemerintah setempat,” katanya.

Menurutnya, karena LSM adalah bagaimana membangun kekuatan bersama dengan Pemda, maka dipertemuan ini akan shering kembali apa yang menjadi tantangan, seperti apa yang terbaik untuk ke depannya. Jadi khususnya dengan Pemerintah Daerah sudah berprogram  selama 5 tahun, melalui advokasi ADD, dan respon yang luar biasa.

“Kalau mau dihitung, desa telah berkontribusi sekitar 40 juta perdesa, setiap pertemuan sangat banyak yang dikeluarkan oleh kepala desa untuk mengumpulkan warganya, dan kami hanya mampu membiayai hanya 40 hari saja, Dan dapat menghasilkan dokumen seperti contohnya data sensus serta draff RPJM Desa,” lanjutnya.

Kemudian, Koordinator Propinsi Australian Civil Society and Community Strangthening (ACCESS) Sulawesi Selatan, Sartono mengatakan, jadi kalau mau dipakai dokumen dalam perencanaan ini tentu masih mentah, tetapi seharusnya sudah dapat dijabarkan dalam rencana kegiatan-kegiatan yang lebih detail untuk pembangunan desa, jadi ini menjadi rujukan.

“Sebuah contoh, Kabupaten Bantaeng, setiap laporan kades membuat laporan kepada masyarakat, itu adalah transparansi, jadi memang sebelumnya dia membuat dokumen, lalu Perdes, dan rencana anggaran. Jadi untuk satu tahun dia melaporkan, sumber-sumber pendapatan, sumber pendanaan, dan lainnya,” kata Sartono.

Menurutnya, jadi ini betul-betul menjadi rujukan kepada SKPD, dan legisliatif menjadi bahasan bersama, jadi bukan sesuatu yang berjalan sendiri-sendiri.

“Jadi saya kira kita sadar, dan kita akan dapat mendiskusikan...bagaimana kader dilatih untuk menfasilitasi dan membaut, sheingga dapat mengawal pembangunan, sehingga pembangunan dapat sesuai dengan RKPDes, jika tidak sesuai, maka tentu ada hal-hal  yang perlu dikaji bersama,” lanjutnya.


Ia menambahkan, termasuk tahun-tahun apa yang akan dilakukan, dan begitu setuernysa, sehingga nantinya ketika sudah bicara soal program, maka tentu sudah connet dengan desaign yang dilakukan bersama warga.  (sultan darampa)

Senin, 28 Maret 2011

Komunitas Adat Pakka Salo, Saweng dan Lappa Lampoko

Ketiga komunitas yang sudah menjadi anggota Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN) ini adalah :

1.    Komunitas Pakkasalo  masuk wilayah administrasi Kecamatan Ponre
2.    Komunitas Saweng   masuk wilayah administrasi Kecamatan Mare
3.    Komunitas Lappa Lampoko  masuk wilayah administrasi Kecamatan Mare

Sebagai masyarakat dataran tinggi, ketiga komunitas ini memiliki sumber daya alam yang cukup tersedia, dengan ekosistem :
1.    Tanaman cengkeh
2.    Tanaman coklat
3.    Tanaman jambu mete
4.    Tanaman vanili
Sementara untuk tanaman kehutanan, terdiri atas :
1.    Kayu sengon
2.    Kayu Jati
3.    Ekosistem Enau
4.    Campuran

Pada tofografi yang lebih tinggi lagi, merupakan hutan lindung dengan ekosistem hutan alam yang masih perawan.

Komunitas-komunitas ini masih juga memiliki ekosistem hutan adat yang disebut “hutan attiriolong”. Hutan ini dipercaya dan dijaga oleh masyarakat setempat secara turun-temurun, meski belakangan ini nyaris fisik hutan tersebut sudah tidak kelihatan lagi, karena akibat serbuan perkebunan yang masih terus membuka areal pembukaan lahan sampai sekarang.

Komunitas ini juga mengalami pembauran, akibat dari pendudukan pasukan DI/TII,  apalagi ketiga komunitas ini adalah wilayah markas besar DI/TII bagian selatan, yaitu mabes momo’ putih yang dipimpin oleh Bahar Mattaliu. Meski demikian, bekas-bekasnya masih dapat dipertahankan, termasuk soal teretory, bahkan sejumlah ritual juga masih diperlakukan, utamanya soal-soal upacara untuk pada hari-hari tertentu ketika mau memanfaatkan hasil-hasil alam tersebut.  (sultan darampa)

Yayasan WaKIL - ACCESS : Partnert Progres Reviuw


Suasana partner reviuw program (PPR) di Kantor Yayasan WaKIL, Kota Sungguminasa.

Makassar, (KBSC).

Yayasan WaKIL usia melakukan partner program reviuw (PPR) yang diadakan kerjasama Australian Community and Civil Society Strangthening (ACCESS) kerjasama dengan Yayasan WaKIL. PPR ini melibatkan para kepala desa, kader-kader pemberdayaan masyarakat (KPM), fasilitator pendukung, dan manajemen program.

Hj.Ratna Arasy dan Sari Bulan Has, keduanya PO ACCESS Sulsel mengatakan, PPR ini bertujuan untuk melihat perubahan-perubahan yang dialami mitra strategis ACCESS, diantaranya adalah Yayasan WaKIL untuk tematik perencanaan stategis.

Menurutnya, salah satu yang dicermati bersama-sama adalah soal keadilan gender, misalnya KPM-KPM yang telah bekerja di desa telah dan akan mendatangi rumah-rumah warga, dengan tujuan, selain sensus, juga berdiskusi tentang peluang-peluang warga, utamanya perempuan dan kelompok miskin serta marginal, untuk berpartisipasi langsung proses pembangunan.

Beberapa kepala desa, utamanya yang tidak atau minim staff perempuan di kantor desa, akan menarik KPM perempuan untuk dijadikan staff, karena beberapa kepala desa cukup kaget ketika melihat secara langsung KPM-KPM perempuan menfasiltiasi FGD yang dihadiri puluhan warga dan secara sepintas rata-rata menguasai materi yang dibawakan.

 Dari situ, kepala desa baru mengetahui kalau warganya (perempuan) ternyata ada yang potensial. Dengan adanya KPM atau kader-kader “perencanaan partisipatif” di kantor desa, maka semakin terbukalah ruang partisipatif perempuan dan orang-orang miskin untuk terlibat dalam proses pembangunan desa. Alasannya, karena KPM ini adalah refresentatif, atau penerima mandat sosial dari warga, termasuk warga penerima dampak.

Yang tak kalah pentingnya adalah, diantara sekian perubahan-perubahan utama yang dirasakan langsung oleh internal manajemen WaKIL yaitu ada lima item, yaitu soal mampu mengatur, ada tanggungjawab kewajiban yang dituntut, terjadwal, serta mengatur pekerjaan (manajemen waktu) 

Selanjutnya, menurut peserta adalah membuat Sebuah dokumen untuk desa. Alasannya, sudah sering terlibat di desa, tapi tidak pernah terlihat secara detail, dengan program ini banyak hal yang diperhatikan, lebih banyak aktiv melihat secara keselurhan dari setiap desa, dan lebih mengenal penduduknya waktu mendampingi KPM. 

Sebelum program ini, sy hanya membuat cerita atau buku, dan setelah program ini, sy mampu membuat sebuah dokumen, menulis, mencetak, dan membuat, dan terbukti ada dukumen 2 RPJMDes  jadi akhirnya bisa jadi modal usaha.

Dulu hanya bisa bicara / fasilitasi, dan sekarang mengembangkan dengan kemampuan menulis demikian banyak pengalaman, dan aktivitas yang dialaminya.  Apa yang berkontribusi sehingga alasan ini dianggap keberhasilan, yakni ada support moral dari KPM
Kuat dukungan dari pemerintah desa, kuat dukungan dari masyarakat, tuntutan dan desakan dari Pemkab Gowa, semua aparat dan tokoh masyarakat dipajang di dokumen RPJMDes, banyak masyarakat ketika pertemuan itu, meminta untuk di rumah masyarakat,
masyarakat bangga dengan dirinya karena keterlibatan mereka, ditanyai pendapat dan pandangan mereka tentang usulan pembangunan desa, mereka merasa sangat dirasai.
Kalau di luar di kantor desa, mereka lebih bebas bicara, misalnya pertemuan dikolong2 rumah mereka.

Yang ketiga adalah bisa mengawal dan menfasilitasi musrenbang.
Alasannya, fasduk sekarang dapat mengawal mulai dari dusun, desa hingga kecamatan, dulunya tidak pernah mengenla musrenbang, malah tidak pernah dilibatkan, sehingga menjadi delegasi.

Malah, masil delegasi prgoram dampingan kita menjadi contoh bagi desa-desa lain. Setelah menjadi fasiliator, kita mempu membuat replikasi dengan desa dan kecamatan lain
Malah masuk dan menjadi fasilitator Forum SKPD Kabupaten Gowa.

Yang keempat, pengetahuan bertambah terutama alat elektronik “saya bisa buat peta melalui word, dan menularkan ilmu itu kepada teman-teman KPM dan Fasduk, serta manajemen program.  Dulu sebatas hanya mengenal, saya merasa termotivasi dan akhirnya mampu memiliki, kemudian sudah mampu mengoperasionalkan bebarapa softwere
KPM Julubori dan Kampili juga mampu membeli laptop, kades yang membelikan laptop kepada KPM”.

Memotivasi kembali kades sebenarnya untuk mengetahui desa secara keseluruhan kalau kita bikin minitatur desa untuk mengenal desa labih baik, potensi dan masalah desa, tanpa harus turun ke lapangan, juga berdampak pada masyarakat sehingga dapat melihat kondisi desanya yang lebih baik, dapat profile keluarga, aset keluarga (dalam rumah), aset di luar rumah.

Bontonompo sebelumnya sudah ada peta, namun tidak dipakai, dengan program ini akhirnya otocard, photoshop, lalu word, sekarang sudah dipajang di kantor desa. Saya syukur, karena dulunya tidak mendalami.

Akhirnya saya paham mengenai exel, dan laporan keuangan dengan program asist.
Upayakan satu ruangan di kantor desa untuk berkantor KPM tersendiri dengan bank data desa –Julubori dan kampili.
Sudah mahir menggunakan sistem jaringan sosial, email, FB, dll
Dampak :

Yang terakhir adalah strategi pengumpulan data. Alasannya, pada saat mau data kependudukan, lalu kita sekarang menggunakan PKM, mengetahui data rumah penduduk – ada sensus.

Kades dulunya hanya mengundang masyarakat di kantor desa, yang didominasi adalah kelompok elit desa, lalu sekarang dengna pendekatan tertentu, kami tidak mengundang, tapi berkumpul dalam FGD yang lebih kecil, jadi tidak perlu di kantor desa, keunggulannya warga pulang dari sawah atau dari apa saja, lalu mereka singgah memberikan penjelasan untuk kebutuhan data. Jadi emreka tidak diundang, cukup diteriaki melalui mic masjid

Desa Parigi sekitar 4000 penduduk, validasi datanya tidak akurat, termasuk kondisi geografi desa, lalu sy menciptakan stretegis baru, mendatangi ketua RK untuk mengumpulkan RTnya, dimana RT sekitar 20-an rumah, lalu memberikan format dan berdiskusi, lalu RT mengetahui kondisi persis warganya, jadi akurasi datanya sangat valid, karena kami dicross checek.
Ketua RK dan RT bersama dengan kelompok masyarakat lain memasukkan data itu ke dalam draft atau bahan2 dokumen RPJMDes.

Jadi ada 2, yaitu stretegi tergantung soal kondisi sosial untuk melakukan pendekatan, lalu yang kedua, yaitu alat-alat kajian atau metode pengumpulan data telah menguasai metode. (sultan darampa)