SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Selasa, 02 Februari 2010

Naskah Buton, Peninggalan Sejarah yang Mulai Hilang

Sejak dahulu kala, kesutanan Buton memang sudah terkenal dimana-mana, kebudayaannya yang  tinggi masih terlihat hingga saat ini. Salah satu bukti peninggalan kebudayaan Buton yang masih ada hingga saat ini adalah naskah-naskah kuno.

Naskah-naskah kuno tersebut masih tersimpan di dalam keraton Buton yang dijaga oleh keturunan kesultanan Buton secara turun temurun. Akan tetapi dalam perjalanannya ada juga naskah kuno yang hilang tanpa diketahui keberadaannya.

Dalam naskah kuno tersebut berbagai infrormasi mengenai kebesaran dan kejayaan kesultanan Buton pada masa lampau seperti, hukum adat, kebudayaan, pemerintahan, tokoh-tokoh intelektual, hubungan dengan bangsa-bangsa lain di dunia ,sejarah Buton dimasa lampau termasuk berbagai aspek kehidupan lainnya yang terekam dalam naskah-naskah tersebut.

Menurut  Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa) Sultra Prof. Dr. La Niampe, M.Hum bahwa naskah-naskah kuno dapat dipandang sebagai alat komunikasi yang hidup yang dapat menghubungkan antara kehidupan masa lampau dan masa sekarang serta masa yang akan datang.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh para ahli sejarah, naskah-naskah Buton ditulis dalam berbagai bahasa (Arab, Melayu dan Wolio), namun ada juga yang ditulis dengan menggunakan kombinasi Arab-Melayu (Jawi) dan Arab Wolio atau dalam bahasa Buton di sebut Buri Wolio.

Para penulis atau pengarang naskah kuno ini adalah para tokoh intelektual Buton pada zamannya, diantaranya adalah, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al-Buthuni, Syeikh Haji Abdul Gani bin Abdullah Al-Buthuni, Abdul Khalik Maa Saadi Al-Buthuni, Haji Abdul Rahim bin Muhammad Idrus Kaimuddin Al Buthuni, La Kobu, Wa Ode Samarati dan Haji Abdul Hadi.

Selengkapnya baca ProFiles. (sultan darampa)

Laman, Rela Kehilangan Kalpataru Demi Rimba Puaka

Butiran peluh menitik di dahi, pipi dan dagu Patih Laman (89) saat lelaki renta itu menyongsong kami yang datang menemuinya dikediamannya di Desa Sungai Ekok, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Ahad (17/1).

Ia tinggalkan pekerjaannya, mengikis sebatang kayu untuk penyangga tiang rumah panggungnya yang telah lapuk.

"Silakan naik. Jauh perjalanan, jalan pun tak bagus maklum hujan," kata tokoh masyarakat Talang Mamak itu sambil menaiki tangga rumahnya yang terbuat dari tujuh batang kayu bulat sekepal tangan orang dewasa yang disusun berjejer dan diikat dengan rotan pada tiga batang kayu yang
disandarkan pada selasar rumahnya.

Rumah panggung yang lazim disebut sebagai "rumah besar" yang dihuninya bersama seorang anak dan menantunya serta tiga cucunya itu terlihat tidak terurus. Tidak ada sekat dinding ruangan atau bilik di rumah besar  itu yang memisahkan "haluan" (ruangan tamu), tongah (ruangan keluarga)dan ruang perempuan (dapur).

Batas ruangan dirumah tersebut hanyalah bandul (tunggul kayu dilantai) yang membagikan haluan, tongah dan ruang perempuan, seperti umumnya rumah Talang Mamak yang lainnya.

Saat memasuki rumah besar itu, mata akan langsung tertuju pada onggokan tikar pandan, tilam dan bantal lusuh serta kelambu yang juga sama tuanya dengan siempunya lapak tidur itu.

Satu-satunya barang peradaban modren yang dimilikinya hanyalah satu unit televisi 21 inci lengkap dengan receiver parabola yang ditempatkan diatas kotak kayu tua. Pada dinding rumahnya terpampang beberapa bingkai foto yang telah kusam karena jelaga.

Pada salah satu foto terlihat saat Patih Laman menerima Kalpataru, penghargaan tertinggi dibidang lingkungan, dari Presiden Megawati pada 2003. Selain itu ada juga foto saat dia menerima WWF Award pada 1999 di Kinibalu, Malaysia.

"Mereka memberi saya penghargaan karena menjaga hutan, tapi kini hutan kami dah tak ada, ditebang habis dengan seizin pemerintah. Apa gunanya saya dapat Kalpataru lebih baik dikembalikan saja," ujar Laman.

Ia mengambil sesuatu di sudut lapak tidurnya. Benda yang dibungkus dengan kain itu diperlihatkan rupanya kotak kaca yang didalamnya terdapat sebuah benda dari pahatan perunggu berbentuk akar.

"Saya mendapatkan Kalpataru ini dari pemerintah karena dinilai berjasa menjaga hutan. Benda ini mau saya kembalikan agar pemerintah mau mengembalikan hutan kami," ujar Laman.

Lelaki berkulit putih berperawakan kecil yang selalu memakai ikat kepala menutupi rambut putihnya yang panjang itu mengaku sangat terpukul dantidak bisa berbuat apa-apa karena hutan Penyabungan dan Panguanan yang dikenal masyarakat Talang mamak secara turun temurun sebagai Tanah Keramat Rimba Puaka telah lenyap, ditebang habis perusahaan perkebunan
dan masyarakat pendatang.

Hutan seluas 1.813 hektare itu dulunya merupakan satu-satunya hamparan hutan yang masih lengkap di kawasan pemukiman suku Talang Mamak, suku asli Riau. Kawasan hutan Penyabungan dan Penguanan yang berada di Desa Sungai Ekok, Kecamatan Rakit Kulim itu dijadikan sebagai salah satu Tanah Keramat Rimba Puaka yang merupakan hutan adat.

Di kawasan lingkungan tempat tinggal Talang Mamak yang tersebar di Kecamatan Rakit Kulim, Batang Cinaku, Kelayang dan Peranap, sebetulnya terdapat empat kawasan hutan yang telah ditetapkan masyarakat asli itu sebagai hutan adat selain Penyabungan dan Penguanan juga hutan Sungai Tunu seluas 104,933 hektare, hutan Durian Jajar seluas 98.577 hektare dan hutan Kelumbuk Tinggi Baner 21.901 hektare.

Kehilangan Hutan Adat
Dari empat kawasan Tanah Keramat Rimba Puaka itu hingga tahun akhir tahun 1990-an hanyalah kawasan Tanah Keramat Rimba Puaka di Desa Sungai Ekok yang masih utuh dan menjadi sumber ekonomi masyarakat setempat, sedangkan tiga kawasan hutan lainnya telah beralih fungsi menjadi kebun sawit milik perusahaan besar dan masyarakat pendatang.

Kawasan Tanah Keramat Rimba Puaka itu berfungsi tidak hanya sebagai sumber ekonomi masyarakat Talang Mamak tetapi juga untuk melindungi makam dan tempat-tempat keramat suku asli tersebut.

Selain itu kawasan hutan adat itu juga berfungsi sebagai sumber tanaman obat dan sumber bibit tanaman masyarakat.

Walau keempat kawasan Tanah Keramat Rimba Puaka itu telah ada ketetapan dari pemerintah daerah sebagai hutan adat dan tercantum dalam tata ruang daerah Indragiri Hulu, namun eksploitasi dan alih fungsi hutan tersebut oleh perusahaan besar tetap diizinkan oleh pemerintah daerah.

Akibatnya, masyarakat Talang Mamak tidak lagi memiliki hutan yang merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya mereka. "Jadi apa gunanya saya memiliki Kalpataru ini? Hutan kami hanya tinggal sejengkal" keluh Laman.

Pemimpin masyarakat Talang Mamak yang bergelar Patih itu telah patah arang memperjuangkan Rimba Puaka Penyabungan dan Panguanan. Saat alat berat perusahaan meluluhlantakkan hutan yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakatnya pada November lalu, Laman seorang diri berusaha bertahan menentang ulah perusahaan itu, bahkan ia mendirikan pondok di kawasan hutan tersebut.

Walau nyawanya diancam, namun Laman tak bergeming, alhasil hanya empat hektare hutan yang tersisa itupun hanya dilokasi pondok yang didirikan Laman.

Akibat siang malam berjaga di hutan tersebut, kondisi fisik ayah enam anak itu makin ringkih bahkan ia jatuh sakit.

Sebelumnya dia telah berjuang mempertahankan Rimba Puaka itu ke pemerintah daerah Indragiri Hulu dan Provinsi Riau, namun hingga hutan itu gundul tidak ada penyelesaian dari pihak pemerintah.

Padahal, itulah kawasan hutan terakhir yang menjadi benteng alam bagi Laman dan warganya. Ia tidak berdaya menghadapi penguasa dan pengusaha. Upaya sia-sia Laman dalam memperjuangkan hutan tersebut hingga kini masih tergurat jelaspada wajah letihnya.

"Biarlah saya kembalikan penghargaan ini pada pemerintah agar pemerintah mengembalikan pula hutan kami," lirihnya sambil membungkus kembali pialaKalpataru dengan kain sarung berwana hijau.

Benda yang dinilainya amat berharga dan mengangkat gengsi bagi pemiliknya serta menjadi kebanggaan daerah itu disimpannya kembali di salah satu sudut lapak tidurnya. (Evy R. Syamsir/ hayati)