SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Sabtu, 01 Januari 2011

REFLEKSI HUTAN 2010 : Siapa yang Bertanggungjawab


Siapa sesungguhnya bertanggungjawab terhadap kelestarian hutan Indonesia kedepan. Pemerintah ? Belum tentu, nyatanya Dephut telah mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah gagal dalam mengelola / melestarikan hutan. Lalu ? Masyarakat, utamanya masyarakat yang tinggal dipinggiran kawasan hutan, atau dipinggiran desa. Berikut refleksi SCF tahun 2010.

Makassar, (KBSC).
Memulihkan kondisi hutan alam Indonesia memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, terbukti selama 2010 kemarin, baru ada 1 izin perorangan pengelolaan hutan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat, selebihnya masih dalam proses, baik pada pengajuan kelompok tani hutan, koperasi, bumdes, maupun dalam bentuk kelembagaan lain dalam skema HTR, HKm dan hutan desa.

Hal ini terungkap dalam Worksho Akhir Tahun 2010 Konsilidasi Program Para Pihak dalam Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan, yang digelar oleh Yayasan Sulawesi Community Foundation dengan Kemitraan, 27 – 28 Desember 2010, di Hotel Sahid Jaya Makassar.

Hadir dalam acara ini, adalah narasumber dari Disut Kabupaten Soppeng, Dishut Pinrang, Dishut Barru, lalu Dishut Bulukumba, Bupati Bantaeng (diwakili kepala dinas pertanian dan peternakan), Dr.Aryadi Hiwaman dan Danang Kuncoro dari Bina Perhutanan Sosial, Hasbi B dari Kemitraan. Begitu juga dari aktivis LSM, seperti Konstan, Sulawesi Channel, Walda, Yajalindo, Lambose, dan lainnya.

“Sebagaimana diketahui bersama bahwa Menhut pada tahun 2009 telah menujuk kawasan hutan seluas 2.725.796 hektar (47 persen) dari luas wilayah daratan melalui SK 434/Menhut-II/2009 tentang penunjukan kawasan hutan dan konservasi perairan di wilayah Propinsi Sulsel,” demikian penegasan Sri Endang Sukarsih, Kepala Bidang Pengusahaan Hutan Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan dalam sambutan pembukaannya.

Jadi, katanya, penunjukkan itu sudah melalui proses revisi tata ruang wikayah Propinsi (RTRWP) Sulsel didalamnya terdapat kawasan hutan. Kawasan  hutan ini sudah dibagi dalam fungsi lindung atau konservasi 76,4 persen dan produksi 23,6 persen.

Menurut Direktur SCF, Muhammad Rifai, di Sulsel khusus untuk skema HTR Dinas Kehutanan Propinsi Sulsel menargetkan 5.000 hektar pertahunnya yang dapat diakses masyarakat desa hutan, namun realistiasnya hingga penghujung tahun 2010, IUPHHK yang telah terbit di Sulsel, baru di Kabupaten Soppeng seluas 9 hektar. Sedangkan Kabupaten Barru, Maros, Pinrang dan Enrekang telah mendapatkan rekomendasi hasil verifikasi PB2HP.

“Untuk skema HKm, saat ini izin yang ada baru diterbitkan di kabupaten Jeneponto pada tanggal 26 Nopember 2010 untuk 3 kelompok tani demgan luas area 890 hektar, sementara di Kabupaten Bulukumba haru sebatas hasil rekomendasi tim verifikasi untuk usulan areal kerja seluas 2.250 hektar,” kata Rifai

Sedangkan pada skema HD tiga Bumdes di Kabupaten Bantaeng telah mendapatkan izin HPHD (hak pengelolaan hutan desa) dari Gubernur Sulawesl seluas 703 hektar.


Program ke depan
Sri mengakui, pemerintah Sulsel, telah merspon kebijakan tersebut dengan mengusulkan pengcadangan areal HTR, HKm dan HD kepada Menhut. Pada 2008, Menhut telah mencadangkan areal pembangunan HTR Sulsel seluas 34.535 ha yang tersebar pada 11 kabupaten / kota. 

“Untuk mengimplementasikan pembangnunan HTR tersebut, Dishut Sulsel telah menjabarkan dalam program pembangunan HTR di dalam Renstra Dishut dengan target pembangunan seluas 5.000 hektar pertahun,” katanya.

Sementara Rifai, da beberapa problema yang harus diselesaikan, misalnya soal negatif orientasi, misalnya kredit, bukan skema HTR yang dipertanyakan masyarakat, tapi bagaimana duit yang katanya akan dikasih oleh Dephut.

“Sosialisasi terhadap skema-skema tersebut di masyarakat masih sangat minim, sehingga pengetahuan masyarakat tentang pentingnya skema ini sangat terbatas, dan pengetahuan pemerintah setempat tentang tenggang waktu kontrak skema ini dianggap terlalu lama, sehingga menjadi acuan untuk memproses atau menolak usulan kelompok,” kunci Rifai. (sultan darampa)

BUNDA YULIANA : Sang Pencerah dari Komunitas Adat Luwu Raya

BUNDA YULIANA. Sang perempuan yang sudah dimakan usia itu tak pernah berhenti melangkah menuju keadilan, ia tak pernah stop bersuara walaupun vocalnya sudah serak-serak diantara derap pembangunan dan tirani. Ia adalah sosok perempuan panutan dalam pembebasan hak-hak kaum marginal. Ibu Yuliana (tengah) mengangkat poster ketika unjuk rasa salah satu PMA di Indonesia.

Makassar, KBSC)
Berikut petikan hasil wawancara antara Bata Manurung dengan sang tokoh perempuan adat, Ibu Yuliana dalam mempertahankan tanah kelahirannya.
Tanggal 14 Desember 2010,diatas rumah yang berukuran 5x9,saya dan teman-teman AMAN Wilayah Tana Luwu bertemu dengan ibu Yuliana,dia bercerita begini.

“Bagaimana pun beratnya hidup di sini, ini adalah rumah kami. Setiap lekuk gunung, setiap helai rumput, setiap tetes air danau Matano, begitu dekat di hati. Tak ada tempat lain di dunia yang bisa menggantikan tanah kami.”

Sepenggal ungkapan diatas adalah bentuk ungkapan hati seorang Yuliana, 60, Masyarakat adat Karonsi’e dongi yang kini tinggal di Sorowako. Jalan menuju ke rumah Yuliana, 72, hanya berjarak sekitar 500 meter dari Bumi Perkemahan (Bumper) Sorowako. Diusianya yang sudah tidak muda lagi, Yuliana masih beraktifitas seperti biasa, yakni berkebun dan bercocok tanam di lahan dekat rumahnya.

Yuliana, merupakan satu dari puluhan Masyarakat Adat Dongi yang berada di desa kampung Baru, kecamatan Nuha, Luwu Timur. Keberadaan perkampungan milik masyarakat adat Dongi itu tampak kontras dengan pembangunan kemewahan di kawasan areal pertambangan milik PT International Nickel Indonesia (Inco). Hanya terdapat beberapa rumah tempat tinggal Komunitas adat Karonsi’e Dongi yang berada tepat di
samping Lapangan Golf milik perusahan nikel terbesar di Sulawesi itu.

Konflik antara masyarakat adat Dongi dengan PT Inco memang sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Saat itu, masyarakat adat Dongi telah melakukan berbagai upaya lobby dengan pihak perusahaan dan pemerintah daerah, agar mereka dapat kembali menguasai tanah leluhur mereka.

Penderitaan masyarakat adat Dongi memang sangat panjang, setidaknya mereka sudah merasakan penderitaan sejak jaman kolonial Belanda lalu.

Yuliana menceritakan, Tahun 1870, masyarakat adat Dongi yang cikal-bakalnya berasal dari tanah Witamorini meninggalkan Lembomoboo, yaitu setelah meletusnya perang antara Kolonilisme Belanda melawan Masyarakat adat Dongi di Bentewita.

Witamorini ditinggalkan secara praktis, pada tahun 1880. Masyarakatnya kemudian terpencar dan berpindah-pindah hidup. Bukti-bukti perpindahan dan kehidupan mereka hingga saat ini masih dapat kita saksikan melalui situs-situs perkampungan dan kuburan leluhur mereka yang terdapat di beberapa areal yang dikuasai oleh PT Inco. Secara berangsur,masyarakat adat Dongi kemudian kembali ke tanah leluhur mereka.

Pada masa timbulnya pergolakan sosial di Sulawesi Selatan oleh DI/TII sekitar tahun 1950an, maka Masyarakat adat Dongi dan Masyarakat Sorowako pada umumnya kembali mengungsi ke Soluro Pada tahun 1954/1956.
Pada tahun 1957 Kekacauan semakin meningkat dan memaksa Masyarakat adat Karunsi’e Dongi yang mengungsi di Soluro terpaksa harus menyebar hingga ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Pada tahun 1969-1976 Masyarakat adat Dongi yang ada di Pengungsian mulai kembali ke kampong Dongi atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Baru.

Namun, kondisi di tanah Dongi sudah berubah. Pasalnya, baik perkampungan, sawah, lahan perkebunan dan hutan adat sudah dikuasai oleh PT Inco melalui kontrak karya yang diperoleh dari Pemerintah pada tahun 1968.

Bagi masyarakat adat Dongi, keberadaan PT Inco merupakan bentuk pengambil alihan secara sepihak sumber kehidupan masyarakat Adat Dongi, yakni berupa tanah tanpa pemberian ganti rugi atau kompensasi apapun.

Perkampungan itu kini telah menjadi pemukiman karyawan PT Inco dan lapangan golf, tetapi situs-situs perkampungan sebagian besar masih eksis bahkan terawat dengan baik hingga saat ini, termasuk jalan raya, kuburan, tanaman jangka panjang, dan sejumlah peninggalan lainnya.

“Saat ini, bekas kampung Dongi sudah dikuasai oleh perusahaan, namun, kami masih tetap berpegang teguh, bahwa tanah ini adalah tanah peninggalan leluhur,” ujar Yulian

Demikianlah petikan wawancara ini yang dikirim oleh Ketua Pengurus Wilayah AMAN Luwu Raya. (sultan darampa)

Mengurai Keterisolasian : Puluhan Tahun Akhirnya Tembus Mobil






 MENGURAI KETERISOLASI. Selama lima tahun terus bergotong royong membuat jalan tembus keibukota desa. Akhirnya Bulan Nopember 2010, mimpi itu terwujud, hasil bumi masyarakat Patallassang sudah dapat diangkut dengan mobil, bukan lagi tenaga manusia seperti yang sudah terjadi puluhan tahun silam.

Makassar, (KBSC).
Kalau mau bertanya kapan Indonesia Merdeka pada warga Patallassang, Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, mungkin hanya beberapa orang yang tahu, atau paling tidak hanya kalangan anak-anak muda yang pernah “makan bangku” sekolahan.

Pertanyaan ini sedikit ironis, karena sejak berpuluh tahun mulai kira-kira masih sejak zaman Pemerintahan Puangta ri Pao (kerajaan), hingga masa pemerintahan Desa Pao, Drs. Najamuddin, dampak dari sebuah kemerdekaan baru 2 – 5 tahun terakhir ini dia rasakan.

Salah satu nikmat kemerdekaan yang paling dirasakan oleh warga dusun tersebut, adalah untuk pertama kalinya ada sebuah mobil yang masuk ke desanya, padahal antara ibukota desa dengan dusun tersebut paling banter 10-an Km.

Mobil merek land cruiser dengan doble garden ini adalah bertujuan untuk mengangkut hasil-hasil bumi Patallassang untuk dijual di pasar ibukota kecamatan. “Kami seperti bermimpi di siang hari bolong, saya tidak pernah menyangka bahwa hidupnya saya yang mulai uzur ini masih dapat melihat mobil yang masuk ke kampung ini,” kata Ketua RK Jahi-Jahia Dusun Patallassang, Jufri B.

Lima tahun sebelum mobil ini masuk mengangkut sayur-sayuran, warga dusun ini setiap hari sabtu mengadakan gotong royong perintisan jalan.  “Awalnya ketika untuk pertama kali gotong royong yang membuat jalan ini, tidak ada masyarakat yang bersemangat, saya sendiri pun ragu akan manfaat jalan ini yang diperuntukkan untuk kendaraan,” lanjut Abd.Jabar, Kepala Dusun Patallassang.

Menurutnya, pekerjaan ini hampir niat yang sia-sia, karena kalau dilihat medan atau countur alamnya tidak masuk akal kalau mobil bisa masuk. “Meski dirasakan pekerjaan yang sia-sia, anehnya warga tidak pernah putus asa untuk membangun jalan, menggali kaki-kaki gunung yang melingkar-lingkar ini hingga tembus di ibukota desa,” lanjutnya.

Dan tanpa pernah diduga sama sekali, pada Bulan September 2010 lalu, Kades Pao dan Kadus Patalassang tiba-tiba meminta masyarakat untuk melakukan pertemuan di tingkat desa, yaitu tempatnya di rumah Kepala RK Borong Parring, (salah satu RK di Dusun Patalassang, red).

“Pak RK kaget setengah mati, seumur-umur hidupnya tidak pernah ada pertemuan di rumahnya, atau paling tidak di dusun ini, tapi karena perintahnya Pak Desa Najamuddin tidak dapat dibantah, akhirnya pertemuan tersebut diselenggarakan. Saya sendiri bersama para tetua-tetua masyarakat, tidak tahu apa maksud pertemuan tersebut,” katanya.

Setelah hari H-nya, datanglah rombongan yang terdiri atas 3 orang, yaitu Manajer Program “Perencanaan Partisipatif” dari Yayasan WaKIL Kabupaten Gowa, Fasilitator Pendukung Muhammad Ardi Londong, dan Muklis Kaur Pembangunan Desa Pao yang juga bertindak sebagai kader-kader pemberdayaan masyarakat, dan disambut oleh KPM perempuan Desa Pao, yaitu Muriarti dan Nurlinda.

“Kami sama-sama mengantar ke rumahnya RK Borong Parring. Disini, setelah berkumpul sekitar 100-an lebih. Tak lama kemudian, protokol mengatakan maksud dna tujuan kedatangannya, yaitu untuk diskusi masyarakat dengan program PKM (peringkat kesejahteraan masyarakat). Untuk mengetahui sejauhmana tingkat kesejahteraan, atau kemiskinan masyarakat setempat.

Anehnya, syarat menjadi peserta haruslah dominan perempuan, kaum miskin, kaum muda dan masyarakat termarginal. “Syarat ini terpenuhi, malah terlampaui, karena sangat banyak peserta yang hadir tidak pernah mengikuti pertemuan sebelumnya, mendengar saja kantor desa, mereka sangat “ketakutan”,’ jelas Mukhlis, aparat Desa Pao.

Menurut Mukhlis, dari diskusi dan pertemuan-pertemuan selanjutnya semakin lancar, malah kemudian tumbuh lagi semangat masyarakat untuk menggalakkan kembali gotong royong yang sedikit ‘loyo’ itu. “Itulah gunanya namanya perencanaan, yang selama berpuluh tahun ini terlupakan, karena direncanakan bersama-sama, akhirnya banyak gagasan yang muncul, yang kemudian dijalankan secara bersama,” urainya.

Muklis menilai, kekayaan lokal masyarakat adalah ketika mereka sudah bersepakat atau berjanji, maka hampir 100 persen dilaksanakan, karena aib bagi mereka jika ingkar, atau biasanya akan terkena bala, malah akan mendapat sanksi sosial.

“Sanksi sosial itu diterapkan oleh masyarakat sendiri, tanpa ada yang mengatur, tanpa dikomandoi dari desa. Contoh, jika seseorang melakukan kenduri, hajatan, pesta, dan lainnya, tamu-tamu yang datang hanya sedikit saja, atau makanannya banyak yang basi karena kurang orang yang mau datang untuk makan, maka itu sudah termasuk sanksi sosial,” kata Kades Pao, Drs.Najamuddin.

Menurut Najamuddin, saksi seperti ini tidak diatur dalam peraturan desa, tapi merupakan undang-undang yang tidak tertulis. “Hal ini inklud-lah dengan program dari Yayasan WaKIL – ACCESS ini, saya sudah lama menunggu program seperti ini, saya sendiri sedikit bosan melulu bicara proyek-proyek tapi kurang bermanfaat bagi masyarakat desa secara keseluruhan,” tambahnya.

Untuk itu, lanjutnya, apa yang telah digagas oleh kawan-kawan LSM ini, kami kewajiban pemerintah desalah yang harus melanjutkan, menjaga, dan terus mengembangkannya. “Saya mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman dari ACCESS,” kunci Kepala Desa Pao, Drs.Najamuddin. (sultan darampa)

Kamis, 30 Desember 2010

Magombo Ada’ To Rampi : Melestarikan Nilai-Nilai Lokal


Bukti bahwa Bumi Indonesia adalah warisan dari peradaban masa lalu, masih juga dapat dilihat di komunitas-komunitas jantung Sulawesi. Komunitas adat Rampi adalah fakta-fakta yang tak terbantahkan untuk menyokong berdirinya negara Republik ini. Untuk itu, pengakuan hak-hak masyarakat adat adalah seruan wajib untuk disikapi dan ditindaki oleh pengurus negara ini.
 Makassar, (KBSC)
Magombo, atau istilah sehari-harinya adalah musyawarah adat bagi komunitas-komunitas To Rampi, yang bermukim di jantung Sulawesi.  Komunitas ini mendiami Rampi secara turun-temurun dalam bingkai kekhasan adat-istiadat yang kental dan tetapi dilestarikan hingga sekarang ini.

Rampi yang kemudian dalam wilayah administrasi pemerintahan melingkupi 7 desa yang tergabung Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Ketua Badan Pengurus Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Luwu Raya, Bata Manurung, dalam penjelasannya kepada wartawan Kantor Berita Sulawesi Channel mengatakan, tujuan dari perjalanan aktivis masyarakat adat ini dalam rangka menghadiri “seminar adat masyarakat adat Rampi, sekaligus melakukan pelantikan pengurus daerah AMAN Rampi”, tanggal 27 – 30 September 2010 lalu.

Seminar dan Pelatikan ini turut dihadiri Tokey Tongko (kepala adat), paa tokey-tokey bola se-wilayah Rampi, termasuk sespuh adat Rampi baik yang ada di Sulawesi Selatan, maupun yang berdiam di Sulawesi Tengah, serta perwakilan tujuh komunitas-komunitas adat di Rampi.

Dalam seminar yang di jadwalkan berlangsung selama 4 hari ada empat orang narasumber antara lain : (1) Dr.Dassing (Sesepuh Adat Rampi )dengan materi “Budaya Adat Rampi”, (2) Tokey Tongko (Paulus Sigi) dengan materi “Sejarah Asal Usul Masyarakat Adat Rampi”, (3) Rizal (Ketua AMAN Wilayah Sulteng) dengan materi “FPIC dan REDD”,  (4) Bata Manurung dengan materi wajib  AMAN “Arah Gerakan AMAN dan UNDRIP”.

Setelah dari empat narasumber ini menyajikan materinya dalam waktu dua hari, langsung di lanjutkan pada pembagian kelompok kerja. Pokja ini di bagi empat antara lain :
·         Pokja Asal Usul Masyarakat Adat Rampi
·         Pokja Budaya Rampi
·         Pokja Batas Wilayah Adat Rampi
·         Pokja Hukum Adat Rampi

Pokja ini bertugas selama Satu setengah hari untuk membahas tugas masing-masing dan di plenokan sebagai hasil yang akan di tindak lanjuti oleh Pengurus AMAN Daerah Rampi bersama dengan pemangku adat Rampi dan masyarkat adat Rampi untuk di rampungkan menjadi profil lengkap Masyarakat Adat Rampi.

Juga ada beberapa rekomendasi dari seminar yang akan di tindak lanjuti :
·         Pemetaan Wilayah Adat Rampi,
·         Penyelesaian kasus Tanah Kampong Tua To Boru yang di tukargulingkan dengan PT BOSOWA.

Dengan demikian, eksistensi komunitas-komunitas adat To Rampi akan terus lestari sepanjang masa, sepanjang bumi hijau dan langit biru.   (sultan darampa)

Sukses Lestarikan Hutan, Cukup Pandangi Saja


Bukti masyarakat mampu melestarikan hutan kini datang lagi dari Dusun Palulung dan Dusun Sapiriborong, Desa Balasuka, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Masyarakat atas nama kelompok tani hutan, telah sukses melestarikan hutan seluas 250 hektar, ditambah 5 hektar hutan adat, dan mempertahankannya dari pembalakan liar hingga kini, sekitar 15 tahun lamanya sampai masa siap tebang.

Makassar, (KBSC).
Kawasan hutan yang tidak produktif lagi karena pemanfaatan kayunya oleh masyarakat sekitar 1960-an, masih zaman kekaraengan, telah mengakibatkan ekosistem hutan ini gundul, dan kelihatannya hanya kelompok-kelompok hutan sabana.

Kemudian sejak 1997, berbagai program pemerintah masuk ke kecamatan itu, akhirnya atas adanya program padat karya dengan penanaman pohon untuk masyarakat, maka beramai-ramailah masyarakat menanam pohon tersebut.

Tetapi program ini gagal, masyarakat menjadikannya sebagai kawasan pengembalaan. Kalau ada pohon yang mulai tumbuh, akhirnya mati juga diinjak hewan ternak. Setelah berkembang coklat, cengkeh, kopi atau tanaman perkebunan akhirnya masyarakat ramai-ramai menanam tanaman tersebut. Sayangnya tanaman ini banyak juga yang gagal.

Maka atas prakarsa salah seorang tokoh masyarakat setempat, Bapak Konde (sudah almahrum), mempelopori penanaman dan penghijauan kembali, tentu dengan dipandu oleh Dinas Kehutanan, sehingga lahirlah namanya “sentra penyuluh kehutanan pedesaan = SPKD”, dan setelah berjalan sekian lama.

Proses pendampingannya juga tidak efektif, akhirnya kerja-kerja kelompok juga tidak maksimal, dan untungnya tanaman tersebut masih terus tumbuh dan berkembang, akhirnya masyarakat menyadari bahwa kayu yang telah ditanam lebih 10 tahun terus memang milikinya, karena ditanam dan tumbuh diatas tanah rincik mereka.

Peran Ketua Kelompok SPKD,  Pak Kombe, dengan gagasan tetap melestarikan hutan tersebut, akhirnya telah membuahkan hasil, meski Pak Kombe sendiri tidak sempat lagi menikmatinya, karena telah meninggal dunia sebelum kayu tersebut layak untuk ditebang.

Saat ini, hutan yang telah memulihkan ekosistemnya, termasuk menjadi kantong cadangan air telah sangat berguna bagi kawasan sekitarnya, termasuk kawasan pertanian yang ada disekelilingnya.

Namun pertanyaan masyarakat, atau kelompok bahwa apakah itu hanya puasa kalau hutan yang hijau kembali itu kita nikmati atau pandang terus saja, tanpa dapat dimanfaatkan kayunya.

“Kami maunya menebang, tapi kami larang anggota kelompok kami menebang, karena jangan sampai setelah disenso, tiba-tiba dapat petugas kehutanan menangkap kami walaupun kami menebang diatas tanah rincik kami,” ujar ketua Kelompok Hasbi.

Hal yang sama juga diakui, tokoh masyarakat Palulung, Petta Huseng, kalau status kepemilikan tanah pada hutan yang telah kami lestarikan jelas itu adalah hak-hak masyarakat, bukti-bukti hukum jelas, selain rincik, juga bukti pembayaran pajak setiap tahunnya.

Tapi yang membuat masyarakat raguragu berbuat, adalah pengesahan dan pengakuan dari pemerintah setempat, utamanya Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa. “Jangan sampai kami dalam dusun-dusun ini ditangkapi, dianggap sebagai pencuri kayu. Kenapa, karena seringkali kami melihat tanaman yang tumbuh dan ditanam dihalaman rumah warga ketika mau ditebang, dianggap itu kawasan hutan lindung, dan akhirnya mereka disel atau dikurung. Kami tidak mengalami seperti itu,” kata Petta Huseng.

Ia meminta, agar Pemerintah Kabupaten Gowa atau Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, utamanya Dinas Kehutanan, datang melihat lokasi tersebut, dan mencocokkan dengan peta kehutanan, sehingga masyarakat setempat selain mampu melestarikan hutan, juga mereka dapat menikmati pohonnya yang dianggap sudah layak untuk ditebang.

“Soal penebangan jangan ragu, kami dalam kelompok tani hutan ini punya aturan-aturan tersendiri, dan terbukti sampai saat ini tidak yang berhasil melanggar aturan adat tersebut,” pinta Petta Huseng.

Kalau tidak percaya, lanjutnya, lihat saja langsung, sekian puluh tahun, tidak ada bekas-bekas penebangan, karena memang masyarakat atau anggota kelompok kami dilarang keras menebang kayu. “Kalau hanya datang melihat dan menyaksikannya dari jauh, lalu kami semua puas melihat itu, jelas kami tidak melarang, karena selama ini hanya itu yang dapat kami lakukan,” katanya menyendir. (sultan darampa)