SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Sabtu, 01 Januari 2011

BUNDA YULIANA : Sang Pencerah dari Komunitas Adat Luwu Raya

BUNDA YULIANA. Sang perempuan yang sudah dimakan usia itu tak pernah berhenti melangkah menuju keadilan, ia tak pernah stop bersuara walaupun vocalnya sudah serak-serak diantara derap pembangunan dan tirani. Ia adalah sosok perempuan panutan dalam pembebasan hak-hak kaum marginal. Ibu Yuliana (tengah) mengangkat poster ketika unjuk rasa salah satu PMA di Indonesia.

Makassar, KBSC)
Berikut petikan hasil wawancara antara Bata Manurung dengan sang tokoh perempuan adat, Ibu Yuliana dalam mempertahankan tanah kelahirannya.
Tanggal 14 Desember 2010,diatas rumah yang berukuran 5x9,saya dan teman-teman AMAN Wilayah Tana Luwu bertemu dengan ibu Yuliana,dia bercerita begini.

“Bagaimana pun beratnya hidup di sini, ini adalah rumah kami. Setiap lekuk gunung, setiap helai rumput, setiap tetes air danau Matano, begitu dekat di hati. Tak ada tempat lain di dunia yang bisa menggantikan tanah kami.”

Sepenggal ungkapan diatas adalah bentuk ungkapan hati seorang Yuliana, 60, Masyarakat adat Karonsi’e dongi yang kini tinggal di Sorowako. Jalan menuju ke rumah Yuliana, 72, hanya berjarak sekitar 500 meter dari Bumi Perkemahan (Bumper) Sorowako. Diusianya yang sudah tidak muda lagi, Yuliana masih beraktifitas seperti biasa, yakni berkebun dan bercocok tanam di lahan dekat rumahnya.

Yuliana, merupakan satu dari puluhan Masyarakat Adat Dongi yang berada di desa kampung Baru, kecamatan Nuha, Luwu Timur. Keberadaan perkampungan milik masyarakat adat Dongi itu tampak kontras dengan pembangunan kemewahan di kawasan areal pertambangan milik PT International Nickel Indonesia (Inco). Hanya terdapat beberapa rumah tempat tinggal Komunitas adat Karonsi’e Dongi yang berada tepat di
samping Lapangan Golf milik perusahan nikel terbesar di Sulawesi itu.

Konflik antara masyarakat adat Dongi dengan PT Inco memang sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Saat itu, masyarakat adat Dongi telah melakukan berbagai upaya lobby dengan pihak perusahaan dan pemerintah daerah, agar mereka dapat kembali menguasai tanah leluhur mereka.

Penderitaan masyarakat adat Dongi memang sangat panjang, setidaknya mereka sudah merasakan penderitaan sejak jaman kolonial Belanda lalu.

Yuliana menceritakan, Tahun 1870, masyarakat adat Dongi yang cikal-bakalnya berasal dari tanah Witamorini meninggalkan Lembomoboo, yaitu setelah meletusnya perang antara Kolonilisme Belanda melawan Masyarakat adat Dongi di Bentewita.

Witamorini ditinggalkan secara praktis, pada tahun 1880. Masyarakatnya kemudian terpencar dan berpindah-pindah hidup. Bukti-bukti perpindahan dan kehidupan mereka hingga saat ini masih dapat kita saksikan melalui situs-situs perkampungan dan kuburan leluhur mereka yang terdapat di beberapa areal yang dikuasai oleh PT Inco. Secara berangsur,masyarakat adat Dongi kemudian kembali ke tanah leluhur mereka.

Pada masa timbulnya pergolakan sosial di Sulawesi Selatan oleh DI/TII sekitar tahun 1950an, maka Masyarakat adat Dongi dan Masyarakat Sorowako pada umumnya kembali mengungsi ke Soluro Pada tahun 1954/1956.
Pada tahun 1957 Kekacauan semakin meningkat dan memaksa Masyarakat adat Karunsi’e Dongi yang mengungsi di Soluro terpaksa harus menyebar hingga ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Pada tahun 1969-1976 Masyarakat adat Dongi yang ada di Pengungsian mulai kembali ke kampong Dongi atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Baru.

Namun, kondisi di tanah Dongi sudah berubah. Pasalnya, baik perkampungan, sawah, lahan perkebunan dan hutan adat sudah dikuasai oleh PT Inco melalui kontrak karya yang diperoleh dari Pemerintah pada tahun 1968.

Bagi masyarakat adat Dongi, keberadaan PT Inco merupakan bentuk pengambil alihan secara sepihak sumber kehidupan masyarakat Adat Dongi, yakni berupa tanah tanpa pemberian ganti rugi atau kompensasi apapun.

Perkampungan itu kini telah menjadi pemukiman karyawan PT Inco dan lapangan golf, tetapi situs-situs perkampungan sebagian besar masih eksis bahkan terawat dengan baik hingga saat ini, termasuk jalan raya, kuburan, tanaman jangka panjang, dan sejumlah peninggalan lainnya.

“Saat ini, bekas kampung Dongi sudah dikuasai oleh perusahaan, namun, kami masih tetap berpegang teguh, bahwa tanah ini adalah tanah peninggalan leluhur,” ujar Yulian

Demikianlah petikan wawancara ini yang dikirim oleh Ketua Pengurus Wilayah AMAN Luwu Raya. (sultan darampa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi