SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Kamis, 30 Desember 2010

Sukses Lestarikan Hutan, Cukup Pandangi Saja


Bukti masyarakat mampu melestarikan hutan kini datang lagi dari Dusun Palulung dan Dusun Sapiriborong, Desa Balasuka, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Masyarakat atas nama kelompok tani hutan, telah sukses melestarikan hutan seluas 250 hektar, ditambah 5 hektar hutan adat, dan mempertahankannya dari pembalakan liar hingga kini, sekitar 15 tahun lamanya sampai masa siap tebang.

Makassar, (KBSC).
Kawasan hutan yang tidak produktif lagi karena pemanfaatan kayunya oleh masyarakat sekitar 1960-an, masih zaman kekaraengan, telah mengakibatkan ekosistem hutan ini gundul, dan kelihatannya hanya kelompok-kelompok hutan sabana.

Kemudian sejak 1997, berbagai program pemerintah masuk ke kecamatan itu, akhirnya atas adanya program padat karya dengan penanaman pohon untuk masyarakat, maka beramai-ramailah masyarakat menanam pohon tersebut.

Tetapi program ini gagal, masyarakat menjadikannya sebagai kawasan pengembalaan. Kalau ada pohon yang mulai tumbuh, akhirnya mati juga diinjak hewan ternak. Setelah berkembang coklat, cengkeh, kopi atau tanaman perkebunan akhirnya masyarakat ramai-ramai menanam tanaman tersebut. Sayangnya tanaman ini banyak juga yang gagal.

Maka atas prakarsa salah seorang tokoh masyarakat setempat, Bapak Konde (sudah almahrum), mempelopori penanaman dan penghijauan kembali, tentu dengan dipandu oleh Dinas Kehutanan, sehingga lahirlah namanya “sentra penyuluh kehutanan pedesaan = SPKD”, dan setelah berjalan sekian lama.

Proses pendampingannya juga tidak efektif, akhirnya kerja-kerja kelompok juga tidak maksimal, dan untungnya tanaman tersebut masih terus tumbuh dan berkembang, akhirnya masyarakat menyadari bahwa kayu yang telah ditanam lebih 10 tahun terus memang milikinya, karena ditanam dan tumbuh diatas tanah rincik mereka.

Peran Ketua Kelompok SPKD,  Pak Kombe, dengan gagasan tetap melestarikan hutan tersebut, akhirnya telah membuahkan hasil, meski Pak Kombe sendiri tidak sempat lagi menikmatinya, karena telah meninggal dunia sebelum kayu tersebut layak untuk ditebang.

Saat ini, hutan yang telah memulihkan ekosistemnya, termasuk menjadi kantong cadangan air telah sangat berguna bagi kawasan sekitarnya, termasuk kawasan pertanian yang ada disekelilingnya.

Namun pertanyaan masyarakat, atau kelompok bahwa apakah itu hanya puasa kalau hutan yang hijau kembali itu kita nikmati atau pandang terus saja, tanpa dapat dimanfaatkan kayunya.

“Kami maunya menebang, tapi kami larang anggota kelompok kami menebang, karena jangan sampai setelah disenso, tiba-tiba dapat petugas kehutanan menangkap kami walaupun kami menebang diatas tanah rincik kami,” ujar ketua Kelompok Hasbi.

Hal yang sama juga diakui, tokoh masyarakat Palulung, Petta Huseng, kalau status kepemilikan tanah pada hutan yang telah kami lestarikan jelas itu adalah hak-hak masyarakat, bukti-bukti hukum jelas, selain rincik, juga bukti pembayaran pajak setiap tahunnya.

Tapi yang membuat masyarakat raguragu berbuat, adalah pengesahan dan pengakuan dari pemerintah setempat, utamanya Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa. “Jangan sampai kami dalam dusun-dusun ini ditangkapi, dianggap sebagai pencuri kayu. Kenapa, karena seringkali kami melihat tanaman yang tumbuh dan ditanam dihalaman rumah warga ketika mau ditebang, dianggap itu kawasan hutan lindung, dan akhirnya mereka disel atau dikurung. Kami tidak mengalami seperti itu,” kata Petta Huseng.

Ia meminta, agar Pemerintah Kabupaten Gowa atau Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, utamanya Dinas Kehutanan, datang melihat lokasi tersebut, dan mencocokkan dengan peta kehutanan, sehingga masyarakat setempat selain mampu melestarikan hutan, juga mereka dapat menikmati pohonnya yang dianggap sudah layak untuk ditebang.

“Soal penebangan jangan ragu, kami dalam kelompok tani hutan ini punya aturan-aturan tersendiri, dan terbukti sampai saat ini tidak yang berhasil melanggar aturan adat tersebut,” pinta Petta Huseng.

Kalau tidak percaya, lanjutnya, lihat saja langsung, sekian puluh tahun, tidak ada bekas-bekas penebangan, karena memang masyarakat atau anggota kelompok kami dilarang keras menebang kayu. “Kalau hanya datang melihat dan menyaksikannya dari jauh, lalu kami semua puas melihat itu, jelas kami tidak melarang, karena selama ini hanya itu yang dapat kami lakukan,” katanya menyendir. (sultan darampa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi