SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Sabtu, 09 Januari 2010

Dari Padang Ilalang ke Hutan Rimba



Kawasan Buludua Kecamatan Pituriawa Kabupaten Sidrap didominasi lahan persawahan. Ekosistem sawah basah ini mengepung padang ilalang. Hamparan padang ini hanya ditumbuhi rumput, tanaman perdu, dan lainnya.

Penduduk Pituriawa selama sebelum tahun 2000-an hanya memanfaatkan ekosistem padang ilalang ini sebagai zona pengembalaan, kawasan pelepasan hewan ternak usai membajak di sawah.

Sebagai lahan yang diterlantarkan, akhirnya tampillah tokoh konservasi, Hasan Gani. Dengan rekomendasi dari Bupati Sidrap HS Parawansa, Hasan Gani memimpin masyarakat Buludua untuk menghijaukan padang ini menjadi hutan.

Menurut Hasan Gani, ada beberapa alasan sehingga kawasan ini dijadikan areal tanaman hutan, yaitu karena padang ilalang ini adalah tanah leluhur yang kemudian dijadikan tanah negara. Hal ini dibuktikan kawasan ini sebagian lokasi HGU.

“Kawasan ini sesungguhnya adalah merupakan bukit-bukti, (bulu, bugis). Artinya, kawasan ini berpotensi sebagai air baku cadangan bagi sistem pertanian lahan basah,”” lanjutnya.

Ia menambahkan, kawasan ini sangat strategis sebagai kawasan ekosistem hijau, hal itu dianggap karena sepanjang mata memandang (diluar kawasan tersebut) adalah hamparan persawahan. Kalau musim kemarau, (sebelum ada sistem irigasi) adalah tanah kering. Sehingga kawasan ini cocok dijadikan kawasan penyanggah, kawasan hutan yang berkontribusi terhadap daerah-daerah di bawahnya atau di sisinya.

Berdasarkan dengan hal itu, Hasan Gani kemudian road show ke berbagai pihak, termasuk diantaranya Balai Pengelolaan DAS Jeneberang – Walanae. Badan ini kemudian bersedia membantu petani Buludua dengan menyediakan bibit sekitar 200.000 biji jatih putih.

Sebelumnya, Hasan Gani sebagai pemegang mandat untuk menghijaukan padang ilalang ini, terlebih dahulu membagi-bagikan tanah kepada petani buruh yang selama ini tidak memiliki tanah garapan.

Dalam perkembangannya kemudian, akhirnya berkumpul petani 98 orang. Kumpulan petani ini lalu membentuk kelompok tani hutan lestari Buludua. Dengan organisasi para petani ini, akhirnya bantuan bibit dari BP DAS pun tiba.

Sistem Swakelola
Luasan ini terbagi ke dalam individu, atau anggota yang masing-masing mengelola kawasan itu sesuai dengan batas-batas kemampuan kelolanya. Misalnya, terkadang satu orang anggota kelompok dapat menguasai atau memiliki 2 hingga 5 hektar hutan jati. Hal ini terjadi, karena sistem pembagian itu, sebelum penataan, didasarkan pada kemampuan fisik masing-masing anggota.

Kemampuan fisik ini didasarkan pada kemampuan masing-masing anggota bekerja. Menurut Hasan, banyak anggota langsung mencaplok beberapa hektar, tapi setelah berjalan beberapa bulan dan ternyata tidak ada aktivitas di dalamnya, maka Puang Hasan langsung menambil alih lahan tersebut, dan kemudian diberikan kepada orang atau calon anggota yang mampu mengerjakannya, atau yang berkebun atau menanam jati.

Sayang ekosistem hutan jati ini mengambil penurunan kualitas, termasuk soal jumlah hamparan. Hal ini diakibatkan karena kelompok perushaan, Margaretsa, pemilik HGU perkebunan tebu, diduga telah melakukan sejumalh pembakaran di wilayah, dan tanpa disadari warga, pembakaran itu merembes ke dalam wilayah hutan jatinya.

Salah seorang petani, Wa Kallu, mengaku kecewa atas sikap pemilik HGU Margaretsa atas pembakaran yang dilakukannya dan berdampak langsung terhadap ekosistem hutan. “Puluhan hektar hutan jati yang berumur 5 tahun ke atas hangus dimakan api. Memang Margaretsa tidak langsung membakar lahan atau hutan kami, tetapi hamparan padang ilalang miliknya itu pasti merambah atau memasuki lahan hutan kami, sehingga kami terkadang hanya menikmati pohon-pohon jati yang meranggas.

Wa Kallu sendiri mengaku seringkali didatangi oknum polisi dan militer memperatasnamkan perusahaan Margaretsa untuk mengusirnya dari lahan hutan jati mereka. Tindakan sewang-wenang oknum ini dibiarkan oleh pemerintah setempat.

Sumber Air Penyanggah
Sekali lagi terbukti teori yang mengatakan bahwa jika ekosistem hutan sudah pulih, maka dengan sendirinya hutan itu akan menyediakan air baku. Hal ini dapat dilihat pada beberapa mata air di sepanjang kali kecil yang terdapat di dalam ekosistem hutan tersebut.

Mata air ini baru dapat ditemukan ketika hutan jati sudah berumur 7 – 8 tahun. Dulu, menurut cerita petani, mereka sangat kesulitan mencari air, utamanya untuk kebutuhan menyiram tanama mereka, apalagi ketika harus menyiram ratusan pohon atau malah ribuan pohon jati anakan yang terancam mati kering. Malah kadang petani harus mengambil air siram dari tempat yang sangat jauh, atau petani memilih menggali sumur di tengah-tengah sawah padi.

Dengan pulihnya ekosistem hutan ini, maka saat ini sduah ditemukan sekitar 5 atau lebih sumber air baru, atau sumur baru sebagai mata air yang muncul dari sisi-sisi kali yang terbentang membela areal hutan jati ini. Sementara kalinya, atau sungai kecil ini, juga terus mengalirkan air sepanjang musim.

“Untuk kebutuhan air konsumsi ini, sering kita minum tidak dimasak lagi, atau dididihkan dulu, airnya sangat dingin, dan ketika dimasukkan ke dalam botol air mineral, pasti orang tidak dapat membedakan,” kata P.Hasan Gani.

Malah, P.Hasan bercita-cita membuat sistem penyulingan tersendiri untuk air kemasan botol, karena kondsi air nyata tidak memilik zat kapur, atau zat lain sehingga ada kelainan rasa ketika meminumnya. Namun rencana itu susah terwujud, tapi minimal orang-orang yakin bahwa dengan hijaunya padang ilalang ini menjadi hutan, maka sumber-sumber air dan volume air sungai kecil itu kembali stabil.

Sekolah Petani
Dengan keberhasilan kelompok tani pelestari hutan Buludua mengembangkan sistem hutan kerakyatan ini, maka kawasan ini menjadi laboratorium pengembangan HTR. Berbagai pihak telah datang ke tempat ini untuk belajar, termasuk penelitian bagi mahasiswa.

Malah Dinas Kehutanan yang semestinya menjadi pelopor dari gerakan ini, baru belakangan menyadari ekosistem hutan ini tumbuh dengan baiknya. “Selama bertahun-tahun tidak ada keterlibatan dari Dinas Kehutanan, baru saat ini mereka melihat, itu pun karena suasana politik pemerintahan di Kabupaten Sidrap sudah berobah,” lanjut Hasan Gani.

Menurutnya, pemerintah peduli atau tidak, bagi kelompok ini sudah tidak ada masalah, karena ia juga sudah bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk diantaranya bekerjasama dengan LSM lingkungan untuk konsep membangun sekolah petani. Artinya petani dari propinsi lain di Indonesia dapat datang berkunjung HTR ini. Untuk itu, ia membangun sekretariat atau tempat pertemuan (sekolah) di tengah-tengah ekosistem hutan jati ini.

Untuk mengetahui seluk beluk dan liku-liku membangun hutan kerakyatan dari padang ilalang, tanpa bantuan dari pemerintah setempat yang berarti, dapat disaksikan filmnya yang diterbitkan oleh Sulawesi Channel Films. (teks:unding, foto-foto:sc publishing)

Perempuan dan Gula Merah Cenreangin


Salah satu dampak pelestarian hutan oleh masyarakat setempat adalah selain masih terjagannya hutan dari aktivitas perambahan, kebakaran, juga dapat berpotensi sebagai sumber-sumber penghasilan masyarakat non kayu.
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) ini terdiri atas penyadapan pohon enau sebagai gula aren, rotan, ataupun hasil buah-buahan lainnya.
Untuk memperkuat sistem penjagaan terhadap kawasan hutan ini, maka masyarakat membentuk kelompok pelestari hutan. Fungsinya, menjaga kelestarian hutan, mengembangkan penghasilan ekonomi masyarakat dari hutan buka kayu, dan sejumlah kegiatan penelitian lainnya.
Lasamu, bersama masyarakat Desa Cenreangin mendapat kepercayaan dari pemerintah, utamanya BKSDA dan Dinas Kehutanan, untuk menjaga kelestarian hutan yang ada di dalam wilayahnya.
Kawasan hutan di Desa ini terbagi atas dua, yakni kawasan khusus untuk konservasi, dan kawasan hutan produksi terbatas. Khusus kawasan konservasi, dia diberi mandat untuk menjaga kawasan ini, termasuk menjaga para perambah yang ingin mengambil kayu atau menebang pohon dari kawasan konservasi ini.
“Sekitar 246 hektar hutan konservasi menjadi tanggungjawab masyarakat untuk menjaganya, dan sekiap harinya, bersama dengan patroli dari kehutanan saya menelusuri seluruh lekuk-lekuk kawasan hutan ini,” katanya.
Kawasan ini terdiri atas ekosistem hutan Jati yang ditanam masih zaman Penjajahan Belanda. Menurut cerita orang, bibitnya didatangkan dari Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Selain jati, juga terdapat berbagai macam dan jenis kayu-kayuan yang sudah berusia ratusan tahun.
Sementara di hutan produksi, juga terdapat tanaman perkebunan, seperti mangga, kelapa, kemiri, pohon aren, durian, rambutan dan lainnya. Malah terdapat sedikit perkebunan jagung yang dimanfaatkan masyarakat disela-sela tanaman jangka panjang.
Masyarakat lebih senang memanfaatkan kawasan hutan ini untuk kegiatan ekonominya pembuata gula aren.
“Cenreangin sejak dahulu dikenal sebagai produksi gula terbesar di Kabupaten Sidrap, malah tidak disedikit produksi gula merah ini dipasarkan ke Makassar atau kota-kota lainnya di Sulsel,” ungkap Lasamu.
Beberapa Tahapan Pembuatan Gula :
1.Air nirah yang baru saja diambil dari pohon enau dengan menggunakan timpo (bambu besar dan panjang)(2)Siapkan wajan besar lalu diletakkan diatas tungku api. (3) Tuangkan Air nirah dari dalam timpo ke dalam wajan, (4)Diaduk dan biarkan mendidih hingga beberapa jam lamanya, (5) Dites tingkat kekentalannya. Pada fase ini air nirah ini sudah berwarna merah bata, (6) Setelah dianggap kental dan sudah berwarnah mera bata tua, kemudian digarusu / digaruk hingga beberapa menit, (7) Wajan besar itu diangkat menjauhi tungku, (8)Digaruk lagi hingga 1 jam atau lebih, (9)Setelah air dan gelumbung atau busa putih menyatu dengan cairan merah bata tua, lalu dituangkan ke dalam cetakan, (10) Menunggu hingga dua atau tiga jam lamanya, gula merah yang berbentuk sesuai ukuran cetak diangkat dengan hati-hati, agar tidak patah, atau retak, karena hal ini turut menentukan harga gula merah perbijinya.
(11) Sesudah itu, dibungkus dengan daun jati. Lalu dimasukkan ke bakul siap dijual ke pasar. (s.darampa)

KHAGATI, Layang-layang Tradisional Muna


Layang-layang tradisional daerah Muna atau yang dalam bahasa daerah setempat disebut kaghati merupakan jenis layang-layang yang menggunakan alat dan bahan yang bersifat tradisional demikian pula dengan cara pembuatannya. Jenis layang-layang ini merupakan warisan budaya leluhur daerah Muna yang menjadi salah satu kebanggaan budaya masyarakat setempat.

Pada zaman dahulu, masyarakat Muna meyakini bahwa layang-layang merupakan sarana penolong dan akan menaungi mereka dari sengatan sinar matahari di hari kemudian setelah mereka meninggal dunia. Saat ini, selain sebagai sarana olah raga dan rekreasi, layang-layang tetap diyakini memiliki nilai yang sakral terutama pada upacara-upacara setelah masa panen. Layang-layang biasanya menjadi sarana hiburan bagi masyarakat yang dinaikkan sejak sore sampai pagi hari selama 7 hari 7 malam. Apabila layangan tersebut tidak lagi dapat diturunkan, maka dibuatlah suatu upacara untuk memutuskan tali layangan tersebut. Pada layangan tersebut digantungkan sesajen berupa ketupat dan makanan lainnya. Niat yang terkandung dalam upacara tersebut adalah bahwa seluruh halangan dan rintangan yang tidak baik (kesialan) terbawa bersama layang-layang yang telah diputuskan.

Pembuatan kaghati tidak mengikuti ukuran tertentu tergantung pada selera pembuatnya dan siapa yang akan memainkan layangan tersebut. Menurut bentuknya kaghati dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yang telah dikenal secara umum oleh masyarakat daerah Muna :

1. Bhangkura. Jenis ini berbentuk wajik dan merupakan jenis yang paling umum dibuat karena modelnya relatif sederhana. Panjang tiang vertical dan horizontal seimbang (sama). Pertengahan tiang horisontalnya diikat pada 1/5 bagian atas tiang vertical.
2. Bhalampotu (Mantobua). Jenis ini memiliki tiang vetikal (kainere) lebih pendek dari tiang horizontal. (pani). Pertengahan tiang horisontalnya diikat pada 2/5 bagian atas kainere.
3. Kasopa. Jenis ini bentuknya menyerupai Bhalampotu dimana tiang vertical lebih pendek dari tiang horizontal. Pertengahan tiang horizontal diikat pada kurang lebih 3/7 bagian atas tiang tiang vertical.
4. Wantafotu. Jenis ini memiliki ciri khas tiang vertical lebih pendek dari tiang horizontal dengan menggunakan perbandingan 1 : 1.2. Pertengahan tiang horizontal diikat pada kurang lebih 5/9 bagian atas tiang vertical.
5. Salabanga. Jenis ini bentuknya menyerupai wajik tetapi sisi-sisnya tidak terlalu berimbang seperti pada jenis bhangkura.
6. Sopi Fotu. Jenis ini memiliki bentuk yang lebih lancip pada sisi atasnya dibanding jenis bangkura dan salabanga. Keunggulan jenis ini adalah kecepatan melayang/terbang di udara sangat tinggi.

Bagian-bagian kaghati terdiri atas:
a. Kerangka utama :
1. Tiang vertikal (kainere). Tiang ini terletak di bagian tengah pada posisi vertical. 2. Tiang horizontal (pani). Tiang ini terikat dengan tiang vertical mengarah horizontal, 3.Tali bagian luar. Bagian ini terdiri atas 2 bagian yang bersisian, 4.Tali bagian dalam berbentuk jaring (kalolonda). Tali pada bagian dalam ukurannya lebih kecil dari tali bagian luar. Fungsi tali bagian dalam adalah untuk menahan/menopang daun ubi gadung dari terpaan angin, 5.Ikatan penyambung antara sisi-sisi tali bagian luar (bhanta)

b. Daun :
Daun yang digunakan adalah daun gadung atau ubi hutan (Discorea Hsipida.sp). Pada masing-masing dahan ubi hutan terdapat 3 helai daun yang terdiri atas 2 helai daun jenis feminine dan 1 helai daun jenis maskulin. Kedua helai daun jenis feminine berada pada sisi kanan dan kiri dengan serat daun mengarah horizontal sedangkan helai daun jenis maskulin berada di tengah (diantara kedua helai daun feminine) dengan serat daun mengarah vertikal. Adalah penting untuk bisa membedakan kedua jenis daun ini karena akan menentukan penempatan daun pada rangka layang-layang. Jenis daun maskulin akan ditempatkan pada bagian tengah layang-layang mengarah vertikal sedangkan jenis daun feminine akan ditempatkan pada sisi kiri dan kanan layang-layang mengarah horizontal.

c. Tali layang-layang (Ghurame) :
Tali layang-layang terbuat dari serat nenas hutan.

d. Instrumen pelengkap :
1. Penyeimbang (kaworu/kamuu). Selain berfungsi sebagai penyeimbang kaworu/kamuu juga berfungsi untuk menghasilkan bunyi pada saat terbangkan. Penyeimbang ini diletakkan di belakang rangka layang-layang. 2. Kasaa, yaitu seutas tali yang salah satu ujungnya diikat pada ujung bawah tiang vertical dan ujung lainnya diikat pada titik pertemuan/perpotongan tiang vertical dan horizontal.

Adapun alat dan bahan yang digunakan serta proses pembuatan bagian layang-layang dan proses perakitan layang-layang adalah sebagai berikut:

Alat :
1. Pisau
2. 2 buah belahan bambu

Bahan :
1. Tiang vertikal (kainere), yaitu 1 batang bambu buluh utuh (tidak dibelah)
2. Tiang horizontal (pani. Bambu biasa yang dihaluskan
3. Tali bagian luar.Serat daun nenas hutan (Agave.sp)
4. Tali bagian dalam atau jaring (kalolonda). Tali batang waru/bontu
5. Ikatan penyambung antara sisi tali bagian luar (bhanta).Tali batang waru atau serat daun nenas hutan
6. Daun. Daun ubi hutan (kolope) atau daun gadung (Discorea Hsipida.sp.Sayatan bambu halus/bambu buluh berdiameter  2 mm (kasoma).
7. Penyeimbang (kaworu/kamuu).Belahan bambu biasa.Daun agel
8. Kasaa. Serat daun nenas
9. Tali layang – layang (ghurame).Serat daun nenas hutan

Proses pembuatan bagian layang-layang :

a. Kerangka Utama :

1. Tiang vertikal (kainere).1 batang bambu buluh yang utuh dipotong sesuai tinggi yang diinginkan
2. Tiang horizontal (pani). Bambu biasa dibelah dan kemudian dihaluskan.
3. Tali bagian luar. Daun nenas hutan terlebih dahulu direndam di air selama 1 atau 2 hari sampai daging daun membusuk. Proses ini dimaksudkan agar serat daun terpisah dari daging daun dan untuk memperoleh serat yang lebih banyak.

Kemudian daun nenas dipukul-pukul untuk memisahkan serat daun dengan bagian daun lainnya.

Gunakan 2 buah belahan bambu yang masih menyatu pada salah satu ujungnya untuk menjepit daun nenas yang telah dipukul-pukul. Ujung belahan bambu yang lainnya dijepit secara manual. Belahan bambu tidak boleh bersisi tajam karena akan merusak serat nenas

Dalam keadaan terjepit tariklah daun nenas tersebut. Langkah ini dimaksudkan untuk memudahkan pencabutan serat pada daun.

Setelah serat daun diperoleh, serat tersebut kemudian dipintal secara manual sehingga membentuk tali.

4. Tali bagian dalam berbentuk jaring (kalolonda). Kulit pohon waru dipintal sehingga menghasilkan tali. Tali bagian dalam ini berukuran lebih kecil dari tali bagian luar.

5. Ikatan penyambung antara sisi-sisi tali bagian luar (bhanta)
- Ikatan penyambung yang digunakan adalah tali yang terbuat dari kulit pohon waru yang dipintal atau dari serat nenas.

b. Daun :
- Daun gadung/kolope dikeringkan terlebih dahulu. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu diasapi dan dikeringkan di panas matahari. Proses pengasapan akan menghasilkan kualitas warna daun yang lebih baik dibandingkan dengan mengeringkan di panas matahari. Untuk daun gadung yang telah kering secara alami dan telah gugur dari pohon dapat langsung diolah ke proses selanjutnya tanpa proses pengeringan terlebih dahulu.
- Setelah kering semua daun gadung tersebut dirapikan sampai permukaannya rata. Untuk mendapatkan daun yang rapi dan rata dapat menggunakan cara dimana semua daun disusun dalam satu tumpukan yang rapi kemudian pada bagian atas tumpukan daun diberi pemberat.
- Setelah itu daun gadung dipotong pada sisi-sisinya dengan menggunakan pisau sehingga membentuk segi empat dengan ukuran yang sama untuk semua daun.
- Daun yang telah dipotong membentuk segi empat dianyam satu dengan lainnya dengan menggunakan bambu buluh yang telah disayat halus (kasoma) dengan ukuran diameter  2 mm.

C. Tali layang-layang (ghurame)
Menggunakan tali layang-layang yang terbuat dari serat nenas hutan.
d. Instrumen pelengkap :
1. Penyeimbang (kaworu/kamuu)
- Bambu biasa dibelah dengan lebar yang sesuai sehingga dapat dilekukkan
- Daun agel dengan kualitas yang baik disiapkan.

2. Kasaa, yaitu seutas tali yang salah satu ujungnya diikat pada ujung bawah tiang vertical dan ujung lainnya diikat pada titik pertemuan/perpotongan tiang vertical dan horizontal


Proses perakitan layang-layang :

1. Ikatkan tiang vertikal pada tiang horizontal dengan menggunakan tali batang waru atau serat nenas (bhanta).
2. Ikatkan tali bagian luar pada setiap ujung tiang vertikal dan horizontal juga dengan menggunakan tali batang waru atau serat nenas sehingga terbentuk kerangka layang-layang berbentuk wajik.
3. Anyam tali bagian dalam sehingga membentuk jaring.
4. Buat penyeimbang (kaworu). Ikatkan bagian bambu biasa yang telah dibelah pada titik tengah pertemuan tiang vertikal dan horizontal. Kemudian dilekukkan belahan bambu tersebut dan ikatkan kedua ujungnya dengan ujung bentangan daun agel dengan menggunakan tebu hutan yang telah dilubangi (kabongke). Posisi penyeimbang ini adalah independent dimana hanya terikat pada titik tengah lekukan belahan bambu. Bagian lainnya terlepas bebas dari kerangka utama layang-layang.
5. Anyaman daun gadung ditempelkan pada kerangka layang-layang dengan cara dianyam/disulam menggunakan bambu buluh yang telah disayat halus (kasoma).
6. Ikatkan salah satu ujung tali pada bagian ujung bawah tiang vertical dan ikatkan ujung yang lainnya pada titik pertemuan tiang vertical dan horizontal (kasaa).
7. Ikatkan salah satu ujung tali layang-layang (ghurame) pada kasaa dan biarkan ujung satunya bebas

Berikut adalah gambar kaghati lengkap dengan bagian-bagiannya dilihat dari tampakan belakang:

Keterangan :


1. Tiang vertikal (kainere) 4. Tali bagian dalam (kalolonda) 7. Instrumen penyeimbang
(kamuu) 2. Tiang horisontal (pani) 5. Ikatan penyambung antara sisi-sisi tali bagian luar(bhanta) 3. Tali bagian luar 6. Daun gadung/kolope. 8. Kasaa.
Catatan: daun kolope menutupi seluruh area rangka layang-layang kecuali tali paling luar. 9. Tali layang-layang

Kontributor : arman / ProFiles

Panaikang Memandang Bumi (secarik catatan tercecer dari Pembuatan Films DAS Jeneberang)


Panaikang adalah pedusunan yang terletak diatas ketinggian jazirah Bawakaraeng dan Lompobattang. Disamping kanan puncaknya, adalah muara daerah aliran sungai Jeneberang, dan disisi kirinya adalah anak sungai Manappa.

Komunitas Panaikang yang dipimpin oleh Kepala Lingkungan Sulaeman menceritakan, Panakaing dapat diartikan adalah tempat untuk dinaiki, atau disebut tempat yang ketinggian yang dapat dicapai dengan pendakian.

Pedusunan ini dihuni pertama kali oleh penduduk pada tahun awal 1900-an. Sebelumnya. para nenek moyang orang-orang Panaikang mendiami lembah yang dinamai Parangkeke. Parangkeke dapat diartikan sebuah lembah yang terdiri atas padang rumput, dengan dikeliling tebing gunung. Arti harifiahnya yaitu digali.

Parangkeke yang terdiri atas padang rumput dijadikan sebagai tempat pengembalaan hewan ternak oleh penduduk setempat. Entah pada tahun berapa, tiba-tiba Parangkeke dijadikan sebagai tempat pemukiman atau kampung. Dari sinilah kemudian para penduduk kemudian naik ke Panaikang, yang selanjutnya dijadikan tempat tinggal sampai sekarang.

Masih menurut Sulaeman, pada tahun 1965, Kampung ini ditinggalkan penduduk, karena terjadi pemberontakan PKI, dimana orang-orang PKI itu membakar rumah-rumah penduduk sampai ludes. Penduduk mengungsi ke Malino. Namun tidak cukup setahun mengungsi, atau menyingkir sementara, mereka kembali ke Panaikang dengan membangun kembali kampung mereka, awalnya terpaksa membangun rumah-rumah penduduk dengan tiang dan dinding dari bambu.

Padang waktu itu, untuk mengatur tata pemerintahan lokal di Panaikang, maka orang tua Sulaeman ditunjuk sebagai ketua Sariang. Sariang dapat diartikan sebagai Ketua RT. Kewenangan Sariang ini diperluas menjadi kampung sehingga dia dipanggil sebagai kepala kampung.

Sesudah itu, kemudian digantikan oleh anaknya, saudara kandung tertua dari Sulaeman, dan baru pada tahun 1978, barulah Sulaeman menjabat sebagai kepala lingkungan menggantikan kakaknya. Lingkungan Panaikang membawahi dua rukun warga, yaitu RK Pattiro dan RK Panaikang.

Selama memimpin (Kepala) Lingkungan, Sulaeman yang lebih akrab dipanggil Pa’li itu telah melakukan sejumlah program dan pembentukan kelompok, diantaranya :
1. Kelompok Komunitas Sabo Panaikang DAS Jeneberang
2. Kelompok Tani Hutan Lestari Panaikang
3. Kelompok Julu Ero

Kelompok Komunitas Sabo Panaikang
Kelompok ini khusus menangani program warning system. Program ini adalah peringatan bencana dini, seperti mengamati pergerakan tanah longsor yang ada di Lengkese. Jika tanah ini bergerak maka dengan otomatis, oleh petugas jaga posko, langsung memberikan apa-apa, biasanya menggunakan katto-katto atau menggunakan HT (handy talky) kepada posko-posko di bawahnya, atau kepada masyarakat yang ada dibantaran sungai agar waspada terhadap pergerakan longsor ini.

Program ini sangat efektif untuk memberi peringatan kepada masyarakat, agar menghindari sungai jika sewaktu-waktu tanah / longsor yang bergerak ke bawah mengikuti arus sungai. Program ini didampingi oleh Yayasan WaKIL dengan bantuan pendanaan dari JICA.

Kelompok Hutan Lestari Panaikang
Kelompok ini membina sedikitnya 6 sub kelompok yang lebih kecil, yaitu Parangkulo, Bangkeng Sijang, Tobanda, Batumete, Bontotene dan satu kelompok lagi yang terlupa namanya.
Kelompok ini telah melakukan reboisasi atau menghijauan di Ramma. Kawasan Ramma awal mulanya hamparan padang rumput, karena memang kawasan ini areal pengembalaan, atau pelepasan hewan-hewan ternak masyarakat seusai membajak sawah.
Tapi karena desakan untuk penghijauan, maka Ramma dijadikan lokasi penanaman berbagai jenis tanaman kayu, seperti kayu putih, balang jawa. Tanaman ini sudah berumur sekitar 6 tahun, dengan prosentase pertumbuhan sampai 80 persen. Hal ini terjadi karena kawasan ini dijaga oleh seorang pemantau hutan yang setiap harinya menjaga ekosistem hutan tersebut.
Salah satu tugas dari pemantau hutan Ramma adalah menjaga kayu yang baru ditanam ini dari gangguan hewan ternak, sapi, dan memperbaiki atau merawat tanaman ini jika terinjak sapi, dll. Program ini oleh Dinas Kehutanan.
Kemudian setahun yang lalu, yakni 2008, ada program baru dari JICA – Jepang, sebanyak 20.000 bibit Akasia ditanam di lokasi seluas 45 hektar. Namun sayang, program ini dianggap gagal, dengan beberapa alasan : (1) tanaman akasia tetap tumbuh tapi tidak bisa menjadi besar, karena setiap pucuk selalu dimakan hewan ternak, (2) tanaman akasia ini tidak berdampak kepada masyarakat, utamanya dampak ekonomi, karena pada waktu pengusulan, masyarakat atau kelompok minta tanaman kehutanan tapi dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat, misalnya tanaman kemiri.
Selain itu, kelompok tani juga tengah mempersiapkan rehablitasi hutan di Kawasan Talung, dengan luas 100 hektar. Dengan 6 sub kelompok, atau kelompok kecil ini, maka Talung ke depan dapat dijadikan areal kawasan hutan rakyat.

100 hektar ini diprioritaskan tanaman kehutanan sebesar 70 persen, sedangkan 30 persen sisinya adalah tanaman perkebunan jangka panjang, seperti markisa, kakao dll. Sebelumnya, Talung juga telah menjadi lokasi Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GNRHL) sebanyak 40.000 pohon, namun gagal semua.

Kelompok Tani Julu Ero
Kelompok tani ini beranggotakan 25 orang, dengan tujuan yakni agroforestry, yaitu mengutamakan tanaman-tanaman perkebunan, atau tanaman kehutanan tapi menghasilkan buah. Misalnya, markisa, kopi, cengkeh, atau tanaman perdu yakni rumput gajah untuk pakan hewan ternak para petani.

Rata-rata setiap anggota kelompok memiliki luas lahan antara 0,5 – 1 hektar. Tanaman ini sudah tumbuh diatas bekas longsoran dengan umur sekitar satu tahun. Menurut keterangan petani, bahwa luas lahan yang tertimbun longsor yang masuk dalam wilayah Lingkungan Panaikang adalah , sawah 17 hektar, kebun 30 hektar, dimana longsor ini juga telah menelan sekitar 52 ekor sapi milik masyarakat Panaikang.
Demikianlah kondisi kehidupan sehari-hari komunitas Panaikang. Komunitas yang setiap harinya hidup diketinggian dengan hawa pegunungan yang mencekam. Rumah-rumah penduduk berselimut kabut, dengan warganya sehari-hari menoropong sungai, sawah-sawah dan perkebunan mereka ratusan meter dari ketinggian. Tiada hari tanpa memandang bumi. (teks : adi, foto-foto : sc publishing)

Dari Pinggir Sungai Jeneberang



Komunitas Sabo Limbua terletak di Desa Salu Toa, Kecamatan Parigi, yang terletak di Bantaran DAS Jeneberang. Jumlah anggota kelompok ini adalah sekitar 80 orang, atau sebanyak 45 kepala keluarga atau rumah. Di Kampung ini setiap rumah hanya diisi oleh satu kepala keluarga, kecuali bagi orang-orang tua mereka, misalnya nenek atau kakeknya, sehingga tidak dapat dihitung sebagai satu kepala keluarga.

Lingkungan mereka yang terletak di pinggiran sungai, luas perkebunan mereka sekitar 2 Km panjangnya yang merupakan tingkat kemiringan nyaris tegak, sementara luas persawahan mereka sekitar 150 hektar, yang membujur dari timur ke barat.

Anggota kelompok tani ini mengandalkan hidupnya dari pertanian, sawah lahan basah, dengan model irigasi tradisional. Artinya, sistem irigasinya yakni dari pembuatan saluran oleh masyarakat sendiri dengan cara menggali pinggiran sungai Jeneberang. Selokan buatan yang selalu berobah-obah setiap kali terjadi banjir ini, dibuat berdasarkan kelender bertani mereka, bahkan ada ritual-ritual sebelum mereka mengerjakan persawahannya.

Selain kebun dan sawah, mereka juga mengembangkan sistem pertanian, yakni rata-rata setiap kepala keluarga memiliki minimal 2 sampai 7 ekor sapi, dan kambing yang merupakan hak kelola kelompok sebanyak 10 ekor. Hewan-hewan ternak ini juga mengandalkan air minumnya langsung dari sungai Jeneberang.

Menurut Sekretaris Kelompok, Bapak Bakri, selama memegang pengurus kelompok, ia telah melakukan pemetaan bagi kampung itu, termasuk studi PRA, sehingga kelompok sudah memilik data-data kampung seperti yang disebut diatas.

“Dalam memanfaatkan air sungai Jeneberang, kami betul-betul swadaya, dulu ada keinganan dari pihak kontraktor pertambangan untuk membantu kampung kami, tapi nyatanya sampai keluar dari penambangan galian C yang berupa pasir dan batu tidak pernah merealisasikan janjinya, sehingga kami menutup setiap upaya atau rencana tambang,” jelas Bakri.

Ia menambahkan, didalam memanfaatkan langsung air DAS Jeneberang dengan cara swakelola, maka masyarakat dengan arahan kelompok terlebih dahulu melakukan ritual-ritual, seperti :
 Ammua Ulu Salungan : Sebelum mengerjakan sawah, terlebih dahulu mereka bergotong royong mencari sudut-sudut pinggiran sungai yang cocok untuk digalikan saluran sehingga air ini dapat masuk ke persawahan mereka. Terkadang setiap tahunnya panjang-pendeknya saluran yang dibuat tergantung dari posisi pinggiran sungai dengan volume air yang tinggi. Karena irigasi ini masih sifatnya swakelola, maka masyarakat setiap tahunnya selalu memperbaikinya, atau membuatnya yang baru, karena setiap saat saluran itu hilang akibat disapuh banjir longsoran lumpur dan batu.
 Ajjuru-juru : Yaitu upacara ritual dilakukan ketika padi mulai memperlihatkan buah, batang-batang padi mulai hamil
 Apparimbua : Yaitu ketika petani memulai hari pertamanya membajak. Semua petani di Kampung Limbua membajak sawahnya dengan menggunakan sapi secara gotong royong. Mereka dilarang menggunakan traktor atau alat bajak canggih lainnya.
 Pesta Panen : Yaitu dilakukan setelah selesai mengambil padinya di sawah, artinya pesta ini dilakukan ketika tidak ada lagi batang-batang padi yang berdiri di sawah.

Masyarakat masih mempertahankan beberapa padi lokal, seperti parelompoa atau pare 8, pare pulu’ (padi ini ada hitam dan putih). Cirinya, batang padi lebih tinggi dari ‘pada modern’, dan ketika dipanen masih menggunakan anai-anai, dan setelah tiba di rumah sengaja di simpan dalam waktu yang lama. Ketika dibutuhkan, padi ini ditumbuk dengan alu / lesung, mereka sengaja tidak mau membawanya ke pabrik padi, karena dinilai tidak enak dimakan.

Ketika dimasak padi ini harum dan gurih, kenyal, Harganya pun di pasar cukup tinggi di pasar lokal, yaitu :
 Parelompoa : Rp 4.500 perliter
 Beras biasa / pertanian : Rp 3.000 perliter.

Juga keistimewaan padi katto ini (ketika dipanen pakai anai-anai), bukan di dros (cara panen modern sekarang), sehingga nampak berbedaan ketika sudah dimasak (dalam panji) :
 Ketika dimasak parelompa : 1 liter
 Berbanding padi biasa ketika dimasak : 1,5 liter

Selain dengan sistem pertanian yang masih tradisional, masyarakat Limbua juga sudah mulai kembali menggunakan pupuk kompos. Saat ini melalui Yayasan WaKIL, mereka mendirikan pabrik pupuk kompos dengan bahan baku dari batang jerami, sehingga musim-musim sawah mendatang sudah mulai menggunakan pupuk buatan sendiri ini. Dan berdasarkan hasil uji coba, hasil panen mereka tidak berbeda nilai produksinya dengan menggunakan pupuk anorganik (buatau pabrikan besar) dengan pupuk kompos, sehingga lambat laun mereka sudah mulai menerapkan pertanian organik.

Disamping itu, masyarakat atau kelompok juga tengah merencanakan budidaya belut, yang dilakukan selama ini baru pada sistem mina padi, yaitu memilihara ikan (ikan emas) di areal persawahan mereka ketika padi mulai tumbuh dan dipanen ikan itu sebelum panen padi. Namun untuk bubidaya belut, baru pada tahap percobaan, karena mereka belum mengerti betul sistem budidayanya, utamanya pasarnya.

Tetapi yang mengkhawatirkan kelompok ini adalah ancaman banjir lumpur dan batu yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan persawahan mereka. Disamping itu, mereka belum memiliki sistem saluran irigasi yang permanen, karena biaya saluran ini diluar jangkauan pendapatan petani, karena membutuhkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. (teks : s.darampa, foto-foto :SCPublishing)