SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Sabtu, 09 Januari 2010

Dari Padang Ilalang ke Hutan Rimba



Kawasan Buludua Kecamatan Pituriawa Kabupaten Sidrap didominasi lahan persawahan. Ekosistem sawah basah ini mengepung padang ilalang. Hamparan padang ini hanya ditumbuhi rumput, tanaman perdu, dan lainnya.

Penduduk Pituriawa selama sebelum tahun 2000-an hanya memanfaatkan ekosistem padang ilalang ini sebagai zona pengembalaan, kawasan pelepasan hewan ternak usai membajak di sawah.

Sebagai lahan yang diterlantarkan, akhirnya tampillah tokoh konservasi, Hasan Gani. Dengan rekomendasi dari Bupati Sidrap HS Parawansa, Hasan Gani memimpin masyarakat Buludua untuk menghijaukan padang ini menjadi hutan.

Menurut Hasan Gani, ada beberapa alasan sehingga kawasan ini dijadikan areal tanaman hutan, yaitu karena padang ilalang ini adalah tanah leluhur yang kemudian dijadikan tanah negara. Hal ini dibuktikan kawasan ini sebagian lokasi HGU.

“Kawasan ini sesungguhnya adalah merupakan bukit-bukti, (bulu, bugis). Artinya, kawasan ini berpotensi sebagai air baku cadangan bagi sistem pertanian lahan basah,”” lanjutnya.

Ia menambahkan, kawasan ini sangat strategis sebagai kawasan ekosistem hijau, hal itu dianggap karena sepanjang mata memandang (diluar kawasan tersebut) adalah hamparan persawahan. Kalau musim kemarau, (sebelum ada sistem irigasi) adalah tanah kering. Sehingga kawasan ini cocok dijadikan kawasan penyanggah, kawasan hutan yang berkontribusi terhadap daerah-daerah di bawahnya atau di sisinya.

Berdasarkan dengan hal itu, Hasan Gani kemudian road show ke berbagai pihak, termasuk diantaranya Balai Pengelolaan DAS Jeneberang – Walanae. Badan ini kemudian bersedia membantu petani Buludua dengan menyediakan bibit sekitar 200.000 biji jatih putih.

Sebelumnya, Hasan Gani sebagai pemegang mandat untuk menghijaukan padang ilalang ini, terlebih dahulu membagi-bagikan tanah kepada petani buruh yang selama ini tidak memiliki tanah garapan.

Dalam perkembangannya kemudian, akhirnya berkumpul petani 98 orang. Kumpulan petani ini lalu membentuk kelompok tani hutan lestari Buludua. Dengan organisasi para petani ini, akhirnya bantuan bibit dari BP DAS pun tiba.

Sistem Swakelola
Luasan ini terbagi ke dalam individu, atau anggota yang masing-masing mengelola kawasan itu sesuai dengan batas-batas kemampuan kelolanya. Misalnya, terkadang satu orang anggota kelompok dapat menguasai atau memiliki 2 hingga 5 hektar hutan jati. Hal ini terjadi, karena sistem pembagian itu, sebelum penataan, didasarkan pada kemampuan fisik masing-masing anggota.

Kemampuan fisik ini didasarkan pada kemampuan masing-masing anggota bekerja. Menurut Hasan, banyak anggota langsung mencaplok beberapa hektar, tapi setelah berjalan beberapa bulan dan ternyata tidak ada aktivitas di dalamnya, maka Puang Hasan langsung menambil alih lahan tersebut, dan kemudian diberikan kepada orang atau calon anggota yang mampu mengerjakannya, atau yang berkebun atau menanam jati.

Sayang ekosistem hutan jati ini mengambil penurunan kualitas, termasuk soal jumlah hamparan. Hal ini diakibatkan karena kelompok perushaan, Margaretsa, pemilik HGU perkebunan tebu, diduga telah melakukan sejumalh pembakaran di wilayah, dan tanpa disadari warga, pembakaran itu merembes ke dalam wilayah hutan jatinya.

Salah seorang petani, Wa Kallu, mengaku kecewa atas sikap pemilik HGU Margaretsa atas pembakaran yang dilakukannya dan berdampak langsung terhadap ekosistem hutan. “Puluhan hektar hutan jati yang berumur 5 tahun ke atas hangus dimakan api. Memang Margaretsa tidak langsung membakar lahan atau hutan kami, tetapi hamparan padang ilalang miliknya itu pasti merambah atau memasuki lahan hutan kami, sehingga kami terkadang hanya menikmati pohon-pohon jati yang meranggas.

Wa Kallu sendiri mengaku seringkali didatangi oknum polisi dan militer memperatasnamkan perusahaan Margaretsa untuk mengusirnya dari lahan hutan jati mereka. Tindakan sewang-wenang oknum ini dibiarkan oleh pemerintah setempat.

Sumber Air Penyanggah
Sekali lagi terbukti teori yang mengatakan bahwa jika ekosistem hutan sudah pulih, maka dengan sendirinya hutan itu akan menyediakan air baku. Hal ini dapat dilihat pada beberapa mata air di sepanjang kali kecil yang terdapat di dalam ekosistem hutan tersebut.

Mata air ini baru dapat ditemukan ketika hutan jati sudah berumur 7 – 8 tahun. Dulu, menurut cerita petani, mereka sangat kesulitan mencari air, utamanya untuk kebutuhan menyiram tanama mereka, apalagi ketika harus menyiram ratusan pohon atau malah ribuan pohon jati anakan yang terancam mati kering. Malah kadang petani harus mengambil air siram dari tempat yang sangat jauh, atau petani memilih menggali sumur di tengah-tengah sawah padi.

Dengan pulihnya ekosistem hutan ini, maka saat ini sduah ditemukan sekitar 5 atau lebih sumber air baru, atau sumur baru sebagai mata air yang muncul dari sisi-sisi kali yang terbentang membela areal hutan jati ini. Sementara kalinya, atau sungai kecil ini, juga terus mengalirkan air sepanjang musim.

“Untuk kebutuhan air konsumsi ini, sering kita minum tidak dimasak lagi, atau dididihkan dulu, airnya sangat dingin, dan ketika dimasukkan ke dalam botol air mineral, pasti orang tidak dapat membedakan,” kata P.Hasan Gani.

Malah, P.Hasan bercita-cita membuat sistem penyulingan tersendiri untuk air kemasan botol, karena kondsi air nyata tidak memilik zat kapur, atau zat lain sehingga ada kelainan rasa ketika meminumnya. Namun rencana itu susah terwujud, tapi minimal orang-orang yakin bahwa dengan hijaunya padang ilalang ini menjadi hutan, maka sumber-sumber air dan volume air sungai kecil itu kembali stabil.

Sekolah Petani
Dengan keberhasilan kelompok tani pelestari hutan Buludua mengembangkan sistem hutan kerakyatan ini, maka kawasan ini menjadi laboratorium pengembangan HTR. Berbagai pihak telah datang ke tempat ini untuk belajar, termasuk penelitian bagi mahasiswa.

Malah Dinas Kehutanan yang semestinya menjadi pelopor dari gerakan ini, baru belakangan menyadari ekosistem hutan ini tumbuh dengan baiknya. “Selama bertahun-tahun tidak ada keterlibatan dari Dinas Kehutanan, baru saat ini mereka melihat, itu pun karena suasana politik pemerintahan di Kabupaten Sidrap sudah berobah,” lanjut Hasan Gani.

Menurutnya, pemerintah peduli atau tidak, bagi kelompok ini sudah tidak ada masalah, karena ia juga sudah bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk diantaranya bekerjasama dengan LSM lingkungan untuk konsep membangun sekolah petani. Artinya petani dari propinsi lain di Indonesia dapat datang berkunjung HTR ini. Untuk itu, ia membangun sekretariat atau tempat pertemuan (sekolah) di tengah-tengah ekosistem hutan jati ini.

Untuk mengetahui seluk beluk dan liku-liku membangun hutan kerakyatan dari padang ilalang, tanpa bantuan dari pemerintah setempat yang berarti, dapat disaksikan filmnya yang diterbitkan oleh Sulawesi Channel Films. (teks:unding, foto-foto:sc publishing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi