SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Selasa, 14 Desember 2010

Siaran Pers KHPK Sultra Peringati Hari HAM

“Tujuan pendirian negara Indonesia untuk melindungi segenap rakyatnya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, masih jauh dari realisasi,” tulis KHPK Sultra dalam siaran persnya dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 42, tanggal 10 Desember 2010, di Kendari - Sultra.

Menurutnya, padahal, inilah cita-cita luhur pendirian negara Indonesia leh para pendiri bangsa (founding father). Fakta menunjukan, realisasi pemenuhan negara atas HAM, baik di ranah Hak Sipil dan Politik (Hak SIPOL), maupun Hak Ekonomi Sosial Budaya (Hak EKOSOB) masih jauh dari harapan rakyat.

Ia mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang seharunya menjadi tanggung jawab negara, hingga saat ini masih terbengkalai penyelesaiannya. Beberapa kasus yang telah diselidiki dan dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, kenyataannya saat ini hanya menjadi tumpukan berkas perkara di Kejaksaan Agung.
Rekomendasi DPR RI tentang kasus penghilangan paksa aktivis pro demokrasi pada 1997/1998, yang dikeluarkan pada tanggal 28 September 2009, tidak ditindaklanjuti pemerintahan SBY. Inti dari rekomendasi itu, merekomendasikan Presiden membentuk pengadilan HAM, membentuk Tim Pencarian untuk Korban yang masih hilang, memberikan kompensasi kepada korban penghilangan paksa, dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Apa dampaknya? Terbengkalainya kasus pelanggaran HAM masa lalu, tentunya menyebabkan tidak adanya efek jera terhadap pelaku pelanggaran HAM, dan kasus-kasus tersebut akan terus berulang di kemudian hari. Kenyataannya memang benar! Kasus-kasus pelanggaran HAM selalu saja terjadi hingga hari ini. Penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pelarangan buku, pembubaran pertemuan/rapat masyarakat sipil, perampasan tanah dan upah, teror, kriminalisasi pada rakyat, atau kejahatan negara dan modal dibidang hak EKOSOB yang lainnya masih saja terus terjadi.

Pemerintah terus membiarkan praktek pelanggaran HAM tersebut terus terjadi, tanpa ada upaya untuk diselesaikan secara tuntas.

Beberapa Kasus
Pemerintah juga membiarkan aksi penjarahan sumber daya alam oleh korporasi besar yang bergerak di sektor tambang, migas, laut, hutan, sumber daya air, dan perkebunan besar, baik asing maupun nasional, untuk menghancurkan bumi pertiwi dengan melakukan eksploitasi besar-besaran atas kekayaan alam Indonesia. Kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat yang merasakan langsung akibatnya. Pemiskinan struktural oleh negara merupaka buah dari praktek pembiaran negara ini.

Perlawanan rakyat untuk mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya justru dijawab dengan tindakan represif oleh negara, dengan menggunakan aparat keamanan dan kelompok preman terorganisir. Negara absen secara sadar dalam mewujudkan ketertiban, keadilan, kemakmuran, serta pemuliaan atas alam dan nasib rakyat banyak!

Di Sulawesi Tenggara, sejumlah kasus pelanggaran HAM masih banyak yang tidak diselesaikan pemerintah. Sebut saja, kasus peristiwa Buton 1969, dimana stigmatisasi PKI menjadi alat legitimasi untuk membunuh dan menahan ratusan orang di wilayah Buton Raya. Keberadaan kamp pengasingan (kampsing) Nanga-Nanga di Kota Kendari, menjadi saksi bisu atas praktek kebrutalan operasi oleh Tentara ini. Kasus ini hingga saat ini tak kunjung diungkap pemerintah.

Kasus lain, penangkapan dan penahanan atas 19 orang mahasiswa LMND dan warga Talaga Raya di Kabupaten Buton yang menolak operasi tambang Nikel PT Arga Morini Indah (PT AMI). Kasus yang terjadi pada bulan Mei 2010 ini, oleh majelis hakim PN Baubau, para tersangka divonis antara 7-10 bulan penjara. Saat ini, kasus sedang berlangsung karena Jaksa Penuntut Umum kasus ini masih lakukan banding atas putusan pengadilan.

Kasus perampasan lahan (land grabbing) juga terjadi secara sistematis pada masyarakat adat (MA): Kontu di Muna, Sambawa di Konawe Utara, Lipu-Katobengke di Kota Baubau, petani Bungi-Sorawolio yang dijarah hutan dan kekayaan alamnya untuk pertambangan nikel PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di kota Baubau, warga di sekitar Lapangan Terbang Maranggo di Tomia Kabupaten Wakatobi, dan kasus penjarahan tanah warga di wilayah pertambangan emas di Kabupaten Bombana.

Kasus lainnya yang tidak terungkap adalah penyerbuan dan penyerangan atas massa aksi Ormas Sarekat Hijau Indonesia (SHI) wilayah Sultra bersama mahasiswa yang kala itu sedang menggelar pembukaan Konfrensi Wilayah (Maret 2008), yang diikuti dengan penyerbuan aparat polisi ke Kampus Universitas Haluoleo (UNHALU) Kendari.

Pemerintah juga terus melakukan praktek pelanggaran HAM kepada pedagang kaki lama (PKL) dalam bentuk penggusuran paksa. Sejumlah kasus yang dapat sorotan publik diantaranya: PKL di sekitar Mall Mandonga, Pasar Kota dan Pasar Baru (Kendari). Praktek ini juga terjadi disejumlah kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara. PKL di sekitar pasar dan ruas-ruas jalan protokol yang jadi korban: digusur paksa tanpa pemenuhan hak-haknya sebagai pedagang (korban) secara manusiawi.

Dengan bercermin pada situasi di atas, kami menyatakan sikap:

1. Rezim SBY-Boediono tidak memiliki komitmen untuk penegakan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

2. Hentikan segala bentuk pelanggaran HAM baik oleh negara maupun korporasi (non state actor).

3. Gerakan rakyat mesti terus bersatu untuk mendesak Presiden SBY untuk segera menindaklanjuti Rekomendasi DPR tanggal 28 September 2009 tentang penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi 1997/1998, dan kasus-kasus masa lalu. Termasuk segera menyelesaikan secara tangung-gugat sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM pasca reformasi 1998.

4. Tindak tegas para pelaku pelanggaran HAM baik oleh sipil, aparat militer, aparat Polri maupun korporasi.

5. Menolak segala bentuk arogansi dan sikap represif pemerintah Kota Kendari dalam kasus relokasi pedagang pasar Baru Kendari. Kami mendukung penuh penyelesaian yang berkeadilan bagi nasib para pedagang/korban.

6. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk terus melawan segala bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan, pembodohan dan praktek pelanggaran HAM lainnya. Persatuan gerakan rakyat tak bisa dikalahkan, dan karena itu, sangat dibutuhkan untuk melindungi dan mempertahankan hak-hak rakyat.

Demikianlah siaran pers Komite HAM dan Pemberantasan Korupsi (KPHK) Sulawesi Tenggara, yang anggotanya terdiri atas SKPHAM ORDA IKOHI – WALHI SULTRA – YPSHK SULTRA – PUSPAHAM - FORUM SOLIDARITAS PEDAGANG PASAR BARU – LIGA MAHASISWA NASIONALIS Untuk DEMOKRASI. (sultan darampa)

Menembus Seko : Bermalam di Kampung Ular

Pemandangan Seko yang merupakan padang savana terbesar Indonesia, cuma belum dikenal, membuat terkagum, betapa indah negeri jantung sulawesi ini.

Makassar, KBSC)

SELAMA setengah bulan kami berada di Seko, berinteraksi dengan masyarakat setempat dan merekam aktivitas mereka। Kini, tiba saatnya melanjutkan perjalanan ke Rampi.
Dulu, orang Rampi kalau hendak ke kota (Sabbang) harus ke Seko dulu. Demikian pula jika dari kota hendak ke Rampi, harus melalui Seko. Sekarang, setelah ada jalan pintas yang lebih dekat, lewat Masamba, tak perlu lagi ke Seko dulu.

Karena tidak pernah dilewati lagi, maka jalanan ke Rampi – dulu juga bisa dengan ojek - kini sudah tidak ada lagi, karena sudah tertutup rumput yang tumbuh subur। Kembali jadi hutan. Jadi, perjalanan ke Rampi harus jalan kaki. Padahal, Seko-Rampi sama jauhnya dengan Sabbang-Seko.
Sebenarnya, kami sudah tidak bergairah melanjutkan perjalanan ke Rampi. Soalnya, naik ojek saja dari Sabbang ke Seko, capeknya luar biasa. Apalagi harus jalan kaki ke Rampi. Tapi karena tugas, mau tak mau harus berangkat. Lagi pula, tiga orang warga setempat yang kami sewa sebagai pemandu jalan, membesarkan hati kami dengan menyebutkan jalanannya tidak terlalu susah dan bisa cepat sampai di sana.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, kami berangkat ke Rampi। Tepatnya pada 9 Agustus 2006, sekitar pukul 10.00 Wita.Tidak ada lagi bekas-bekas jalan yang dulu sering dilalui orang, sehingga kami harus membuat jalan sendiri.
Dari 3 orang pemandu yang kami sewa – masing-masing Rp 300 ribu -, seorang di antaranya masih anak-anak, tapi dia kuat. Masyarakat setempat yang memberi rekomendasi tentang ke tiga pemandu tersebut. Katanya, mereka sering ke Rampi karena punya keluarga di sana. Bagi mereka, hutan sudah seperti rumahnya sendiri.

Sekitar pukul 5 sore, keadaan di dalam hutan sudah gelap। Kami memilih tempat yang agak lapang untuk mendirikan tenda dan beristirahat, tapi pemandu menyarankan agar jalan terus. Kedua rekan saya dari Telapak Bogor sudah kelelahan dan tidak mampu jalan lagi. Keduanya memaksa bermalam di situ. Akhirnya pemandu mengalah.
Ketika kami sedang menikmati teh dan kopi, sekitar pukul 7 malam, terdengar suara mendesis dan ranting patah. Saya pikir itu hal biasa karena di hutan. Di situ memang banyak pohon bambu. Di semak-semak juga ada yang bergerak. Saya pikir tupai atau binatang lain.

‘’Sepertinya banyak ular di sini,’’ cetus salah seorang di antara kami, tiba-tiba, setelah saling pandang karena bercampur aduk rasa takut dan penasaran।
‘’Ah, tidak ada, siapa bilang …,’’ kata pemandu.

‘’Terus, suara-suara apa itu yang terdengar,’’ tanya saya।
‘’Namanya juga hutan, biasalah kalau ada ular atau binatang lainnya,’’ jawab pemandu, enteng.

Tiba-tiba terdengar suara ranting yang agak besar patah dan jatuh di sekitar kami। Kami pun kaget dibuatnya dan saling berpandangan kembali. Sejurus kemudian, teman dari Telapak mengambil senter canggihnya dan mencoba mencari tahu apa gerangan yang jatuh tadi, namun tidak ada satu pun binatang yang kelihatan tersorot senter.
‘’Ada ular di sekitar sini, jangan sampai nanti masuk ke dalam tenda,’’ kata teman dari Telapak, mulai gelisah.

‘’Ah tidak apa-apa ji, tenang saja,’’ hibur pemandu।
‘’Kalau begitu, saya mau tidur,’’ kata teman dari Telapak.

Kedua teman dari Telapak kemudian mengeluarkan sleeping bag, perlengkapan standar untuk tidur di alam terbuka। Tak lama berselang, keduanya sudah terbungkus peralatan tersebut dan kelihatan seperti kepompong.
‘’An, kamu punya yang beginian?’’ tanya salah seorang teman dari Telapak sambil menunjukkan perlengkapan tidurnya.

‘’Tidak punya,’’ jawab saya।
‘’Masa’ sih orang JURnaL tidak punya yang beginian. Kamu Mapala dari mana, An?’’

‘’Saya bukan Mapala।’’
‘’Ah, jangan bercanda, An.’’

‘’Betul, saya bukan orang Mapala।’’
‘’Ah, tidak mungkin diutus ke sini kalau bukan orang Mapala.’’

‘’Kalau tidak percaya, nanti kamu tanya sendiri sama orang JURnaL kalau sudah sampai di Makassar।’’
‘’Trus, untuk apa itu karung?’’

‘’Tidak tahu, Pak Unsar yang suruh beli। Bikin berat-berat saja.’’
‘’Eii … ada gunanya itu. Kau lihat sebentar,’’ kata Pak Unsar.

Setelah pembicaraan terhenti cukup lama, Pak Unsar kembali teringat masalah ular।
‘’Sepertinya banyak sekali ular di sini, Pak,’’ kata Pak Unsar pada pemandu sembari menghangatkan badan di depan perapian.

‘’Di sini sebenarnya memang daerah ular। Ini namanya kampung ular,’’ aku pemandu.
Mendengar jawaban tersebut, Pak Unsar kaget. Terlebih-lebih saya.

‘’Wah, bahaya kalau begitu,’’ kata Pak Unsar।
‘’Betul, Pak?!’’ tanyaku, meminta ketegasan.

‘’Betul!’’

Saat menegaskan hal itu, raut muka sang pemandu tidak terlihat berbohong atau main-main। Itu berarti ia menyampaikan yang sebenarnya, apa adanya. Seketika saya berdiri dan langsung meloncat ke tengah-tengah dua teman dari Telapak. Saya pikir, saya dalam posisi relatif aman jika berada di tengah-tengah, diapit dua teman dari Telapak yang sekujur tubuhnya sudah terbungkus seperti kepompong.
‘’Eii …. minggir, jangan di sini, An. Saya juga takut,’’ protes teman dari Telapak, yang ternyata belum tidur dan menguping pembicaraan kami.

‘’Ah, tidak apa-apa। Saya jamin, tidak ada yang mengganggu. Tidak ada ular atau apa pun yang berani masuk,’’ kata pemandu.
Sang pemandu kemudian menceritakan pengalamannya. Ternyata, dia dan seorang temannya dulu juga pernah bermalam di situ. Ketika sedang mengambil air di sebuah tempat seperti kolam, tiba-tiba muncul ular raksasa sebesar pohon kelapa dari kolam tersebut.

Singkat cerita, terjadi pertarungan dengan ular raksasa tersebut। Awalnya, tebasan parang sang pemandu tak mampu melukai ular. Tapi setelah dibacakan doa, parangnya berhasil melukai bahkan membunuh ular tersebut.
‘’Makanya tadi saya sarankan agar jalan terus, tapi kalian tetap ngotot bermalam di sini,’’ jelas sang pemandu.

Karena ada jaminan keamanan dari pemandu, kami merasa agak tenang।
‘’Sana … kembali ke tempatmu semula,’’ lagi-lagi teman dari Telapak protes saya.

Saya kemudian beranjak mendekati Pak Unsar di depan perapian। Sementara, pemandu mengumpulkan bara arang dalam jumlah cukup banyak, lalu menaburkan bara tersebut mengelilingi tenda. Menurut pemandu, bara arang tersebut untuk melindungi kami. Katanya, ular tidak berani masuk karena sudah mencium bara arangnya.
‘’Tapi di sini kan angker, Pak, karena banyak bambu. Jadi, bagaimana kalau ada roh halus yang lewat atas?’’ tanya saya.

‘’Makhluk halus juga tidak berani masuk ke sini, karena bara ini dari atas akan terlihat seperti lingkaran api yang besar,’’ terangnya।
‘’Makanya tidak usah khawatir, saya jamin malam ini,’’ tegas pemandu.

Setelah merasa tenang karena kembali mendapat jaminan keamanan dan keselamatan, Pak Unsar kemudian menyuruh saya mengambil karung। Saya masih belum tahu apa fungsinya karung tersebut. Saya hanya menduga-duga mungkin untuk alas tidur.
Setelah menyerahkan karung ukuran besar yang biasanya digunakan sebagai tempat beras, seketika saya terperanjat kaget karena Pak Unsar langsung masuk ke dalam karung tersebut dan bersiap-siap tidur. Rupanya, karung difungsikan sebagai pembungkus badan dari hawa dingin.

‘’Baru kau tahu tho, An। Inilah fungsinya karung,’’ kata Pak Unsar.
Karena sudah mengantuk, saya juga menyiapkan diri untuk ke peraduan. Setelah memperbaiki api unggun, saya kemudian mengenakan jaket tebal dan kaos kaki rangkap dua. Masih terasa dingin. Saya pun ikut-ikutan memanfaatkan dua karung yang tersisa untuk membungkus badan. Ternyata manfaatnya memang besar sekali. Tapi karena masih kepikiran soal ular, meskipun sudah dijamin aman oleh pemandu, menjelang pagi saya baru bisa tertidur.

Saat dua teman dari Telapak bangun dan melihat saya masih tidur terbungkus karung, keduanya tak bisa menahan tawa dan keheranannya।
‘’Betul-betul kau nekat sekali, An. Saya kira kau anak Mapala, ternyata …,’’ komentarnya setelah saya terbangun.

Gelak tawa semakin menggema setelah Pak Unsar melaporkan musibah yang dialaminya।
‘’Kakiku terbakar api unggun, An,’’ ungkap Pak Unsar. (dari majalah profiles - sultan darampa)

TAMBORA : Diawali Pembunuhan Terhadap Said Idrus

Aktivitas Gunung Tambora saat mengeluarkan debu yang dampaknya sampai ke beberapa benua.

Makassar, (KBSC)
HENRI Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sejarah dan Sastra (2004: 335) yang mengutip Bo Sangaji Kai yang ditulisnya bersama dengan Salahuddin (1999: 87) secara rinci mengisahkan muasal letusan Gunung Tambora tersebut. Mengutip naskah 87, Chambert Loir menulis:

Hijrat Nabi salla –alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu Subuh sehari bulan Jumadilawal (Selasa, 11 April 1815). Tatkala itulah di Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, Kemudian berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang. Kemudian turunlah kersik (pasir kasar, batu kerikil halus) batu dan abu seperti dituang. Lamanya tiga hari dua malam. Maka, heranlah sekalian Hamba-nya akan melihat karunia Rabbi al-alamin yang melakukan faccal li-ma yurid (maksudnya, Allah Taala berbuat sekehendak-Nya). Setelah itu, maka teranglah hari. Rumah dan tanaman sudah rusak semuanya. Demikianlah adanya itu, pecah Gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad.

Selain mengisahkan alamat letusan Gunung Tambora, Chambert-Loir (2004: 336) juga mengisahkan asal mulanya meletus Gunung Tambora. Malapetaka yang dialami Negeri Tambora merupakan bentuk kemurkaan Allah Subhanahu wa Taala. Dalam naskah yang dikutip sesuai naskah aslinya (dalam buku ini naskahnya diubah menjadi lebih populer, pen). Chambert-Loir menulis:

‘’Bermula ada seorang Said Idrus. Asalnya dari Bengkulu. Ia menumpang pada seorang Bugis. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan berniaga. Suatu hari, Said Idrus naik ke darat. Dia masuk dalam negeri besar. Berjalan-jalan pesiar hingga lohor. Ia kemudian masuk masjid untuk salat. Di dalam masjid itu dia menemukan anjing. Ia pun menyuruh usir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, disuruh pukul. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu pun berkata.

‘’Raja kami yang empunya anjing ini’’.

‘’Baik, siapa yang punya anjing, karena ini masjid, Allah Subhanahu wa Taala yang empunya rumah ini. Siapa yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang itu kafir,’’ papar Said Idrus.

Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada sang Raja dia berkata:

‘’Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatnya ada anjing dalam masjid’’.

Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu disuruh panggil. Tuan Said Idrus pun datang ke rumah Raja Tambora dengan segala wazir Tambora. Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing di hadapan Tuan Said Idrus. Hidangan berisi daging kambing di hadapan orang baik (orang banyak) dengan Raja Tambora.

Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun bertanya kepada Tuan Said.

‘’Hai Arab! Sebagaimana engkau katakan haram anjing?’’

‘’Ya, haram’’ sahut Tuan Said Idrus.

‘’Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makan anjing itu?’’ kata Raja Tambora lagi.

‘’Bukannya anjing saya makan tadi. Saya makan daging kambing, ‘’ sahut Said Idrus.

Raja Tambora dan Tuan Said Idrus saling berbantah. Raja pun menyuruh orangnya.

‘’Bawa olehmu orang Arab ini, bunuh!’’ titah Sang Raja.

Orang banyak itu pun memegang tangan si Arab. Dia dibawa naik ke Gunung Tambora. Setibanya di Gunung Tambora, para suruhan Raja Tambora menikam Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan senjata tajam. Orang banyak itu pun menghela kayu. Ada pula yang mengambil batu. Ada yang melontar. Ada yang memukul Tuan Said. Tuan Said pun kelenger. Kepalanya pecah. Darahnya berhamburan. Orang banyak itu mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang suruhan Raja Tambora pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja mereka.

Di antara negeri dan gunung, tampak nyala api di gunung, di tempat Tuan Said dibunuh. Api itu makin membesar. Baik kayu, baik batu, baik bumi semuanya menyala. Api itu pun mengikut pada orang-orang yang membunuh Said. Mereka berlari semuanya. Hendak masuk ke negeri besar. Api malah lebih dahulu menyala di dalam negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah Subhanahu wa Taala, ke mana pun orang lari, api mengikut. Orang lari ke laut, api pun mengejar ke laut. Sampai lautan Tambora pun menyala.

Dalam beberapa hari, api menyala di gunung, di negeri, di lautan, dan di bumi. Hujan abu membuat kelam dan kabut. Tiada manusia Tambora yang bisa lepas. Beberapa ribu orang mati terbakar. Dalam beberapa hari, api terus menyala. Belum padam di gunung, negeri Tambora pun tenggelam menjadi lautan. Sampai sekarang ini kapal boleh berlabuh di bekas Negeri Tambora itu berada.

Syahdan, bekas negeri-negeri yang satu dengan Tanah Tambora itu pun semuanya kena bala. Yang sebelah barat Negeri Tambora adalah Negeri Sumbawa. Di sebelah timur, Negeri Sanggar, Negeri Pekat, dan Negeri Dompo (Dompu) dan Bima.

Semua negeri itu ada yang terbagi dua dan tiga. Ada yang kelaparan dan juga mati. Manusia yang selamat pergi ke mana-mana, mengikut orang dagang. Yang penting bisa dapat makan. Ada yang menjual dirinya, ditukar dengan padi.

Di Negeri Sumba hingga Pinggalang akibat hujan abu, binatang mati terbakar di abu. Tiga tahun penduduk tidak dapat mengolah sawah. Ada lebih selaksa orang Sumbawa mati. Yang lain meninggalkan negerinya.

Di Negeri Mengkasar (Makassar) dan di Negeri Bugis, saat Negeri Tambora terbakar, sehari semalam gelap oleh hujan abu di seantero negeri itu. Namun, tanah yang kurus di kedua negeri itu menjadi gemuk.

Tak lama setelah musibah melanda Tambora, datang air besar dari tiga ombak besar. Dari selatan datangnya ombak itu, tujuh negeri kecil tenggelam. Perahu dagang yang berlabuh semuanya dibawa ombak naik ke hutan.

Website Sumbawa News yang mengutip Kompas 13 April 2006 menyebutkan, pada malam tanggal 10 April 1815, rentetan bunyi itu kian kerap dan semakin dahsyat. Ledakan ini terdengar hingga ke Cirebon. Dan, terus berlangsung dan memuncak pada tengah hari tanggal 11 April 1815. Siang itu pun menjadi gelap gulita. Bersamaan dengan itu bumi bergetar seperti mau oleng, angin berkesiuran, dan debu memenuhi angkasa.

Laporan saksi mata yang disampaikan Raja Sanggar, sebuah kerajaan kecil di Pulau Sumbawa yang tak terlalu jauh dari Tambora, berkisah, "Pukul tujuh malam tanggal 10 April, dari Sanggar terlihat jelas tiga kolam api yang keluar dari puncak Tambora. Dalam waktu seketika seluruh gunung tampak seperti sebuah benda api yang cair, yang menyebar ke semua penjuru."

Tak lama berselang, hujan debu bercampur batu yang lebat mulai turun di Sanggar, disusul angin berputar dahsyat dan merobohkan hampir semua rumah. Di wilayah Sanggar yang berdekatan dengan Tambora, imbuh Raja Sanggar, kerusakan lebih parah lagi. Pohon-pohon besar tercerabut bersama akar-akarnya dan terlempar ke udara. Tak ketinggalan, orang, rumah, ternak, dan semuanya terbang ke udara. Laut pun menyerang. Ombaknya yang tinggi, menyapu bersih rumah dan bangunan yang dilewatinya.

"Kira-kira sejam lamanya angin puyuh melanda negeri dan selama itu tidak terdengar ledakan. Baru sesudah angin berhenti, bunyi dentuman sangat riuh tanpa henti hingga malam tanggal 11 (April). Setelah itu ledakan berkurang, tetapi sampai tanggal 15 Juli 1815 masih saja terdengar letupan-letupan...".

Setiap orang berpikir Tambora telah punah. Kenyataannya tidaklah demikian. Pada tanggal 5 April 1815, Goliath setinggi 13.000 ribu kaki (3.960) telah bangun. Ia mengeluarkan serangkaian suara gemuruh yang mengumandangkan kehadirannya, terdengar dalam jarak ribuan kilometer.

Selama lima hari, gunung ini memuntahkan abu dalam jumlah yang mampu meruntuhkan rumah-rumah di Pulau Sumbawa karena bobotnya. Abu ini tebal. Tidak bisa ditembus oleh cahaya matahari. Penduduk di pulau ini bisa dikatakan tidak mampu melihat tangan di hadapan wajah mereka.

Pada tanggal 10 April, letusannya memuncak dengan gumpalan api yang sangat besar. Ia membelit satu sama lain dan terjalin di atas gunung yang berpijar. Kejadian tersebut diikuti oleh angin topan, yang mungkin serupa dengan fenomena meteorologis badai api -– topan api yang terbentuk dari kebakaran hutan yang sangat besar.

Bagaikan sebuah mesin penyedot, kekacauan ini telah menyapu manusia, hewan, dan rumah, terbang ke udara. Makhluk hidup terpotong-potong dan terbakar. Benda-benda mati hancur dan tercabik-cabik menjadi potongan-potongan yang tak terhitung banyaknya.

Kekuatan letusan Tambora melebihi kemampuan gunung dan pulau di mana gunung ini berdiri. Saat gunung tersebut melepaskan berton-ton batu karang, lava, dan abu, gunung itu mutlak menyusut. Tinggi yang semula 13.000 kaki (3.960 m) menyusut menjadi 9.000 kaki (2.740 m).

Ironisnya, permukaan pulau mulai naik, saat abu bertumpuk beberapa sentimeter. Abu yang memiliki kedalaman lebih dari tiga kaki (sekitar 90 cm), juga mengisap air di sekitar Sumbawa – dan menuntaskan karya pemusnahan Tambora terhadap manusia yang berada di dalam jangkauannya.

Abu telah membunuh semua sayuran dan wabah kelaparan yang segera menyusul, digabungkan dengan epidemi kolera, telah menambah jumlah 80.000 kematian. Sebanyak 12.000 orang di antaranya menemui ajalnya seketika selama letusan. (de@r, bersambung) -- dari profiles - sultan darampa