SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Selasa, 04 Januari 2011

Menembus Rampi (2) : Jalan Kaki 2 Hari 2 Malam

Berjalan dua hari dua malam, menembus ngarai, mendaki gunung, menelusuri sungai, yang akhirnya sampai juga pada perkampungan yang terdekat, Poso. Disitu kemudian naik bus trans Sulawesi menuju Makassar

Makassar, (KBSC)
Setelah memutuskan jalan kaki , kami memilih rute Rampi - Bada di Poso, Sulawesi Tengah. Sore hari pukul 15.00 kami bertiga start dari Desa Onondowa menuju desa terakhir sebelum memulai rute pendakian di desa Dodolo, ditemani penduduk setempat yang akan menunjukkan rute perjalanan.

“Ok, semoga kami bisa, maklum kali ini kami bertiga dan seorang penunjuk jalan akan menempuh medan yang lumayan menantang”.

Tiba di Dodolo lepas maghrib, kami kemudian menginap di rumah salah satu tetua kampung kalau tidak salah ingat namanya Marten Lasoru, beristirahat semalam mengumpulkan tenaga untuk besok hari.

Pagi hari pukul 7.00 kami mulai jalan dari Dodolo kemudian menyeberang sungai yang lebarnya kira-kira 100 meter dengan berjalan sambil berpegangan tangan, nyaris salah seorang dari kami hanyut, untung teman dari kampung Dodolo cepat meraih tangannya, sungai-sungai di daerah ini memang terkenal mempunyai aliran yang sangat deras.

Akhirnya, kami semua sampai di seberang sungai dengan selamat namun ini baru permulaan untuk memulai rute pendakian yang sesungguhnya, puncak gunung di depan kami terlihat diselimuti kabut, jarak ke puncak menurut informasi dari penduduk kampung kira-kira 20 km ditambah 16 kilometer jalur menurun ke Bada, Sulawesi tengah.

Untuk menuju puncak harus kami tempuh lima jam jalan kaki di medan berlumpur, berat memang untuk ukuran fisik yang sudah jarang berjalan kaki, setelah melintasi hutan hujan yang masih lebat kami akhirnya tiba di puncak pertama, tinggal satu puncak lagi sebelum mulai jalan dengan rute yang mulai menurun ke arah desa Bada di wilayah kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Sepanjang jalan burung Rangkong (Rhinoceros hornbill) atau Alo dalam bahasa setempat tampak menemani perjalanan, terbang di puncak pepohonan tinggi indah sekali dengan paruhnya yang besar. Rasa berat sudah menahan laju langkah saya, untung udara terasa sejuk.

Dalam hutan hujan ini hampir-hampir kita tidak tersentuh cahaya matahari dan aku menghitung satu persatu tarikan nafasku yang berpacu kencang, detak jantung pun tidak kalah riangnya siang ini, berpacu.. berpacu dengan tarikan nafas tapi tidak dengan langkah kakiku yang justru ingin berhenti..cape deh..

Jarum jam menunjukkan pukul 13.00 siang, akhirnya kami tiba di puncak kedua, disinilah pal batas Kabupaten Luwu Utara , Sulawesi Selatan dengan Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah di sebelahnya.

Kami istirahat makan siang sebelum lanjut lagi dengan rute yang mulai menurun jarak masih 16 kilometer lagi, akhirnya setelah perjalanan panjang 11 jam kami keluar dari hutan Sulawesi Tengah, hari menjelang petang, tinggal satu setengah jam lagi sebelum benar-benar tiba di kampung Bada, Poso.

Dengan tenaga masih tersisa kami melewati bukit yang penuh dengan padang ilalang, finally jam 19.00 malam, kami akhirnya tiba dengan kondisi fisik yang sudah benar-benar sudah habis. Setelah mendapat tempat menginap kami langsung tertidur.

Hmmm….Perjalanan yang panjang dan melelahkan menuju Bada. Tapi di luar itu semua, Kami bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi kami berkah bisa tiba dengan selamat dan terima kasih kepada semua yang telah mensupport perjalanan kami
Besok kami harus lanjut lagi sejauh 78 km ke Tentena, sebuah kota
kecamatan di tepian Danau Poso, dengan menumpang bus menuju Makassar. Selamat malam Bada, selamat datang kedamaian.(sultan darampa)

Senin, 03 Januari 2011

Menembus Rampi (1) : Cukup Tidur-tiduran Saja


Pelatikan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Pengurus Daerah Rampi telah membawa kenangan tersendiri bagi PB dan PW AMAN Luwu Raya beserta rombongan. Pasalnya, hanya tidur-tidur di kursi eh sudah sampai di Rampi dengan jarak tempuh hampir seratus kilometer, tetapi ketika pulang masyaallah harus menilisik belantara, menembus ngarai, dan mendaki gunung-gunung terjal. Ikut ceritanya dalam dua tulisan bersambung. 

Makassar, KBSC)
Kamis pagi, tanggal 25 maret 2010 dari Kota Palopo kami bersiap berangkat ke Masamba (ibu Kota Kabupaten Luwu Utara – Sulsel). Selama perjalanan kami (Bata Manurun, Ketua AMAN wil. Tana Luwu), terus menelpon travel agen di bandara untuk memastikan jadwal keberangkatan rombongan ke Rampi, yang telah beberapa kali tertunda.

“Syukurlah sampai di bandara, kami sudah dapat tiket. Dengan menumpang pesawat kecil jenis Cassa 212 beregister PK-ZAV milik PT. Sabang Merauke Air, kami take-off dari Bandara Andi Djemma, Masamba- Luwu Utara pukul 9.00 wita pagi,” cerita kami.

Informasi dari petugas bandara kami akan perjalanan sekitar 15-20 menit dengan catatan cuaca tidak berubah drastis. Karena itu saya memilih menikmati pemandangan di luar jendela pesawat – sekaligus memotret tentu saja.

Cuaca hari ini cerah, tetapi sedikit berawan, “Ya Tuhan semoga kami semua tiba dengan selamat,” doaku dalam hati.

Usai lepas landas tampak kawasan pegunungan To Kalekaju dihiasi pepohonan yang menghijau begitu lebat, cantik dan menawan terlihat dari udara.

Dua puluh menit berlalu, pesawat mulai terbang rendah, dari kaca pesawat terlihat alur sungai yang melingkar-lingkar. Di ketinggian itu, sungai tampak jelas dan besar. Warnanya kecoklatan, dan di sepanjang tepinya, pohon-pohon menghijau menambah kontras warnanya. Di tempat-tempat tertentu terdapat kawasan pemukiman dengan rumah-rumah yang jumlahnya hitungan jari.

Tiba di bandara Rampi, kami disambut dengan sederhana oleh Ibu Helena, sebagai tuan rumah, kami langsung diantar ke rumah ketua adat, masyarakat adat Rampi menyebutnya Tokey-panggilan untuk ketua adat yang menjalankan kepemimpinan secara kolektif.

Masyarakat sudah berkumpul di dalam rumah, satu per satu dari kami memperkenalkan diri,  mereka terlihat antusias namun saya agak heran, terkesan ada sesuatu yang jadi tanda tanya besar dalam diri mereka maksud dari kedatangan kami.

Setelah pihak kami, Ketua dari AMAN menjelaskan, baru mereka sedikit lega. Beberapa hari kemudian baru saya tahu dari informasi yang disampaikan ketua adat bahwa selama ini mereka terus menaruh curiga kepada orang yang datang dari luar. Ini imbas dari perjalanan panjang penuh penderitaan sejak dari jaman penjajahan, pemberontakan DI/TII, kemudian PRRI/Permesta.

Pergolakan ini telah memaksa etnis-etnis minoritas seperti Rampi dan Seko mengungsi dan berdiaspora ke mana-mana. Mereka terpaksa mengungsi ke wilayah propinsi Sulawesi Tengah, seperti di wilayah Kab. Poso dan Kota Palu. Setelah acara perkenalan, kami kemudian diajak untuk melihat kehidupan keseharian masyarakat adat Rampi dari dekat, seperti melihat hasil olahan pakaian dari kulit kayu, mendulang emas, dan pertanian dengan cara yang masih tradisional.

Dua hari telah berlalu, asyik juga berinteraksi langsung dengan masyarakat mendengar keluhan dan harapan mereka, utamanya soal akses transportasi yang setelah 65 tahun Indonesia merdeka belum juga bisa mencapai Rampi,

Juga soal hak atas tanah ulayat mereka yang semakin terancam akibat dari rencana eksploitasi bahan tambang terutama emas dari perusahan-perusahaan tambang besar.

Perlu di ketahui bahwa “kawasan pegunungan tersebut sangat kaya dengan keanekaragaman hayati flora dan fauna serta beragam suku, adat dan juga budaya”. Ini tidak lebih mewah dari hotel bintang lima, luar biasa pikirku, kita akan dengan mudah menjumpai permandian air panas, danau-danau alam, hutan yang masih lebat, sungai yang penuh dengan emas, sehingga orang Dodolo, salah satu kampung di Rampi, dengan berkelakar mengakui bahwa suara mereka jadi bagus karena tiap hari minum air emas dari Sungai Dodolo.

Hari sabtu, 27 maret 2010, waktunya untuk kembali, tapi sayang tiket flight ke kota Kabupaten di Masamba tak jua berhasil kami dapat, karena seat telah terisi semua.

Panik..? nassami.Namun setelah lobi kiri kanan dengan petugas bandara, akhirnya tiket berhasil kami dapatkan, tapi tersedia hanya sisa untuk 2 orang, maka kami memutuskan untuk memberi jatah kursi kepada 2 orang dari tim AMAN, yang sudah tidak mampu jalan kaki ataupun naik ojek dikarenakan medan berat akibat lumpur musim hujan.

Setelah berunding kami bertiga memutuskan untuk jalan kaki, karena menunggu hari penerbangan pesawat baru akan datang lagi 5 hari kemudian, menumpang ojek tidak akan banyak membantu karena lumpur yang bisa setinggi lutut belum lagi dan longsor sering terjadi di sepanjang rute pendakian antara Rampi-Masamba.(sultan darampa)