SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Rabu, 08 Februari 2012

EMANSIPASI WARGA BONTO MALLING

Proses perencanaan oleh warga akhirnya menjadi sangat penting, setelah menyusun rencana kerja pembangunan RKPDes, maka warga salah satu dusun di Desa Bonto Malling, Pulau Jampea, Kab.Selayar, langsung musyawarah untuk berswadaya (partisipatif dan emansipasi) dalam penyediaan air bersih bagi dusun mereka. Dimana selama ini selalu menunggu instruksi dari Pemdes, sekarang mereka sudah aktive kembali tanpa perlu mendapat perintah.

Dahulu kala, entah pada zaman apa, ekosistem tanjung disebelah tenggara Pulau Jampea terdapat  sebuah komunitas adat yang aktivitas utamanya adalah melaut sebagai pendapatan utama keluarga mereka. Kemudian komunitas ini ditetapkan sebagai “Kampong Tua”. Dari perkampungan inilah yang dianggap sebagai pemukiman tertua dan pertama-tama di Pulau Jampea yang saat ini sudah dimekarkan menjadi dua kecamatan 13 desa.  Dari kampong inilah juga saat ini dikenal sebagai Desa Bonto Malling.
     Menurut versi warga setempat, seiring dengan waktu komunitas kecil itu berkembang dan mulai merambah pedalaman dikarenakan aktifitas melaut mereka kadang terganggu oleh perubahan musim ekstrim setiap tahun, dimana terjadi penduduk mengalami paceklik, jangankan untuk hasil laut untuk dijual bahkan untuk di makan pun mereka sangat langka.
    Melihat kondisi tersebut, maka tampillah seorang lelaki tua dengan semangat dan kemauan yang besar untuk memecahkan tantangan yang dialami warga dan komunitasnya. Lelaki setengah baya itu bernama Papak Sipo. Ia kemudian mencoba memasuki kawasan hutan alam, meski itu dianggap angker dan penuh mistik. Tujuannya adalah mencoba bercocok tanam, sawah ladang, yang diasumsikannya sebagai solusi mengatasi badai musim ekstrem.
     Akhirnya, terbukalah kawasan hutan primer tersebut sebagai mata pencaharian penduduk setempat, walau pun mereka tetap bolak-balik antara sawah ladang mereka dengan pemukiman Kampong Tua. Melihat kondisi dan keseriusan Papak Sipo, maka kemudian anak dan istrinya-lah juga turut membantunya, termasuk setiap kali membawakan bekal makan siangnya.
     Setiap kali mau memasuki gerbang hutan, maka berteriaklah anak dan istrinya memanggil Papak Sipo, lau terdengarlah jawaban yang berdengung atau suara yang melingkar-lingkar memenuhi suasana hutan. Suara dengung inilah yang dikemudian hari dimonumentalkan sebagai nama tempat, yaitu Bonto Malling.
    Bonto yang artinya ketinggian, bukit atau gunung, yang merupakan areal atau kawasan bertani ladang, sedangkan Malling dalam bahasa Selayar-nya “dengung”. Maka hingga saat ini, kawasan yang dibuka Papak Sipo itu bernama Bonto Malling, yang kemudian menjadi Desa Bonto Malling.
    Sementara ketika zaman DI/TII, maka Bonto Malling merupakan basis lasykar dalam menghindari kejaran tentara republik.  Namun hingga kini, suasana desa yang terletak di pantai timur pulau Jampea tersebut terbentang potensi alam tiga dimensi, pegunungan dengan ekosistem hutannya yang masih tersisa, daratan dengan ekosistem sawah tadah hujan, serta ekosistem hutan bakau dengan pesisirnya yang juga menyediakan tambak-tambak masyarakat.
     Secara geografik, maka Bonto Malling terletak di sebelah utaranya Desa Bontobulaeng, di sebelah timur dan selatan Laut Flores dan disebelah barat adalah Desa Lembang Baji. Lus wilayah terdiri atas 14,47 Km2 dengan system pemerintahan terdiri atas 4 dusun, yakni Parang, Biropak, Parumaang dan Erelompa.
      Untuk mencapai desa ini membutuhkan waktu tempuh 6 – 7 jam perjalanan fery dari Benteng, ibukota Kabupaten Selayar menuju arah tenggara. Tiba di pelabuhan fery Pulau Jampea, juga Benteng namanya, membutuhkan 3 – 4 jam perjalanan motor. (sultan darampa)

BUTA HURUF : Jago Perencanaan


Tak ada kata terlambat bagi orang-orang yang ingin maju dan sukses dalam meraih cita-citanya. Tidak pula ada kata penyesalan atas kemunduran yang dialaminya selama ini. Prinsip inilah yang kemudian dialami seorang ibu rumah tangga, Bunga Rampe, warga Desa Bukit Timur Kecamatan Buki, Kabupaten Selayar.
     Berdasarkan data sensus social yang diperoleh, sang ibu termasuk salah satu warga yang tergolong sangat miskin dan juga buta huruf. Pada saat kegiatan sosialisasi Accsess di Desa Buki Timur, ia mulai aktif dan merasa sangat kaget ketika menerima undangan dari Kepala Desa dimana sebelumnya Bunga Rampe sama sekali tidak pernah diundang dalam pertemuan apapun di desa.
     Rassa bangga dan penasaran itulah yang kemudiaan menggerakkan hati dan perasaannya untuk melangkahkan kakinya ke tempat acara sosialisasi dilaksanakan. Kemudian rentetan kegiatan dikemudian hari juga tak pernah ketinggalan, termasuk temu warga soal peringkat kesejahteraan masyarakat (PKM). Malah ia sering bercerita, utamanya soal kreteria siapa yang kaya, sedang, miskin dan sangat miskin.
    Cerita dan argumentasi-argmentasi sang ibu itu tertuang dalam bentuk visual, atau gambar-gambar pada kertas plano. Melihat apreasitf tersebut, ada juga peserta yang cukup geli, apalagi peserta lain yang sudah “kenyang dengan bangku sekolahan”. Dengan mengandalkan pendengarannya, ia menyimak sejumlah penyampaian dan penjelasan tujuan-tujuan diadakannya kegiatan ini.
     Ia sebenarnya memang melek, tapi dia tidak mengerti jenis-jenis huruf bahasa Indonesia. Yang dia mengerti adalah bagaimana gambar-gambar tersebut, apalagi kalau gambar-gambar tersebut berkaitan dengan kesehariannya.
     Ketika diminta bagaimana menggambarkan alur kehidupannya beserta keluarganya, atau dalam bahasa programnya adalah apresiatif ingquiry, atau merumuskan mimpi dan cita-cita desa, kembali terlihat gambar lingkaran yang mengibaratkan suatu pola relasi dalam kehidupan.
    Suatu ketika, Bunga Rampe bercerita, ia datang ke Baruga Kantor Desa Buki Timur untuk ikut dalam kegiatan Pemetan Asset. Waktu itu hari masih pagi sekali ketika mendapat undangan tertulis dari pihak Kantor Desa. Untungnya si-pembawa undangan memperingatkan sambil berlalu dari depan rumahnya bahwa pertemuannya sebentar sore.
     Tapi anehnya, setelah berjalan beberapa lama dan sudah tiba di tujuan, di kantor desa. Ia mulai bingung, kenapa kantor ini sunyi senyap, tidak orang biar satupun. Ia dilanda kebingungan, malah ia berpikir jangan sampai terlalu cepat dapat. Akhirnya menunggu beberapa waktu lamanya, dan kegelisahannya tidak dapat ditahannya lagi. 
     Terpaksa mengambil inisiatif, pergi ke rumah Nur Wahidah (salah seorang KPM), untuk menanyakan kembali soal rencana (agenda rapat). Sesampai di rumah KPM, baru tersadar bahwa pertemuannya dilaksanakan di salah satu rumah KPM. Akibat salah ingat tempat kegiatan, ia  menjadi bahan tertawaan, karena ternyata undangan yang diterimanya tidak bisa dibacanya.
     “Saya juga baru tahu kalau isi undangan itu tertera alamat atau tempat pertemuan. Tapi saya tidak salahkan pak desa, atau orang yang mengundang, dan mudah-mudahan lain kali saya mendapat undangan dengan cara istimewa, tidak perlu pakai surat segala nanti bikin repot semua orang,” katanya sambil tertawa.
    Kondisi buta huraf yang disandangnya ternyata tidak dianggap kekurangannya, malah dianggap suatu kebanggaan. Alasannya, “seandainya saya tidak buta huruf, mungkin tidak pernah saya mendapatkan tempat istimewa di dalam rapat-rapat di kantor desa ini,” kata Bunga Rampe yang profesi kesehariannya seorang dukun beranak, juga berprofesi sebagai pengrajin atau pembuat keranjang bambu. (sultan darampa)