SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Jumat, 04 Mei 2012

SAGORI : Segitiga Bermuda Indonesia


Bagi sebagian masyarakat Sulawesi Tenggara, nama Sagori bukan lagi hal baru.  Tapi nama ini seolah-olah hanya nama kapal cepat rute Baubau-Kendari. Padahal ada nama tempat yang jauh lebih eksotik, lebih indah dan alami, sekaligus lebih misteri daripada hanya nama sebuah kapal. Bahkan nama kapal ini diambil dari tempat itu, atau dari pulau itu, yaitu Pulau Sagori.
   Pulau Sagori, Kabaena, Sulawesi Tenggara, kerap dinikmati oleh turis mancanegara sebelum tragedi bom Bali Oktober 2002. Pulau itu menyimpan misteri, antara lain seringnya kapal karam. Pantas banyak yang menyebutnya Segitiga Bermuda di Kabaena.
    Pulau Sagori di Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, itu merupakan karang atol berbentuk setengah lingkaran. Pulau tersebut tak lebih dari onggokan pasir putih dengan panjang sekitar 3.000 meter dan pada bagian tengah yang paling lebar, 200 meter.
    Wisatawan asing biasanya singgah di pulau itu dengan kapal pesiar setelah mengunjungi sejumlah obyek wisata di Kabupaten Buton dan Muna. Di Sagori mereka berjemur di atas pasir putih sambil menunggu bola matahari yang perlahan meredup saat hendak terbenam. Seusai menyaksikan gejala alam yang mengagumkan itu mereka pun melanjutkan perjalanan.
   Sagori sebetulnya lebih menarik jika dilihat dari pegunungan di Pulau Kabaena. Dari ketinggian jarak jauh itu Sagori menampilkan sapuan empat warna, yakni biru tua sebagai garis terluar, biru muda, garis putih, kemudian hijau di tengah. Warna hijau bersumber dari tajuk-tajuk pohon cemara yang melindungi pulau tersebut.
   Jarak terdekat dengan daratan Kabaena sekitar 2,5 mil. Namun, pengunjung biasanya bertolak dari Sikeli, kota pelabuhan di Kecamatan Kabaena Barat, dengan jarak sekitar empat mil atau sekitar 30 menit dengan perahu motor.       Kata ”sagori” konon diambil dari nama seorang gadis yang ditemukan warga Pongkalaero (kini sebuah desa di Kabaena) pada saat air surut tak jauh dari pulau itu. Gadis itu diceritakan menghuni kima raksasa yang terjebak karena air surut.
   Saat ditemukan, gadis tersebut dalam keadaan lemah tak berdaya. Para pemburu hasil laut kemudian menggendongnya ke sebuah onggokan pasir sebelum dibawa ke Mokole (raja) di Tangkeno di Lereng Gunung Sangia Wita, puncak tertinggi (1.800 meter) di Kabaena.
    Namun, setelah beberapa saat diistirahatkan di onggokan pasir, gadis tersebut meninggal dunia. Sebelum meninggal ia sempat menyebut namanya, Sagori. Sejak itu penduduk menamakan onggokan pasir itu Pulau Sagori.

Kuburan kapal
Keindahan Sagori di atas permukaan sangat kontras dengan kondisi alam dasar laut di sekitar pulau tersebut. Belantara batu karang yang terhampar di kawasan perairan pulau itu menyimpan misteri yang menyulitkan para pelaut, bahkan tidak jarang membawa petaka yang amat menakutkan.
   Seperti diungkapkan beberapa tokoh masyarakat suku Sama (Bajo) di Kabaena, karang dan perairan Pulau Sagori hampir setiap dua tahun menelan korban berupa kapal pecah karena menabrak karang maupun korban manusia yang dibawa hanyut gulungan ombak pantai pulau tersebut.
    Tragedi musim libur telah menelan korban, misalnya, seorang siswa SMA Negeri 1 Kabaena tewas dihantam ombak yang datang mendadak saat dia bersama sejumlah temannya mandi-mandi di pantai. Sebelumnya, seorang ibu mengalami nasib serupa tatkala sedang mandi-mandi di sana.
   Menjelang Lebaran masih kejadian yang sama, sebuah kapal kayu kandas kemudian tenggelam di perairan pulau itu saat kapal dalam perjalanan dari Sikeli menuju Jeneponto, Sulawesi Selatan. Tidak ada korban jiwa, kecuali kapal tak dapat diselamatkan. (azis sennong - antara)
  

Lande, Keindahan Buton Selatan


Mencapai Desa Gerak Makmur, atau Lande di Kecamatan Sampulawa Kabupaten Buton bukanlah pekerjaan yang mudah. Lande yang berada dalam wilayah administrasi Desa Gerak Makmur, Sampulawa, diapit oleh dua teluk kecil, dan merupakan daerah yang landai, seperti desa-desa pantai pada umumnya.
      Namun pesisir Gerak Makmur bersentuhan langsung dengan pantai teluk, dimana kedua sisinya adalah dataran tinggi yang merupakan gunung-gunung padas, bukti batu kapur. Desa ini pun mengandalkan kehidupan warganya selain nelayan, juga ada  perkebunan bawang, malah produksi bawang merah untuk kebutuhan Buton, Baubau dan daerah sekitarnya adalah suplay dari dataran tinggi yang berbatu-batu putih tersebut.
     Kehidupan masyarakatnya pun sangat akur dan ramah, dengan dipimpin tokoh adatnya, Landongu, masyarakatnya masih kokoh mempertahankan adat istiadat mereka, diantaranya teguh memegang amanah sang pemimpin. Istilah mereka, dia pemimpin adatnya berdiri, maka disitu masyarakatnya berpayung.
     Meski penduduknya campur berbagai suku bangsa, tetapi mereka masih menggunakan bahasa Cia-Cia sebagai bahasa sehari-hari, disamping bahasa Wolio (Buton).
      Sistem kepemimpinan adat secara informal ini juga dikuatkan oleh kepala desa Gerak Makmur, kepala SMP Lande, serta beberapa tokoh masyarakat lainnya. Rumah-rumah pun tertata dengan apiknya, di kiri-kanan jalan-jalan dalam perkampungan berderet dengan rapinya, pekarangan rumah pun bersih bersinar, apalagi kalau tertimpah cahaya matahari.
      Di dalam perkampungan itu juga ada ruang publik seluas lapangan sepak bola. Namun ruang publik yang sering digunakan warga dengan berbagai kepentingan dan hajatan ini, berpasir putih, dan hanya ditumbuhi pohon-pohon kelapa, sehingga sekalipun terik matahari, lapangan itu tetap terlindung dan sejuk untuk segala aktvititas.
      Di batas lapangan, merupakan area pantai teluk yang dapat dijadikan pelabuhan atau tempat sandarnya kapal-kapal nelayan, sehingga lapangan ini dapat pula dijadikan sebagai pasar ikan dadakan.
    Untuk mencapai Gerak Makmur atau Lande, terhitung perjalanan yang cukup melelahkan, dengan menggunakan kendaraan roda empat dari Kota Baubau membutuhkan waktu 5 - 6 jam (kecepatan sedang dengan kondisi jalan raya yang rusak).
     Rutenya, setelah melewati Sampulawa, Gunung Sejuk, setelah tiba di perepatan permandian alam, maka anda disarankan belok kiri, karena kalau anda ambil kanan, berarti menuju Kecamatan Lapandewa. Setelah belok kiri, dengan countur jalan mendaki dengan kiri-kanan jurang dalam, lalu anda berbelok kiri dari persimpangan menuju Desa. Melewati tanjakan ini, anda disuguhi pemandangan pegunungan yang landai, petakan-petakan bekas-bekas perkebunan warga tampak pagar-pagar batu dengan rumput yang menghijau.
      Sekitar 10 Km memandangi padang savana tersebut, maka jauh di bawah sana anda sudah dapat melihat Lande atau Desa Gerak Makmur dari kejauhan, yang rata-rata hanya tampak rimbunan pucuk-pucuk pohon kelapa.
    Sekitar 5 Km turun penurunan, maka anda sudah dapat menjumpai pedusunan yang berjejer rapi di sepanjang pantai. Artinya, tibalah anda di lokasi yang dituju. Anda dapat langsung menujuk pantai pelabuhan dengan lapangan yang bertenda pohon kelapa, atau anda memilih istirahat di rumah-rumah penduduk.
     Kunjungan anda menjadi special bila perjalanan dilakukan pada bulan-bulan April hingga Juli, sebab pasca musim barat antara Nopember hingga Maret, dan menjelang musim timur Agustus - September.
 (sultan darampa)

BATU LOHE : Pelabuhan Dinasti Ming ?


Batu Lohe, yang berada pada pantai timur berpasir putih yang berada dalam Dusun Balang Butung, Desa Balang Butung, Kecamatan Buki Kabupaten Selayar Sulawesi Selatan, nyaris tak terdengar lagi, tak tercatat pula dalam dokumen perencanaan pengembangan kepariwisataan Dinas Pariwisata Kabupaten Selayar sebagai zona pengembangan.
    Padahal, Batu Lohe adalah sejarah panjang akan kemaritiman nusantara sejak zaman purba, hingga memasuki zaman pengusaan VOC yang “merajai” pelayaran tanah air kala itu, bahkan bukti lain adalah pahatan atau tulisan-tulisan beraksara Mandarin (China) yang diperkiran sudah ratusan tahun yang silam masih nampak kokoh.
     Ketika mengunjungi tempat ini, nyaris tak percaya ketika menyaksikan pahatan “hidup” itu seakan-seakan baru terjadi lima tahunan lalu. Memang secara akal membuat orang bertanya, siapa yang lagi iseng menulis pada dinding-dinding batu karang yang demikian kokohnya, bahkan kekuatan dinding alam itu seolah tak pernah menggubris hentakan gelombang yang setiap saat menyerbunya.
     Maka karena alasan itu pula, sehingga sebagian besar pengunjung pun berujar bahwa “tulisan” mandarin itu bukan sengaja dibuat oleh tangan-tangan terampil manusia, tetapi memang terjadi karena “buatan” alam itu sendiri.
     Alasannya, pada ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu, ketinggian rata-rata gelombang laut sangat besar, sehingga setiap hentakan ombak yang tak putus-putusnya itulah yang kemudian “melukiskan” huruf-huruf yang mirip sekali dengan sebuah tulisan atau kalimat dalam bahasa mandarin.
     Baiklah. Kalau itu memang salah satu dugaan yang kuat, tapi pertanyaannya kenapa hanya pada tempat (pada dinding) karang itu, yang kira-kira panjangnya hanya sekitar 2 – 3 meter, demikian juga dengan tinggi karang yang menjadi tempat melekatnya tulisan itu pula sekitar 4 meter. 
    Memang semuanya ini belum ada jawaban yang pasti, warga setempat juga belum pernah mendapat keterangan baik dari hasil penelitian, survey atau pun analisa geologi yang dapat memastikan keaslian tulisan mandarin itu dibuat oleh manusia atau buatan alam.
    Inilah yang menjadi misteri Batu Lohe yang hingga sekarang belum terungkap dengan jelas.  Tetapi bagi masyarakat Balang Butung itu bukan soal, apalagi selama ini mereka masih sering mendapati barang-barang kuno, termasuk guci , piring, gelas, dan aneka perabot antik yang bertuliskan mandarin pula yang ditemukan di dalam semak-semak atau di sekitar tempat itu.
   
Pelabuhan Transit
Menurut cerita tutur warga setempat dengan berdasarkan penuturan dari nenek moyang mereka, bahwa zaman dahulu Batu Lohe itu merupakan pelabuhan teramai yang menghubungkan antara Papua, Buton, Labuang Bajo, Larantuka (NTT) dengan Gowa – Makassar, Teluk Bone, Selat Banda, hingga Surabaya ataupun kota-kota lain di Sumatera.
     Pelabuhan ini pula sebagai kawasan perlindungan bagi para nelayan dan pelaut jika dalam perjalanannya mengarungi Samudra Hindia tiba-tiba diterjang badai topan. Menurut warga, mereka bahkan sering membuat pemukiman ataupun tenda-tenda darurat untuk menanti musim badai (musim barat dan timur) berlalu.  Setelah kedua musim tersebut reda, barulah para pelaut melanjutkan perjalanannya menuju ke tujuan masing-masing.
     Penuturan warga ini pun cukup beralasan, karena disisi kanan pantai pasir putih yang panjang sekitar 500 meter, merupakan kawasan palung, kedalamannya tak terkirakan sehingga airnya pun berwana birukehitam-hitaman. Sehingga dianggap cocok untuk bersandar kapal-kapal ukuran besar, utamanya kapal-kapal dengan daya angkut ratusan ton.
    Sedangkan pada zona pesisirnya, merupakan daerah yang sedikit landai, memang cocok untuk membuat perkemahan, dan lebih ke arah daratan lagi terdapat perkebunan kelapa yang sering kali digunakan para perekreasi untuk menikmati ikan bakar dengan air kelapa muda.
     Semakin ke dalam, maka gunung yang menjulang tinggi seolah-olah menjadi atap bagi orang-orang yang berteduh. Sebagian ekosistem gunung tersebut masih hutan perawan, atau hutan kenari dengan diameter kayu yang masih besar-besar, atau rata-rata dua hingga tiga pelukan orang dewasa.
    Jadi wilayah pelabuhan transit ini memang lengkap dengan 3 dimensi counturnya, ada perairan, pesisir atau daratannya, dan gunungnya yang menjulang tinggi.  Sehingga kebutuhan pun rasanya terpenuhi, ada ikan dan lobster yang dengan sangat mudah dipancing, ada daratan dengan menyiapkan sumber air tawar, serta ada bukit-bukit dan gunung-gunung yang menyiapkan lahan perkebunan jagung dan ubi.
     Sementara di sebelah kiri (utara) ada pula batu yang seolah-olah terpisah dari laut dan daratan. Orang Balang Butung menyebut batu feri, karena batu tersebut menyerupai bentuk kapal feri. Malah ada mitos yang berkembang bahwa sebenarnya itu bukan batu alam, tapi awalnya sebuah kapal besar kemudian terdampar dan mendapat kutukan akhirnya berobah menjadi batu.
     Batu kapal ini memiliki panjang sekitar 15 meter, diamternya 5 meter, tinggi 20-an meter. Setiap pelancong yang datang ke kawasan ini, belum lengkap rasanya kalau belum mendaki batu kapal ini. Dan dari atas ketinggian, dapat melihat daratan besar Sulawesi Selatan dengan warna kehijauan yang menyatu dengan khaki langit.
      Disebelah kiri batu kapal, dengan jarak sekitar 100 meter, disitulah terdapat tulisan mandarin yang hingga kini masih kokoh menantang setiap gelombang dan matahari pagi. Dan tak jauh dari dinding bertuliskan ini, juga disebelah kirinya (masuk ke daratan), merupakan kawasan yang subur dengan sumber air tawar.
      Dengan adanya sumber air tawar tersebut, maka semakin menguatkan dugaan bahwa kawasan Batu Lohe adalah pelabuhan transit masa silam para pelaut-pelaut nusantara. Pelabuhan badai, karena memang khusus digunakan jika menghindari badai atau musim barat dan timur.  Batu Lohe juga dapat disebut Pelabuhan Dinasti Ming, karena di dasar laut di depan pantai pasir itu diperkirakan sebuah kapal milik Dinas Ming China karam disitu sehingga setiap saat penduduk dapat memungut benda-benda berharga yang terbawa arus ombak ke pantai.  Apalagi diperkuat dengan adanya tulisan China yang melekat pada dinding karang.
    Semoga Batu Lohe juga menjadi pelabuhan hati bagi warga dan pemerintah Kabupaten Selayar, sehingga tempat bersejarah ini dapat lestari sepanjang abad. (sultan darampa – iknul fikly)