SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Rabu, 29 Agustus 2012

Tata Cara Pelantikan Sultan Buton (2)


   Setibanya rombongan kalawati, calon sultan keluarlah dari rumahnya (kamali) dengan memakai serba putih mulai dari surban sampai sarung dengan di apit oleh Patalimbona dengan  pedang terhunus. Tamburu  di depan dan  di belakang, terus di bunyikan.
    Sultan langsung ke masjid di tempat yang telah disediakan. Setelah itu kalawati  keluar dari masjid melaporkan kepada Bhonto Ogena oleh  Bhontona Gama (artinya) “yang mulia Bontoogena sudah dimesjid calon sultan cucumu”.
      Kemudian Bhonto Ogena memberitahu kedua Kapitalao, katanya (artinya) “yang mulia Kapitalao berdirilah bersama kakak dan adikmu”.  Serentak kedua Kapitalao dengan mengenakan tandaki dan berjalan dengan seluruh Bobato, semua memakai pedang terhunus. Kedua Kapitalao mengapit pintu masuk masjid dengan pedang terhunus.
    Ketika waktu untuk shalat Jum’at tiba, kepada imam masjid di isyaratkan  untuk memimpin Shalat Jum’at dengan Judul Khutbah “Khalakal Arwah”
     Selesai pelaksanaan shalat Jumat, maka prosesi adat,  penulisan kalimat khusus pada tulang belikat calon Sultan oleh cucu Saidi Raba di mulai. Di awali calon sultan di antar di bawah kaki mimbar dan terus duduk tahiyat awal. Setelah itu di tulis pada tulang belikatnya calon sultan (tulisan khusus), biasanya yang menulis itu cucu Saidi Raba dari Sapati Waolima, dilanjutkan pembacaan do’a dari Cucu Saidi Raba keturunan Kenepulu Tanailandu.
    Setelah prosesi adat di mesjid selesai, maka Sultan kemudian di bawah ke Bhatu Popaua(atau  batu pelantikan ) untuk pemutaran payung  yang dilakukan oleh Bhonto Pata Limbona.  Pada prosesi ini kaki kiri sultan dimasukkan kedalam lubang Batu Popau sambil menghadap ke Barat.  Diputarkan payung kebesaran sebanyak 8 putaran.  Kemudian sultan meletakkan kaki kanan ke dalam batu yang sama sambil menghadap Timur sebanyak 9 putaran oleh Bontona Peropa dengan ucapan (artinya),satu,dua, tiga, empat, lima, enam tujuh, delapan prasyarat, Sembilan langgeng dan lestari serta sepuluh dengan engkau La Ode.  Perhatian,  perhatian, perhatian, La Ode engkaulah kini yang menjadi kesepakatan kakekmu bhaluwu peropa, engkaulah yang ditampilkan yang penuh cahaya terang benderang dalam pemerintahan di tanah ini La Ode, di dalam dan di luar, batu dan kayunya dan segala apa yang ada didalam dan di luar. Jangan terbagi perhatianmu selain untuk kepentingan negeri ini,jangan engkau kerjasamakan untuk kepentingan yang tidak baik,…dst”.
     Setelah pemutaran kedua payung selesai di Batu Popau kedua Kapitalau berseru (artinya) “Sembah, sembah, sembah,  baik turunan kaomu, turunan walaka maupun turunan Papara. Siapa siapa yang tidak menyembah, datanglah didepanku ini kupotong hingga berkeping keping dengan pedang ini”.
     Kemudian hadirin pun semua somba ( menyembah ) lalu kesemua hadirin menuju bharuga termasuk semua bharata. Di Bharuga, Sultan yang baru dilantik didudukkan di atas lampa diapit dengan empat (4) buah bantal guling, muka belakang dan kanan kirinya untuk melakukan prosesi adat Tuturangi.
     Akhirnya setelah  selesai acara ini maka, selesailah rangkaian acara ritual adat Bulingiana Pau Laki Wolio (Pelantikan Sultan Buthuuni) yang  di tutup oleh Bhontona Peropa menyampaikan pada Bhonto Ogena (artinya) “yang mulia Bhontoogena selesailah ritual adatnya bhaluwu Peropa”, Bhonto Ogena menjawab (artinya) “yang muliah Sapati, selesailah prosesi adat bhaluwu Peropa, perangkat pemerintah memohon berkah”.
     Menyembahlah berturut-turut mulai dari Sapati ,Kenepulu, Kapitalao, Bontoogena dan seterusnya. (sultan darampa)

Tata Cara Pelantikan Sultan Buton (1)


Bontona Gampikaro Matanaeo, Drs Arif Tasila, yang juga ketua seksi ritual adat pada penobatan Sultan Buton ke-39 ini menceritakan tahap-tahapan Bulilinganiaya Pau Laki Wolio (pelantikan Sultan Buton).
      Menurutnya, setelah masa seratus dua puluh hari setelah Sokaiana Pau (pengukuhan nama Sultan hasil seleksi), maka pada, kamis sore Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) yang berada di Lele Mangura (masih di dalam kompleks Masjid Keraton) di beri kelambu.
    Dari Tobhe-Tobhe membawa air dari tingko (tombula) juga bhancana kaluku bula, serta bancana pangana  yang pada malam jum’at sebelum pelantikan, keduanya tadi di sandingkan di Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) di Lele Mangura dan semalam suntuk rakyat Tobhe-Tobhe menabuh gendang dan gong di tempat itu.
     Besoknya pagi hari Jum’at prosesi adat di mulai. Diawali ke empat Patalimbona (Bhontona Bhaaluwu, Bhontona Peropa, Bhontona Gundu Gundu dan Bhontona Bharangkatopa) berkumpul di rumah Bhontona Peropa.  Rombongan Patalimbona ini di dampingi oleh Galangi,  Tamburu (kompanyia) Pataanguna yaitu  (Bhaaluwu Peropa, Gundu-Gundu, dan Bharangkatopa), dan delapan orang laki laki dan delapan orang perempuan anak Bhaaluwu Peropa (anak-anak dari kaum walaka) sebagai pembawa air (tambia) maupun perlengkpan lainnya.
     Rombongan ini di pimpin oleh Patalimbona  menuju Bhatu Wolio (Bhatu yGandangi) untuk mengambil air.  Sepanjang jalan tamburu di bunyikan. Sesampainya di Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) di awali dengan Galangi prosesi adat pengambilan air di mulai. Setelah itu Tingko air dan bhancana kaluku bula serta bancana pangana satu persatu oleh Bhontona Peropa di serahkan kepada ke enambelas anak Bhaaluwu- Peropa dan diakhiri dengan pembacaan do’a selamat.
      Dari Bhatu Wolio selanjutnya rombongan Patalimbona langsung  ke rumah calon sultan (kamali) untuk di mandikan. Di kamali sudah menunggu ( 11 ) sebelas orang Bhonto ynunca masing masing bersama istri. Setibanya rombongan itu maka Bhontona Dlete dan Bhontona Katapi melaporkan kepada calon Sultan sebagai berikut : “Akawamo opua miu Bhaaluwu Peropa”artinya( sudah tiba kakekmu bhaluwu peropa).
Calon sultan turun dari Galampa  atau tempat bersemayam dengan pakaian Baju Bodo dengan kancing emas, Destar (Bewe Betaawi), badik atau keris, sarung
     Dalam prosesi memandikan ini calon sultan diperlakukan seperti anak kecil  yang tidak bisa berbuat apa-apa dan kerjanya hanya menangis dan tertawa. Pada saat di mandikan Bhontona Peropa berada di sebelah kanan, Bhontona Bhaaluwu disebelah kiri, Bhontona Gundu-Gundu di depan dan Bhontona Bharangkatopa di belakang calon sultan. Semua perlengkapan sultan waktu di mandikan, sarung segalanya di tinggalkan dan di ambil oleh Bhaaluwu Peropa. Pakaian untuk persalinan di timang oleh Bhontona Kalau dan Bhontona Waberongalu.
    Setelah pemandian, maka Bhontona Gundu Gundu membuka bhancana kaluku bula dan bancana pangana, memisahkannya dari seludangnnya dan bhanca itu di kipas kipaskan dibelakang sultan oleh Bhontona Bharangkatopa, sebelah kiri delapan kali dan sebelah kanan sembilan kali turun naik.
    Pada saat dimandikan,  calon sultan diberi bedak (burati) pada bagian dahinya oleh Patalimbona. Bedak (bura) itu dibuat dari ( 120 ) seratus dua puluh macam  bahan dengan rasa yang berbeda  yang di olah di kediaman Bhontona Peropa oleh isteri dari patalimbona. Dalam proses tandea ini Bhontona Peropa berkata (artinya) “dengarkan laode rasa pedis dan segala rasa yang tidak menyenangkan ataupun rasa yang sangat menyenangkan sebagaimana rasa yang ada pada seratus dua puluh macam bahan bedak tadi saya tandai kamu La Ode, jangan kamu kerjasamakan negeri ini dengan pendatang ataupun semacamnya untuk menghancurkan negeri ini,jangan kamu berikan destar dikepalamu dalam arti sebagai pemimpin dan penguasa kamu gunakan kekuasaanmu untuk maksud kejahatan terhadap negeri ini, apabila kamu lalaikan semua itu kamu, melebur serta lenyap dan hancur binasa  anakmu dan anaknya bhaluwu peropa” .
    Selanjutnya, setelah patalimbona selesai mengganti pakayan maka setelah tiba saatnya Patalimbona  berangkat ke bharuga membawa parinta (alat-alat kerajaan).
Menjelang pelaksanaan shalat Jum’at  Bhonto Ogena memerintahkan Sapati dengan bahasa adat  (artinya): “yang  mulia Sapati, kiranya segera utus penjemput calon sultan kakakmu”.
    Maka berangkatlah utusan kalawati ( penjemput )kerumah calon sultan yang terdiri dari delapan orang Bhonto dan delapan orang Bobato di iringi rombongan tamburu sambil dibunyikan.

Senin, 21 Mei 2012

Buton Pencetus Pemerintahan Demokrasi

Sistem demokrasi yang telah berjalan di Indonesia ternyata bukan memang hal baru bagi nusantara, tetapi sistem pemerintahan seperti ini adalah kekayaan lokal suku bangsa tanah air, dan diantara penerapan sistem demokrasi sejak beberapa abad lalu adalah Kerajaan / Kesultanan Buthuuni (Buton).
     Ada beberapa landasan tradisi untuk mengklaim bahwa sistem pemerintahan Kesultanan Buthuuni berjalan secara demokratis dengan nafas Islam, yakni mulai dari sistem pemilihan Sultan (Laki Wolio), dimana terpilihnya Sultan untuk naik tahta adalah berdasarkan pemilihan yang dilakukan oleh Siolimbona (perwakilan atau dewan adat masing-masing komunitas atau wilayah).
     Siolimbona ini dipilih berdasarkan sistem permufakatan yang dipilih oleh rakyat, dan sang Sultan (Raja) sendiri pun tidak didasarkan atas dasar turun-temurun, jadi Sultan di Kesultanan Buton tidak pernah mengenal istilah putra mahkota sebagai lazimnya kerajaan lain di dunia.
     Dalam menjalankan sistem pemerintahannya pun, sang Sultan juga tidak dapat mengambil keputusan sendiri, tetapi harus (selalu) merujuk pada Siolimbona dan segala perangkat kesultanan, termasuk diantaranya para barata. Untuk diketahui Kesultanan Buthuuni memiliki 4 barata (wilayah pemerintahan), yakni Barata Muna dan Tiworo (Kab.Muna sekarang), Barata Kalisusu (Kab.Buton Utara), Barata Kaledupa (Kab.Wakatobi).       
     Salah seorang budayawan Buton, Arif Tasila yang juga Bontona Gampikaro Mataneo (salah satu saya structural kesultanan Buthuuni) mengurai asal muasal Kerajaan Buton, bahwa pendiri Kerajaan Buton memang digagas secara mufakat, dan penggagasnya terdiri dari empat orang.
      Disebut “Mia Patamiana“ , terdiri Si Pajonga, Si Jawangkati, Si Malui dan Si Tamanajo.  Keempat orang inilah yang pertama kali membuat atau membuka daerah baru. Dalam perkembangannya daerah yang baru dibuka tersebut yang mengatur dalam negeri dengan dua orang Bonto, yaitu Sijawangkati sebagai Bontona Gundu-Gundu dan Si Tamanajo sebagai Bontona Barangkatopa. 
    Kemudian ditambah pula dua orang Bonto, yaitu Sangiariarana sebagai Bontona Baluwu dan Betoambari sebagai Bontona Peropa.  Setelah beberapa lamanya lalu ditambah lagi  empat orang Bonto, yaitu : Bontona Gama, Bontona Wandailolo, Bontona Siompu dan Bontona Rakia.  Bonto-Bonto inilah yang mengatur kepentingan dalam negeri.
     Sehingga wilayah Kesultanan Buton meliputi gugusan kepulauan di kawasan bagian Tenggara Jazirah Sulawesi Tenggara yang terdiri dari Pulau Buton, Pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau-Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Pulau Makassar, Pulau Kadatua, Masiri dan Pulau Siompu, Pulau Talaga Besar, Pulau Talaga Kecil, Poleang, Rumbia, Pulau Wawonii, Pulau Wanci, Pulau Tomia dan Binongko.
     Hasil kesepakatan ke-8 Bonto, maka diangkatlah Wa Ka Kaa ( Musrifatul Izzati Al Fakri ) menjadi Raja Buton yang pertama pada awal abad ke 13.  Bontona Baluwu dan Bontona Peropa yang melantik Raja yang pertama sebagai mana adat dan tata cara pelantikan sampai pada Sultan ke 37 ( terakhir ), Sultan Muhammad Falihi.
     Delapan Bonto yang mengangkat dan melantik  Wa Kaa Kaa  menjadi Raja ini diibaratkan “Bapak ( Delapan Bonto )melantik dan mengangkat Wa Kaa Kaa sebagai Anak atau Raja .  Delapan Bonto sebagai Bapak dan Wa Ka Kaa sebagai Anak atau Raja. Dimana Delapan Bonto telah menurunkan kebesarannya dan diberikan kepada anaknya/Raja, dan Anak/Raja menerima pemberian itu atas janji dari Bapaknya dalam bahasa Adat :  “ Ka Angkata tee Ka Muliangi “.
   Ini mengandung arti bahwa Wa Kaa Kaa telah diangkat sebagai Anak atau Raja dari Delapan Bonto yang sifatnya telah menjadi bayi yang baru lahir dalam arti : diberi baru menerima, disuap baru menganga dan kerjanya hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya. 
     Sedangkan untuk Bapak ( Delapan Bonto ) adalah kekuasaan penuh pada mereka dan apa-apa yang menjadi keperluan dan kebutuhan Anak atau Raja adalah tanggungan Bapak.  Inilah yang disebut dengan “adatu azali”. (sultan darampa)

Penobatan Sultan Buton


Setelah cukup lama vakum, sekitar 52 tahun, sejak mangkatnya Sultan Buthuuni yang ke-37, La Ode Muhammad Falihi pada tahun 1960, maka pada Hari Jumat, tanggal 19 Mei 2012, di Baruga Keraton Kesultan Buton, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, akan dinobatkan H.La Ode Muhammad Jafar SH sebagai Sultan Buton ke-39. 
     Ketua Panitia Penobatan Sultan Buton (Bulilingiyana Pau Laki Wolio), La Ode Ahmad Manise, S.Pd, dan sekretarisnya Ir.Asrun Addin mengurai, Kerajaan Buthuuni (Buton) adalah kerajaan yang berdaulat sejak abad ke-13, dan kemudian mengubah status pemerintahannya menjadi Kesultanan Buthuuni pada 1 Ramadhan 948 hijriyah (1540 masehi), ketika itu agama Islam resmi menjadi agama kesultanan.
     Kesultanan Buhtuni telah menetapakan sistem pemerintahan yang modern, struktur pemerintahan yang lengkap dengan mencakup segala bidang, pembagian wilayah antara pusat dan daerah dengan masing-masing memiliki kedaulatan sendiri-sendiri selama 7 abad. Namun pada akhirnya,Sultan Buton ke-37, La Ode Muhammad Falihi mangkat tahun 1960, dan sejak itu Kesultanan kekosongan pucuk pemimpinan.
     Akhirnya, pada tanggal 12 Pebruari 2011 tahun lalu, tokoh adat dan budaya se-Kesultanan Buthuuni menggagas pertemuan di Baruga Keraton Buthuuni dengan menghasilkan kesepakatan bersama. “yakni membentuk kembali perangkat Kesultanan Buthuuni dan nama Lembaga Adat Kesultanan Buton yang diawali dengan pembentukan Siolimbona.
    Lalu pada tanggal 22 Mei 2011,  juga pada tempat yang sama, telah dikukuhkan Siolimbona yang disaksikan langsung oleh Pitu Puluh Rua Kadie dan Pata Barata wilayah kesultanan. Selanjutnya, Siolimbona bertugas untuk memilih, menentapkan dan melantik Laki Wolio (Sultan Buthuuni).
    Tahapan adat Siolimbona dalam pemilihan, penetapan dan pelantikan Laki Wolio (Sultan Buthuuni) adalah (1) Tiliki, (2) Buataka Katange, Kambojai, dan Paso, (3) Fali, dan Sokiana Pau, (4) Bulilingiyana Pau Laki Wolio (penobatan Sultan).
    Berdasarkan prosedur adat pelaksanaan Bulungiyana Pau Laki Wolio (penobatan Sultan Buthuuni) dilaksanakan 120 hari setelah Sokayana Pau (penobatan Sultan), sehingga tanggal 19 Mei 2012, bertempat di Baruga Keraton Buthuuni telah dilakukan Ritual Sokayana Pau Laki Wolio . (sultan darampa)

Jumat, 11 Mei 2012

Perkampungan Industri Tenun Tradsional

  Seorang usahawan muda dunia pertenunan nasional, Juwita mengatakan, sehubungan lagi trend dan permintaan pasar hasil tenun tradisional lagi naik daun, bahkan permintaan pun membludak, sementara produksi yang masih minim, maka mendesak untuk dibangun pusat kawasan industry tenun tradisional di Kota Kendari.

     Menurutnya, yang ada selama ini hanya pusat-pusat pameran atau pusat penjualan hasil-hasil kerajinan, salah satu diantaranya adalah di Sompu Opu, Makassar, tetapi untuk pusat produksi, utamanya hasil-hasil kerajinan, itu yang belum ada di Sulawesi.
     “Olehnya itu, penting untuk semua pihak, termasuk intansi pemerintah memikirkan sebuah perkampungan (kawasan) produksi tenun tradisional di Sulawesi Tenggara, atau di Kendari,” ungkap perempuan kelahiran Sengkang – Wajo ini.
     Dia mengakui, memang ada satu kawasan di Kabupaten Wajo – Sulawesi Selatan yang merupakan basis industry tenun yang dikelola secara turun-temurun, bahkan di dalam kampung itu setiap rumah memiliki alat pemintalan tenun, meski itu masih sederhana.
      Tapi apa yang dimiliki Wajo ini, rasanya memang jauh dari cukup, apalagi untuk kebutuhan Sulawesi Tenggara yang tentu mengandalkan corak khas tenun daerah ini. “Corak Kendari, To Laki, Mekongga, Buton, Muna dan Moronene, harus dibikin oleh pengrajin daerah ini, kita tidak mungkin mengandalkan pihak luar daerah, atau mendatangkan pengrajin dari luar untuk mengelola asset kita,” tambahnya.
   
  Ia mencontohkan, industry tenun yang dikelolanya selama ini sudah cukup berhasil, dengan mengandalkan tenaga kerja sekitar 10 orang, dengan rata-rata gaji Rp 2 juta sampai RP 3 juta perbulan, masih jauh dari pemenuhan permintaan pasar, malah untuk permintaan Kota Kendari, seperti pakaian pegawai (PNS) saja masih kewalahan.
     “Memang kita lagi beruntung, dengan gebrakan dan bimbingan serta promosi yang tak henti-hentinya dari Ketua Derkranasda Sulawesi Tenggara, Ny.Tina Nur Alam, maka tenun Sultra mengalami kemajuan luar biasa, bahkan sampai industry dan mode internasional pun menggandrunginya,” cetusnya.
     Dengan adanya perkampungan tenun tradisional yang dikelola secara professional, maka otomatis itu sangat membantu ekonomi keluarga, utamanya perempuan, karena memang rata-rata pengrajin itu perempuan, sehingga dengan adanya kawasan industry tenun tradisional ini kemungkinannya bukan hanya sekedar membantu ekonomi keluarga, malah bisa menjadi penghasilan utama keluarga.                                               (nining)

Rp 350 Juta, ADD / ADK Bombana


Gebrakan pasangan Bupati H.Tafdil bersama wakilnya Ir. Hj.Masyhura dalam mewujudkan pembangunan Kabupaten Bombana ke depan semakin menggairahkan arah dan proses dalam peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
    Salah satu kebijakannya yang dinilai menjadi kebutuhan riil bagi masyarakat Bombana adalah terdongkraknya alokasi dana desa (ADD) dan alokasi dana kelurahan (ADK) menjadi Rp 350 juta setiap tahunnya.
     Peningkatan bantuan pada aspek pemberdayaan, peningkatan kapasitas sumber daya lokal hingga pada pembenahan infrastruktur kabupaten terangkum dalam idiom-idiom “gerakan membangun masyarakat Bombana (GEMBIRA)”. 
   Kemudian pada aspek peningkatan sumber daya manusia (SDM) ini, Wakil Bupati Ir.Hj.Masyhura lebih focus pada pengembangan bidang keagamaan. Untuk keagamaan, Ir.Hj.Masyurah sendiri juga turut langsung mempersiapkan segala kebutuhannya sampai ke kecamatan dan desa-desa.
     “Kita telah mengadakan training of training (TOT) para guru mengaji pada setiap desa-desa dan kelurahan. Nantinya, hasil TOT ini-lah yang kemudian memastikan pelaksanaan pengajian pada setiap kelompok-kelompok yang sudah dibentuk,” kata Masyhura.
     Guna lebih mengintensifkan cara kerja para guru mengaji, maka Pemerintah Kabu-paten secara rutin telah mengeluarkan biaya rutin peng-gajian, atau honor, pada setiap bulannya bagi setiap guru mengaji. 
 Pengarusutamaan pada bidang ke-agamaan ini karena memang kondisi masyarakat Bombana yang masih sangat agamais, apalagi memang Bombana dihuni penduduk yang mayoritas Islam, sekitar 90 persen.
      Sehingga dengan program ini pun juga menjadi bagian dari rencana pihak lembaga pengembangan tilawatil qur’an (LPTQ) propinsi Sulawesi Tenggara. Meski demikian, Masyhura  juga menyadari bahwa LPTQ tahun-tahun sebelumnya memang tidak mengalami lonjakan progres kegiatan.
      Jadi baik kerangka kegiatan keagamaan di Bombana maupun dalam skema pengembangan LPTQ, maka Masyhura juga intens memantau kegiatan pengajian-pengajian yang terus dilakukan di masjid, atau di tempat-tempat yang sudah disepakati sebelumnya.   
    “Saya sendiri turut juga membuka TPA Al-Husnah. Jadi kalau sore saya mengajar anak-anak mengaji di rumah jabatan, sehingga kalau sudah sore saya beralih profesi dan dipanggil sebagai ibu guru mengaji, kecuali kalau pagi hingga siang tetap dipanggil sebagai ibu wakil bupati,” tawanya.
    Ia pun menceritakan bahwa anak-anak yang mengaji di rumah jabatan yakni mulai usia belajar antara kelas I SD sampai kelas 6 SD. Dan latarbelakang murid-murid pengajian ini pun datang dari sekitar rumah jabatan, sehingga pesertanya bukan hanya anak-anak pejabat, tetapi juga yang orang tuanya profesi sebagai petani atau profesi lain.
     Untuk itu, maka Masyhura berharap beberapa tahun ke depan, Bombana sudah terbebas dari buta aksara Alqur’an. “Jadi selain sebagai amal ibadah, juga merupakan program pemerintah, program kami yang tertuang dalam visi-misi kami sebelumnya,” kata istri Ilah Ladamay (staf Ahli di Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara ini).
     Menurutnya, perhatian ini bukan hanya terhadap guru mengaji, tapi yang tak kalah pentingnya adalah juga pembinaan majelis taklim yang terus dibenahi dan diperkuat, bahkan dengan kelompok-kelompok pengajian ibu-ibu, baik di masjid maupun di tempat lain, sehingga memang Bombana sekarang ini lagi semarak dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, utamanya pada sore hari hingga menjelang Isya.
     “Kemeriahan” ini juga tetap harus dikontrol, atau dievaluasi secara berkala. “Makanya setiap minggu, saya target dua kecamatan yang dikunjungi,” tambahnya. Untuk itu, Masyhura harus menjangkau 22 kecamatan (hasil pemekaran dari 6 kecamatan) secara bergilir dan kontinyu.  “Khusus tugas pemantauan dan evaluasi ini saya nikmati betul-betul,” jelasnya. (nining)

Menembus Darwin dengan Sandeq


Para pelaut ulung yang menjejakkan kakinya di Darwin Australia itu adalah dari Tim Korps Pencinta Alam (Korpala) Universitas Hasanuddin merapat di Darwin, Australia, 21 November 2011, setelah berlayar selama 40 hari sesuai waktu yang dijadwalkan. Para pelaut perkasa itu terdiri atas Ahmad (Fakultas Hukum), Guswan Gunawan (Fisip), Abdul Jalal (Teknik), Fadli (Peternakan), Rusmin (Teknik), dan Lukman mahasiswa S-2 (Ekonomi). Bertindak sebagai nakoda adalah Abdul Jalal.
    Rektor Unhas Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi yang disertai Wakil Rektor I Prof.Dr.Dadang Ahmad Suriamiharja, Wakil Rektor II Dr.dr.Andi Wardihan Sinrang, M.S. Dan beberapa stafnya, Rabu (23/11) menyambut resmi para pelaut ulung Unhas itu di Darwin 23 November 2011 di Pantai di depan Darwin Sailing Club yang berdiri sejak tahan 1963.
     Dengan adanya perahu sandeq Unhas ini, maka hingga kini sedikitnya ada tiga perahu dari Sulawesi Selatan yang disimpan di Darwin, yakni dua perahu (jenis Padewakang ‘Hati Marege’ dan Lambo yang disimpan di Gallery and Art Museum) Northern Territory, Darwin. Hati Marege berlayar ke Darwin Desember 1987 dan tiba di Darwin 16 Januari 1988 dengan 13 pelaut Sulawesi Selatan yang dipimpin Peter Spillet yang meninggal dunia Desember 2004 di Bali.
    Salah seorang di antara pelaut itu, Mansyur Muhayyang, juga bertemu dengan saudara ‘jauh’-nya di Darwin yang bernama Matjuwi. Mereka menangis sambil berpelukan ketika bertemu.
   Berdasarkan data yang diperoleh Unhas di Gallery and Art Museum Northern Territory. Pada tahun 1640, Australia termasuk salah satu bagian wilayah ekspansi Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Oleh sebab itu, diperkirakan pada tahun tersebut orang-orang Makassar sudah menginjakkan kakinya di Darwin Australia.
    Wakil Konsul Indonesia di Darwin, Nadia Sumampouw ketika bertemu dengan Rektor Unhas Prof.Dr.dr.Idrus A Paturusi dan rombongan, Jumat (25/11) menjelaskan, hubungan historis antara Darwin dengan Makassar selalu menjadi wacana yang mengakrab ketika Wakil Perdana Menteri Northern Territory menyampaikan kesannya saat bertemu dengan Konsuler Indonesia di Darwin.     
    Setelah tiba di Darwin, perahu yang diberi nam a BIRU LANGIT (Blue Sky) itu Akan menghuni Museum Kota Darwin. Rabu (23/11)  sore, perahu sandeq sepanjang sepuluh meter dengan lebar dan tinggi sekitar 90 cm itu ditarik menggunakan trail ke darat. Sebelum ditarik, Rektor Unhas, Wakil Rektor I, II, dan Dekan FKIP Unhas Prof.Dr.Ir,Andi Niartiningsih, MP menyemoatkan  berlayar perpisahan dengan perahu yang sudah menapaktilasi perjalanan. Pelaut Sulawesi menangkap taripang di Australia Lima abad silam.
    Warga Darwin, khususnya angora  Darwin Sailing Club menyambut gembira kedatangan para mahasiswa yang menu rut mereka sebagai "the crazy" (si gila)' karen a keberanian mereka berlayar dengan menggunakan perahu kecil melintasi Samudra Hindia Dan Laut Arafuru.
    Sebagai bentuk sambutan mereka terhadap para mahasiswa itu, warga Australia itu Akan mengajaknya nenikmati beberapa tempat rekreasi di ibu Kota Northern Territory tersebut. (habis)
(m.dahlan abu bakar)

Agenda FKN - Kesultanan Wolio Bhuutuni


Festival Keraton Nusantara (FKN) VIII yang dipusatkan di Keraton Kesultanan Bhutuni Kota Baubau, resminya dimulai tanggal 2 hingga 4 September 2012. Untuk itu, pihak panitia telah mengeluarkan maklumat rentetan kegiatan sebagai berikut :
·         Forum festival keraton nusantara
·         Welcome dinner
·         Pembukaan festival keraton nusantara VIII
·         Kirab agung prajurit keraton kesultanan
·         Pameran benda-benda pusakan keraton dan royal food festival (kuliner)
·         Kesenian tarik klasik dan peragaan busana keraton
·         Dialog budaya dan musyawarah para sultan atau raja
·         Penutupan FKN VIII
·         Forum Festival Keraton Nusantara
Forum Festival Keraton Nusantara dilaksanakan tanggal 1 September 2012 bertempat di Baruga Keraton Wolio Kota Baubau pada pagi hari, session ini merupakan pertemuan pewaris keraton dari seluruh keraton di Nusantara.
     Pertemuan ini membahas masalah yang menyangkut materi acara yang digelar pada Festival Keraton Nusantara, baik evaluasi maupun rencana festival keraton selanjutnya. Forum ini diharapkan mampu menetapkan acara standar minimal yang harus dilaksanakan oleh tuan rumah berikutnya, tempat penyelengaraan yang akan datang dan lain sebagainya yang menyangkut festival keraton nusantara.
     Berhubung acara ini dilaksanakan pada tanggal 1 September 2012, maka diharapkan kepada seluruh pimpinan rombongan FKN agar tiba sehari sebelum acara Pembukaan Festival Keraton VIII.
Welcome Dinner
Seluruh pewaris / sesepuh keraton, tokoh adat, budayawan dan tamu undangan lainnya, akan menghadiri acara selamat datang (welcome dinner) dari tuan rumah Kota Baubau Pusat Keraton Kesultanan Buton.
Pembukaan FKN
Pembukaan Festival Keraton Nusantara VIII dilaksanakan pada tanggal 2 September 2012 bertempat di Maedani Betoambari pada siang hari, dan dihadiri oleh seluruh pewaris, sesepuh keraton dan tamu undangan lainnya.
Kirab Agung
Diharapkan kehadiran seluruh Pewaris / Sesepuh Keraton dan tamu undangan lainnya.
    Seluruh prajurit dari keraton se-nusantara berbaris sesuai keratonnya masing-masing saat upacara pembukaan dan selanjutnya kirab agung atau parade budaya prajurit keraton.
Pameran Benda Pusaka
Pameran dilaksanakan pada tanggal 2 – 4 September 2012, siang dan malam bertempat di Gedung Maedani Betoambari. Materi pameran terfokus pada upaya mengekspos representasi kekayaan dan keragaman nilai-nilai budaya masing-masing keraton peserta Festival Keraton Nusantara VIII yang dapat dikategorikan pada tiga bagian, sebagai berikut :
Bagian Benda Pusaka Keraton
Pada bagian ini masing-masing Keraton menampilkan benda-benda pusaka yang diunggulkan (Masterpiece) yang dapat berupa mahkota, senjata, tanda kebesaran keraton.
   Bagian Simbol dan Lambang Keraton. Pada bagian ini masing-masing keraton menunjukkan kekhasannya dengan dimanifestasikan dalam simbol dan lambang yang dapat berupa bendera, panji dll.
Bagian Foto Kuno
Pada bagian ini masing-masing keraton menampilkan foto dokumentasi yang menggambarkan berbagai bentuk aktivitas budaya maupun peristiwa penting yang terjadi tempo dulu.
Ketentuan Teknis Pameran :
Benda-benda yang dipamerkan diharapkan merupakan replika benda-benda pusaka keraton atau berupa foto dan sejenisnya.
    Panitia penyelenggara menyediakan tempat pameran, menyiapkan penataan ruang, keamanan internal di ruang pameran serta berbagai bentuk informasi dan publikasi lainnya.
     Keraton sebagai peserta pameran mengirimkan materi kepada Panitia penyelenggara maksimal 3 (tiga) benda disertai foto dan ukuran benda serta historis benda tersebut.
Pemandu pameran menggunakan pakaian daerah masing-masing, informasi tentang materi pameran dan mampu melayani setiap pengunjung dan selalu siap ditempat pameran. Tempat yang disediakan panitia untuk seluruh peserta bersifat pameran bersama.
Royal Food Festival
Merupakan festival makanan tradisional dari keraton yang ada dan masih disajikan saat ini oleh daerah masing-masing. Makanan yang difestivalkan adalah makan utama yang lengkap termasuk suguhan awal dan akhir.
Ketentuan Teknis Festival :
·         Fasilitas tempat pameran disediakan panitia
·         Peserta membawa sendiri perlengkapan makanan
·         Tidak diperkenankan memasak di lokasi pameran
Rincian persyaratan mengikuti royal food festival akan disampaikan kemudian.
Kesenian Tari Klasik
Merupakan jenis tari klasik keraton yang menjadi unggulan dan masih dipentaskan hingga saat ini.  Ketentuan Teknis :
Tiap tim kesenian keraton disediakan waktu pentas maksimal 30 (tiga puluh) menit
·         Pelaksanaan tari klasik keraton merupakan suatu kesatuan  pertunjukkan dengan peragaan busana adat pengantin keraton pada tanggal 2 – 3 September 2012.
·         Tempat pelaksanaan kegiatan di Pantai Kamali pada waktu sore – malam hari.
·         Peralatan spesifik dari masing-masing peserta apabila menggunakan iringan hidup diharapkan membawa sendiri, jika memakai kaset, VCD maupun flash disk, panitia akan menyediakan peralatannya.
Peragaan Busana Keraton
Peragaan Busana Keraton merupakan kegiatan “Busana Adat Pengantin Keraton”dan masih digunakan hingga masa kini.
Ketentuan Teknis :
Peragaan busana ini merupakan bentuk dari bagian prosesi upacara adat pengantin keraton
Tanggal pelaksanaan kegiatan 2 – 3 September 2012 bertempat di Pantai Kamali
Prosesi upacara adat pengantin Keraton ini dikemas dalam bentuk pertunjukkan dengan busana pengantin lengkap (seperti aslinya) dengan diiringi musik pengiring dan disertai pembacaan narasi untuk memperjelas kelengkapan prosesi tersebut. Peragaan busana adat pengantin keraton ini dikemas bersama dengan pergelaran kesenian tari klasik.
Dialog Budaya
Seminar ini merupakan eksperimen untuk mendialogkan berbagai macam kearifan lokal. Dengan cara ini, nilai-nilai lokal dihidupkan dan diajak untuk berdialog menyikapi tantangan zaman.
     Sesuai dengan Tema Festival Keraton Nusantara VIII “NUSANTARA PUSAKA DUNIA”  tema seminar ini mendukung tema besar yaitu “Merajut Kearifan Budaya Lokal “Bincibinciki Kuli” Sebagai Perekat Persatuan dan Kesatuan Bangsa “
Ketentuan Teknis :
·         Kegiatan ini dilaksanakan tanggal 4 September 2012 pagi hari, bertempat di Baruga Keraton Wolio Buton Kota Baubau
·         Peserta dialog budaya merupakan paraseluruh pewaris / sesepuh keraton, pemangku adat, budayawan, cendekiawan dan tokoh masyarakat serta utusan FKN.
·         Kegiatan dialog budaya pelaksanaannya dirangkaikan dengan Musyawarah para Sultan / Raja.
Musyawarah para Sultan / Raja
Musyawarah Para Sultan / Raja ataupun utusan FKN di lakukan untuk menentukan daerah pelaksana FKN selanjutnya.
     Musyawarah dilaksanakan pada tanggal  4 September 2012 sore hari bertempat di Baruga Keraton Wolio Buton dan di laksanakan setelah acara dialog budaya.
Penutupan Festival
Akan dilaksanakan tanggal 4 September 2012 malam hari. Diharapkan hadir seluruh pewaris / sesepuh keraton nusantara dan tamu undangan lainnya.
      Akan dibacakan rekomendasi dialog budaya dan musyawarah para Sultan / Raja yang merupakan pesan-pesan budaya yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dimasa yang akan datang.(dispar baubau)

Jumat, 04 Mei 2012

SAGORI : Segitiga Bermuda Indonesia


Bagi sebagian masyarakat Sulawesi Tenggara, nama Sagori bukan lagi hal baru.  Tapi nama ini seolah-olah hanya nama kapal cepat rute Baubau-Kendari. Padahal ada nama tempat yang jauh lebih eksotik, lebih indah dan alami, sekaligus lebih misteri daripada hanya nama sebuah kapal. Bahkan nama kapal ini diambil dari tempat itu, atau dari pulau itu, yaitu Pulau Sagori.
   Pulau Sagori, Kabaena, Sulawesi Tenggara, kerap dinikmati oleh turis mancanegara sebelum tragedi bom Bali Oktober 2002. Pulau itu menyimpan misteri, antara lain seringnya kapal karam. Pantas banyak yang menyebutnya Segitiga Bermuda di Kabaena.
    Pulau Sagori di Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, itu merupakan karang atol berbentuk setengah lingkaran. Pulau tersebut tak lebih dari onggokan pasir putih dengan panjang sekitar 3.000 meter dan pada bagian tengah yang paling lebar, 200 meter.
    Wisatawan asing biasanya singgah di pulau itu dengan kapal pesiar setelah mengunjungi sejumlah obyek wisata di Kabupaten Buton dan Muna. Di Sagori mereka berjemur di atas pasir putih sambil menunggu bola matahari yang perlahan meredup saat hendak terbenam. Seusai menyaksikan gejala alam yang mengagumkan itu mereka pun melanjutkan perjalanan.
   Sagori sebetulnya lebih menarik jika dilihat dari pegunungan di Pulau Kabaena. Dari ketinggian jarak jauh itu Sagori menampilkan sapuan empat warna, yakni biru tua sebagai garis terluar, biru muda, garis putih, kemudian hijau di tengah. Warna hijau bersumber dari tajuk-tajuk pohon cemara yang melindungi pulau tersebut.
   Jarak terdekat dengan daratan Kabaena sekitar 2,5 mil. Namun, pengunjung biasanya bertolak dari Sikeli, kota pelabuhan di Kecamatan Kabaena Barat, dengan jarak sekitar empat mil atau sekitar 30 menit dengan perahu motor.       Kata ”sagori” konon diambil dari nama seorang gadis yang ditemukan warga Pongkalaero (kini sebuah desa di Kabaena) pada saat air surut tak jauh dari pulau itu. Gadis itu diceritakan menghuni kima raksasa yang terjebak karena air surut.
   Saat ditemukan, gadis tersebut dalam keadaan lemah tak berdaya. Para pemburu hasil laut kemudian menggendongnya ke sebuah onggokan pasir sebelum dibawa ke Mokole (raja) di Tangkeno di Lereng Gunung Sangia Wita, puncak tertinggi (1.800 meter) di Kabaena.
    Namun, setelah beberapa saat diistirahatkan di onggokan pasir, gadis tersebut meninggal dunia. Sebelum meninggal ia sempat menyebut namanya, Sagori. Sejak itu penduduk menamakan onggokan pasir itu Pulau Sagori.

Kuburan kapal
Keindahan Sagori di atas permukaan sangat kontras dengan kondisi alam dasar laut di sekitar pulau tersebut. Belantara batu karang yang terhampar di kawasan perairan pulau itu menyimpan misteri yang menyulitkan para pelaut, bahkan tidak jarang membawa petaka yang amat menakutkan.
   Seperti diungkapkan beberapa tokoh masyarakat suku Sama (Bajo) di Kabaena, karang dan perairan Pulau Sagori hampir setiap dua tahun menelan korban berupa kapal pecah karena menabrak karang maupun korban manusia yang dibawa hanyut gulungan ombak pantai pulau tersebut.
    Tragedi musim libur telah menelan korban, misalnya, seorang siswa SMA Negeri 1 Kabaena tewas dihantam ombak yang datang mendadak saat dia bersama sejumlah temannya mandi-mandi di pantai. Sebelumnya, seorang ibu mengalami nasib serupa tatkala sedang mandi-mandi di sana.
   Menjelang Lebaran masih kejadian yang sama, sebuah kapal kayu kandas kemudian tenggelam di perairan pulau itu saat kapal dalam perjalanan dari Sikeli menuju Jeneponto, Sulawesi Selatan. Tidak ada korban jiwa, kecuali kapal tak dapat diselamatkan. (azis sennong - antara)
  

Lande, Keindahan Buton Selatan


Mencapai Desa Gerak Makmur, atau Lande di Kecamatan Sampulawa Kabupaten Buton bukanlah pekerjaan yang mudah. Lande yang berada dalam wilayah administrasi Desa Gerak Makmur, Sampulawa, diapit oleh dua teluk kecil, dan merupakan daerah yang landai, seperti desa-desa pantai pada umumnya.
      Namun pesisir Gerak Makmur bersentuhan langsung dengan pantai teluk, dimana kedua sisinya adalah dataran tinggi yang merupakan gunung-gunung padas, bukti batu kapur. Desa ini pun mengandalkan kehidupan warganya selain nelayan, juga ada  perkebunan bawang, malah produksi bawang merah untuk kebutuhan Buton, Baubau dan daerah sekitarnya adalah suplay dari dataran tinggi yang berbatu-batu putih tersebut.
     Kehidupan masyarakatnya pun sangat akur dan ramah, dengan dipimpin tokoh adatnya, Landongu, masyarakatnya masih kokoh mempertahankan adat istiadat mereka, diantaranya teguh memegang amanah sang pemimpin. Istilah mereka, dia pemimpin adatnya berdiri, maka disitu masyarakatnya berpayung.
     Meski penduduknya campur berbagai suku bangsa, tetapi mereka masih menggunakan bahasa Cia-Cia sebagai bahasa sehari-hari, disamping bahasa Wolio (Buton).
      Sistem kepemimpinan adat secara informal ini juga dikuatkan oleh kepala desa Gerak Makmur, kepala SMP Lande, serta beberapa tokoh masyarakat lainnya. Rumah-rumah pun tertata dengan apiknya, di kiri-kanan jalan-jalan dalam perkampungan berderet dengan rapinya, pekarangan rumah pun bersih bersinar, apalagi kalau tertimpah cahaya matahari.
      Di dalam perkampungan itu juga ada ruang publik seluas lapangan sepak bola. Namun ruang publik yang sering digunakan warga dengan berbagai kepentingan dan hajatan ini, berpasir putih, dan hanya ditumbuhi pohon-pohon kelapa, sehingga sekalipun terik matahari, lapangan itu tetap terlindung dan sejuk untuk segala aktvititas.
      Di batas lapangan, merupakan area pantai teluk yang dapat dijadikan pelabuhan atau tempat sandarnya kapal-kapal nelayan, sehingga lapangan ini dapat pula dijadikan sebagai pasar ikan dadakan.
    Untuk mencapai Gerak Makmur atau Lande, terhitung perjalanan yang cukup melelahkan, dengan menggunakan kendaraan roda empat dari Kota Baubau membutuhkan waktu 5 - 6 jam (kecepatan sedang dengan kondisi jalan raya yang rusak).
     Rutenya, setelah melewati Sampulawa, Gunung Sejuk, setelah tiba di perepatan permandian alam, maka anda disarankan belok kiri, karena kalau anda ambil kanan, berarti menuju Kecamatan Lapandewa. Setelah belok kiri, dengan countur jalan mendaki dengan kiri-kanan jurang dalam, lalu anda berbelok kiri dari persimpangan menuju Desa. Melewati tanjakan ini, anda disuguhi pemandangan pegunungan yang landai, petakan-petakan bekas-bekas perkebunan warga tampak pagar-pagar batu dengan rumput yang menghijau.
      Sekitar 10 Km memandangi padang savana tersebut, maka jauh di bawah sana anda sudah dapat melihat Lande atau Desa Gerak Makmur dari kejauhan, yang rata-rata hanya tampak rimbunan pucuk-pucuk pohon kelapa.
    Sekitar 5 Km turun penurunan, maka anda sudah dapat menjumpai pedusunan yang berjejer rapi di sepanjang pantai. Artinya, tibalah anda di lokasi yang dituju. Anda dapat langsung menujuk pantai pelabuhan dengan lapangan yang bertenda pohon kelapa, atau anda memilih istirahat di rumah-rumah penduduk.
     Kunjungan anda menjadi special bila perjalanan dilakukan pada bulan-bulan April hingga Juli, sebab pasca musim barat antara Nopember hingga Maret, dan menjelang musim timur Agustus - September.
 (sultan darampa)

BATU LOHE : Pelabuhan Dinasti Ming ?


Batu Lohe, yang berada pada pantai timur berpasir putih yang berada dalam Dusun Balang Butung, Desa Balang Butung, Kecamatan Buki Kabupaten Selayar Sulawesi Selatan, nyaris tak terdengar lagi, tak tercatat pula dalam dokumen perencanaan pengembangan kepariwisataan Dinas Pariwisata Kabupaten Selayar sebagai zona pengembangan.
    Padahal, Batu Lohe adalah sejarah panjang akan kemaritiman nusantara sejak zaman purba, hingga memasuki zaman pengusaan VOC yang “merajai” pelayaran tanah air kala itu, bahkan bukti lain adalah pahatan atau tulisan-tulisan beraksara Mandarin (China) yang diperkiran sudah ratusan tahun yang silam masih nampak kokoh.
     Ketika mengunjungi tempat ini, nyaris tak percaya ketika menyaksikan pahatan “hidup” itu seakan-seakan baru terjadi lima tahunan lalu. Memang secara akal membuat orang bertanya, siapa yang lagi iseng menulis pada dinding-dinding batu karang yang demikian kokohnya, bahkan kekuatan dinding alam itu seolah tak pernah menggubris hentakan gelombang yang setiap saat menyerbunya.
     Maka karena alasan itu pula, sehingga sebagian besar pengunjung pun berujar bahwa “tulisan” mandarin itu bukan sengaja dibuat oleh tangan-tangan terampil manusia, tetapi memang terjadi karena “buatan” alam itu sendiri.
     Alasannya, pada ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu, ketinggian rata-rata gelombang laut sangat besar, sehingga setiap hentakan ombak yang tak putus-putusnya itulah yang kemudian “melukiskan” huruf-huruf yang mirip sekali dengan sebuah tulisan atau kalimat dalam bahasa mandarin.
     Baiklah. Kalau itu memang salah satu dugaan yang kuat, tapi pertanyaannya kenapa hanya pada tempat (pada dinding) karang itu, yang kira-kira panjangnya hanya sekitar 2 – 3 meter, demikian juga dengan tinggi karang yang menjadi tempat melekatnya tulisan itu pula sekitar 4 meter. 
    Memang semuanya ini belum ada jawaban yang pasti, warga setempat juga belum pernah mendapat keterangan baik dari hasil penelitian, survey atau pun analisa geologi yang dapat memastikan keaslian tulisan mandarin itu dibuat oleh manusia atau buatan alam.
    Inilah yang menjadi misteri Batu Lohe yang hingga sekarang belum terungkap dengan jelas.  Tetapi bagi masyarakat Balang Butung itu bukan soal, apalagi selama ini mereka masih sering mendapati barang-barang kuno, termasuk guci , piring, gelas, dan aneka perabot antik yang bertuliskan mandarin pula yang ditemukan di dalam semak-semak atau di sekitar tempat itu.
   
Pelabuhan Transit
Menurut cerita tutur warga setempat dengan berdasarkan penuturan dari nenek moyang mereka, bahwa zaman dahulu Batu Lohe itu merupakan pelabuhan teramai yang menghubungkan antara Papua, Buton, Labuang Bajo, Larantuka (NTT) dengan Gowa – Makassar, Teluk Bone, Selat Banda, hingga Surabaya ataupun kota-kota lain di Sumatera.
     Pelabuhan ini pula sebagai kawasan perlindungan bagi para nelayan dan pelaut jika dalam perjalanannya mengarungi Samudra Hindia tiba-tiba diterjang badai topan. Menurut warga, mereka bahkan sering membuat pemukiman ataupun tenda-tenda darurat untuk menanti musim badai (musim barat dan timur) berlalu.  Setelah kedua musim tersebut reda, barulah para pelaut melanjutkan perjalanannya menuju ke tujuan masing-masing.
     Penuturan warga ini pun cukup beralasan, karena disisi kanan pantai pasir putih yang panjang sekitar 500 meter, merupakan kawasan palung, kedalamannya tak terkirakan sehingga airnya pun berwana birukehitam-hitaman. Sehingga dianggap cocok untuk bersandar kapal-kapal ukuran besar, utamanya kapal-kapal dengan daya angkut ratusan ton.
    Sedangkan pada zona pesisirnya, merupakan daerah yang sedikit landai, memang cocok untuk membuat perkemahan, dan lebih ke arah daratan lagi terdapat perkebunan kelapa yang sering kali digunakan para perekreasi untuk menikmati ikan bakar dengan air kelapa muda.
     Semakin ke dalam, maka gunung yang menjulang tinggi seolah-olah menjadi atap bagi orang-orang yang berteduh. Sebagian ekosistem gunung tersebut masih hutan perawan, atau hutan kenari dengan diameter kayu yang masih besar-besar, atau rata-rata dua hingga tiga pelukan orang dewasa.
    Jadi wilayah pelabuhan transit ini memang lengkap dengan 3 dimensi counturnya, ada perairan, pesisir atau daratannya, dan gunungnya yang menjulang tinggi.  Sehingga kebutuhan pun rasanya terpenuhi, ada ikan dan lobster yang dengan sangat mudah dipancing, ada daratan dengan menyiapkan sumber air tawar, serta ada bukit-bukit dan gunung-gunung yang menyiapkan lahan perkebunan jagung dan ubi.
     Sementara di sebelah kiri (utara) ada pula batu yang seolah-olah terpisah dari laut dan daratan. Orang Balang Butung menyebut batu feri, karena batu tersebut menyerupai bentuk kapal feri. Malah ada mitos yang berkembang bahwa sebenarnya itu bukan batu alam, tapi awalnya sebuah kapal besar kemudian terdampar dan mendapat kutukan akhirnya berobah menjadi batu.
     Batu kapal ini memiliki panjang sekitar 15 meter, diamternya 5 meter, tinggi 20-an meter. Setiap pelancong yang datang ke kawasan ini, belum lengkap rasanya kalau belum mendaki batu kapal ini. Dan dari atas ketinggian, dapat melihat daratan besar Sulawesi Selatan dengan warna kehijauan yang menyatu dengan khaki langit.
      Disebelah kiri batu kapal, dengan jarak sekitar 100 meter, disitulah terdapat tulisan mandarin yang hingga kini masih kokoh menantang setiap gelombang dan matahari pagi. Dan tak jauh dari dinding bertuliskan ini, juga disebelah kirinya (masuk ke daratan), merupakan kawasan yang subur dengan sumber air tawar.
      Dengan adanya sumber air tawar tersebut, maka semakin menguatkan dugaan bahwa kawasan Batu Lohe adalah pelabuhan transit masa silam para pelaut-pelaut nusantara. Pelabuhan badai, karena memang khusus digunakan jika menghindari badai atau musim barat dan timur.  Batu Lohe juga dapat disebut Pelabuhan Dinasti Ming, karena di dasar laut di depan pantai pasir itu diperkirakan sebuah kapal milik Dinas Ming China karam disitu sehingga setiap saat penduduk dapat memungut benda-benda berharga yang terbawa arus ombak ke pantai.  Apalagi diperkuat dengan adanya tulisan China yang melekat pada dinding karang.
    Semoga Batu Lohe juga menjadi pelabuhan hati bagi warga dan pemerintah Kabupaten Selayar, sehingga tempat bersejarah ini dapat lestari sepanjang abad. (sultan darampa – iknul fikly)

Rabu, 08 Februari 2012

EMANSIPASI WARGA BONTO MALLING

Proses perencanaan oleh warga akhirnya menjadi sangat penting, setelah menyusun rencana kerja pembangunan RKPDes, maka warga salah satu dusun di Desa Bonto Malling, Pulau Jampea, Kab.Selayar, langsung musyawarah untuk berswadaya (partisipatif dan emansipasi) dalam penyediaan air bersih bagi dusun mereka. Dimana selama ini selalu menunggu instruksi dari Pemdes, sekarang mereka sudah aktive kembali tanpa perlu mendapat perintah.

Dahulu kala, entah pada zaman apa, ekosistem tanjung disebelah tenggara Pulau Jampea terdapat  sebuah komunitas adat yang aktivitas utamanya adalah melaut sebagai pendapatan utama keluarga mereka. Kemudian komunitas ini ditetapkan sebagai “Kampong Tua”. Dari perkampungan inilah yang dianggap sebagai pemukiman tertua dan pertama-tama di Pulau Jampea yang saat ini sudah dimekarkan menjadi dua kecamatan 13 desa.  Dari kampong inilah juga saat ini dikenal sebagai Desa Bonto Malling.
     Menurut versi warga setempat, seiring dengan waktu komunitas kecil itu berkembang dan mulai merambah pedalaman dikarenakan aktifitas melaut mereka kadang terganggu oleh perubahan musim ekstrim setiap tahun, dimana terjadi penduduk mengalami paceklik, jangankan untuk hasil laut untuk dijual bahkan untuk di makan pun mereka sangat langka.
    Melihat kondisi tersebut, maka tampillah seorang lelaki tua dengan semangat dan kemauan yang besar untuk memecahkan tantangan yang dialami warga dan komunitasnya. Lelaki setengah baya itu bernama Papak Sipo. Ia kemudian mencoba memasuki kawasan hutan alam, meski itu dianggap angker dan penuh mistik. Tujuannya adalah mencoba bercocok tanam, sawah ladang, yang diasumsikannya sebagai solusi mengatasi badai musim ekstrem.
     Akhirnya, terbukalah kawasan hutan primer tersebut sebagai mata pencaharian penduduk setempat, walau pun mereka tetap bolak-balik antara sawah ladang mereka dengan pemukiman Kampong Tua. Melihat kondisi dan keseriusan Papak Sipo, maka kemudian anak dan istrinya-lah juga turut membantunya, termasuk setiap kali membawakan bekal makan siangnya.
     Setiap kali mau memasuki gerbang hutan, maka berteriaklah anak dan istrinya memanggil Papak Sipo, lau terdengarlah jawaban yang berdengung atau suara yang melingkar-lingkar memenuhi suasana hutan. Suara dengung inilah yang dikemudian hari dimonumentalkan sebagai nama tempat, yaitu Bonto Malling.
    Bonto yang artinya ketinggian, bukit atau gunung, yang merupakan areal atau kawasan bertani ladang, sedangkan Malling dalam bahasa Selayar-nya “dengung”. Maka hingga saat ini, kawasan yang dibuka Papak Sipo itu bernama Bonto Malling, yang kemudian menjadi Desa Bonto Malling.
    Sementara ketika zaman DI/TII, maka Bonto Malling merupakan basis lasykar dalam menghindari kejaran tentara republik.  Namun hingga kini, suasana desa yang terletak di pantai timur pulau Jampea tersebut terbentang potensi alam tiga dimensi, pegunungan dengan ekosistem hutannya yang masih tersisa, daratan dengan ekosistem sawah tadah hujan, serta ekosistem hutan bakau dengan pesisirnya yang juga menyediakan tambak-tambak masyarakat.
     Secara geografik, maka Bonto Malling terletak di sebelah utaranya Desa Bontobulaeng, di sebelah timur dan selatan Laut Flores dan disebelah barat adalah Desa Lembang Baji. Lus wilayah terdiri atas 14,47 Km2 dengan system pemerintahan terdiri atas 4 dusun, yakni Parang, Biropak, Parumaang dan Erelompa.
      Untuk mencapai desa ini membutuhkan waktu tempuh 6 – 7 jam perjalanan fery dari Benteng, ibukota Kabupaten Selayar menuju arah tenggara. Tiba di pelabuhan fery Pulau Jampea, juga Benteng namanya, membutuhkan 3 – 4 jam perjalanan motor. (sultan darampa)

BUTA HURUF : Jago Perencanaan


Tak ada kata terlambat bagi orang-orang yang ingin maju dan sukses dalam meraih cita-citanya. Tidak pula ada kata penyesalan atas kemunduran yang dialaminya selama ini. Prinsip inilah yang kemudian dialami seorang ibu rumah tangga, Bunga Rampe, warga Desa Bukit Timur Kecamatan Buki, Kabupaten Selayar.
     Berdasarkan data sensus social yang diperoleh, sang ibu termasuk salah satu warga yang tergolong sangat miskin dan juga buta huruf. Pada saat kegiatan sosialisasi Accsess di Desa Buki Timur, ia mulai aktif dan merasa sangat kaget ketika menerima undangan dari Kepala Desa dimana sebelumnya Bunga Rampe sama sekali tidak pernah diundang dalam pertemuan apapun di desa.
     Rassa bangga dan penasaran itulah yang kemudiaan menggerakkan hati dan perasaannya untuk melangkahkan kakinya ke tempat acara sosialisasi dilaksanakan. Kemudian rentetan kegiatan dikemudian hari juga tak pernah ketinggalan, termasuk temu warga soal peringkat kesejahteraan masyarakat (PKM). Malah ia sering bercerita, utamanya soal kreteria siapa yang kaya, sedang, miskin dan sangat miskin.
    Cerita dan argumentasi-argmentasi sang ibu itu tertuang dalam bentuk visual, atau gambar-gambar pada kertas plano. Melihat apreasitf tersebut, ada juga peserta yang cukup geli, apalagi peserta lain yang sudah “kenyang dengan bangku sekolahan”. Dengan mengandalkan pendengarannya, ia menyimak sejumlah penyampaian dan penjelasan tujuan-tujuan diadakannya kegiatan ini.
     Ia sebenarnya memang melek, tapi dia tidak mengerti jenis-jenis huruf bahasa Indonesia. Yang dia mengerti adalah bagaimana gambar-gambar tersebut, apalagi kalau gambar-gambar tersebut berkaitan dengan kesehariannya.
     Ketika diminta bagaimana menggambarkan alur kehidupannya beserta keluarganya, atau dalam bahasa programnya adalah apresiatif ingquiry, atau merumuskan mimpi dan cita-cita desa, kembali terlihat gambar lingkaran yang mengibaratkan suatu pola relasi dalam kehidupan.
    Suatu ketika, Bunga Rampe bercerita, ia datang ke Baruga Kantor Desa Buki Timur untuk ikut dalam kegiatan Pemetan Asset. Waktu itu hari masih pagi sekali ketika mendapat undangan tertulis dari pihak Kantor Desa. Untungnya si-pembawa undangan memperingatkan sambil berlalu dari depan rumahnya bahwa pertemuannya sebentar sore.
     Tapi anehnya, setelah berjalan beberapa lama dan sudah tiba di tujuan, di kantor desa. Ia mulai bingung, kenapa kantor ini sunyi senyap, tidak orang biar satupun. Ia dilanda kebingungan, malah ia berpikir jangan sampai terlalu cepat dapat. Akhirnya menunggu beberapa waktu lamanya, dan kegelisahannya tidak dapat ditahannya lagi. 
     Terpaksa mengambil inisiatif, pergi ke rumah Nur Wahidah (salah seorang KPM), untuk menanyakan kembali soal rencana (agenda rapat). Sesampai di rumah KPM, baru tersadar bahwa pertemuannya dilaksanakan di salah satu rumah KPM. Akibat salah ingat tempat kegiatan, ia  menjadi bahan tertawaan, karena ternyata undangan yang diterimanya tidak bisa dibacanya.
     “Saya juga baru tahu kalau isi undangan itu tertera alamat atau tempat pertemuan. Tapi saya tidak salahkan pak desa, atau orang yang mengundang, dan mudah-mudahan lain kali saya mendapat undangan dengan cara istimewa, tidak perlu pakai surat segala nanti bikin repot semua orang,” katanya sambil tertawa.
    Kondisi buta huraf yang disandangnya ternyata tidak dianggap kekurangannya, malah dianggap suatu kebanggaan. Alasannya, “seandainya saya tidak buta huruf, mungkin tidak pernah saya mendapatkan tempat istimewa di dalam rapat-rapat di kantor desa ini,” kata Bunga Rampe yang profesi kesehariannya seorang dukun beranak, juga berprofesi sebagai pengrajin atau pembuat keranjang bambu. (sultan darampa)