SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Sabtu, 10 September 2011

Ulla : Komunitas Adat Kampung Durian


Menongok komunitas adat Ulla yang terletak di jantung gugusan dataran tinggi Bowonglangit Teluk Bone, Desa Mattirowalie, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, tentu tidaklah mudah. Sepanjang perjalanan yang jaraknya sekitar 30 Km dari poros Bone – Sinjai, memang tergolong jarak yang sangat pendek, tapi untuk mencapainya butuh energi yang prima, karena hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki, atau dengan motor.

Motornya pun harus yang terbiasa untuk perjalanan berat, karena selain jalan tanah, apalagi kalau musim penghujan, juga adalah batu-batu gelondongan yang menghadang di atas kepala, belum lagi countur jalan yang membelah puncak-puncak gugusan bukit. Tergelincir sedikit pun, ngarai pun sudah mengangga pada kedalaman 200 hingga 300 meter di dasar jurang.

Dengan jarak tempuh normal sekitar 3 – 4 jam perjalanan naik motor, akhirnya rombongan sampai di Kampung Ulla, dimana sebuah perkampungan adat yang dihuni para nenek moyang ratusan tahun silam. Bahkan hingga kini tapak-tapak perkampungan ini masih menyisahkan ribuan cerita dan sejarah masa lalu.

Tapak-tapak yang masih sangat jelas adalah tumbuhnya pohon durian yang sudah berusia lebih dari seratus tahun, dimana para penduduk setempat, rata-rata mewarisi 3 – 7 pohon durian perkepala keluarga. Batangnya pun tak tanggung-tanggung, berdiameter sepelukan 2 – 3 lingkar tangan orang dewasa.

Menurut kepala Dusun Ulla, Puang, bahwa Ulla adalah saksi sejarah perjalanan Sulawesi yang panjang, utamanya soal kampung ini adalah markas utama DI / TII sector selatan, momok putih, pasukan elit Kahar Muzakkar untuk Kowilham selatan-selatan dibawah pimpinan Bahar Mattaliu.

Setelah masa damai pasca DI / TII dan Gestapu PKI, kampung ini tetap berpenghuni dan hidup damai secara turun-temurun, dimana penduduknya mengabaikan seruan pemerintah republik untuk turun membuat perkampungan baru sepanjang poros Bone – Sinjai.

Sayangnya, karena perkampungan, bahkan wilayah administrasi Desa Mattirowalie, adalah kawasan hutan lindung. Penetapan ini memang sangat disayangkan masyarakat, karena menurutnya, mereka telah menghuni kampung-kampung sepanjang gugusan dataran tinggi Bowonglangit ini semasih pemerintahan Kerajaan Bone, atau sebelum pemerintahan RI terbentuk.

“Kami lebih tua daripada Negara kami yang sangat kami cintai ini, tetapi berpuluh tahun, kami nyaris tidak mendapat perhatian,” katanya. Dan satu-satunya katanya bantuan pemerintah adalah untuk perintasan jalan tanah, tapi itu pun bantuannya tidak datang, sehingga masyarakat terpaksa harus berswadaya untuk menyewa alat berat (mobil dozer) sehingga isolasi yang sudah ratusan tahun mengungkungnya sudah dapat ditembus dengan motor.

Dengan motor ini, hasil-hasil bumi bagi petani Ulla tidaklah diangkut dengan pikulan, menjinjing atau dengan kuda hingga harus bermalam minimal satu malam untuk mencapai pasar kecamatan. “Kami secara turun-temurun menghidupi diri dengan hasil jualan gula merah dan durian. Dari hasil itu, lalu kami beli beras,” Ny.Bunga, yang hanya tammatan pendidikan dasar ini.

Sang ibu rumah tangga ini pun bercerita, sebenarnya kehidupannya tidak terlalu memprihatinkan, meskipun beli beras seandainya jalan yang menghubungkan kampungnya dengan kampung-kampung di lainnya sudah dapat terjangkau dengan baik, karena hanya dengan sistem ojek saja, petani sudah dapat menikmati hasil penjualan durian dan gula merahnya.

Jadi meski masa-masa sulit masih terus bergelayut pada penghidupan masyarakat adat ini, tetapi mereka tetap optimis bahwa suatu waktu nanti “masa cerah” itu akan datang. Optimisme ini pun digantungkan pada pemerintah setempat.