SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Kamis, 27 Oktober 2011

ULLA : Kuburan Hindu dan Kremasi Mayat (sesi I)


Kuburan tua yang diperkirakan masih zaman hindu yang terletak di Komunitas Adat Ulla. Komunitas ini juga masih memelihara dan menjaga makam tersebut.
Gambar kedua adalah kawasan PATTUNUANG. Disini dulu tempat yang dizakralkan untuk pembakaran mayat (dikremasi) masih zaman sekitar sebelum Islam masuk di Kerajaan Bone-Sulsel.  

Ulla yang terletak di Desa Mattirowalie, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan adalah komunitas adat yang masih kuat mempertahankan tradisi dan kebiasaan nenek moyangnya masa silang. Selain masih melestarikan ritualnya, juga secara turun-temurun mengelola sumber daya alamnya berdasarkan tata cara melalui hukum adat yang mereka anut secara ketat pula.

Untuk mencapai komunitas local ini, membutuhkan waktu 5 – 6 jam dari Ibukota Kabupaten Bone, Watampone, dengan kendaraan roda dua.

Ulla tidak diketahui pasti kemunculannya, tapi dari berbagai versi, kata ulla sendiri diambil dari “ular”. Artinya awalnya kampung atau ekosistem, ataupun komunitas tersebut dinamai Ulla karena di daerah itu memiliki banyak sekali ular, sehingga dalam perjalanannya orang-orang Ulla dan keturunannya tidak dibolehkan membunuh ular, malah “dipimmalikan” menyebut nama ular, tapi tentu dengan istilah lain.

Komunitas ini masih dijumpai bukti-bukti sejarah masa silam, utamanya alam dan benda-benda yang tak bergerak lainnya, diantaranya adalah :

Pattunuang. Tempat ini dikhususkan untuk tempat kremasi, dimana orang-orang ulla tempo dulu, kira-kira masih zaman batu, ketika sudah meninggal, mayatnya langsung di bakar pada satu tempat.

Kata Pattunuang itu berkosa kata, tunu dan awal Pa dan akhiran ang, dimana kata tunu diartikan bakar, dan awal Pa dan akhiran ang itu, adalah kata bantu yang menunjukkan keterangan tempat. Jadi pengertian Pattunuang adalah tempat membakar, dank arena tempat ini telah disakralkan secara turun-temurun, maka Pattunuang itu dipercaya sebagai tempat me-kremasi mayat-mayat anggota komunitas yang telah meninggal.

Berdasarkan cerita turun-temurun warga Ulla, pernah suatu ketika ada seorang warganya, diperkirakan salah seorang pemimpin komunitasnya, ketika sudah meninggal mau dikremasi di Pattunuang.  Tetapi setelah berlangsungnya pembakaran, dan kemudian didiamkan beberapa hari lamanya, ternyata mayat tersebut tidak hangus oleh api. Akibat peristiwa tersebut, maka ritual ini diulangi beberapa kali ternyata hasilnya tetap sama, mayat tetap tidak tersentuh oleh opi, tetap utuh dan sama sekali tidak rusak.  Berdasarkan perisitwa ritual tersebut, maka akhirnya kesepakatan adat diputuskan bahwa mayat tersebut sebaiknya di kuburkan, dan sejak saat itu, kemudian masyarakat mulai mengenal istilah penguburan bagi warga komunitas yang sudah meninggal.
   
Kuburan kuno (sebuah kuburan kuno yang bentuknya menghadap ke barat). Kuburan ini diindikasikan masih zaman hindu kuno, dan berdasarkan berbagai literature  yang ada bahwa jika bentuk kuburan tersebut menandakan masyarakatnya sudah mengenal istilah agama dan kepercayaan, jadi bukan lagi animisme yang mempercayai pohon, matahari atau lainnya sebagai sesembahan utama. 

Batu nisan pada kuburan tua ini berwarna merah, kelihatan sangat kuat, seolah-olah tidak lapuk oleh zaman, sementara ukuran kuburan ini lebih besar dari ukuran rata-rata kubur manusia Indonesia, lebih panjang, sehingga masyarakat mempercayainya bahwa sang mayat memiliki postur tubuh yang lebih tinggi atau besar.

Sayangnya, kuburan ini tidak dilengkapi dengan artepak atau bukti-bukti sejarah dalam bentuk lain, dan di batu nisan tersebut, tidak tertulis ataupun petunjuk yang dapat dijadikan pegangan pada tahun ke berapa atau pada zaman ke berapa kuburan ini dibuat.

Mattiro Sompe.
Sebuah puncak yang untuk melihat seluruh dataran-dataran, ataupun lembah-lembah yang ada di sekitarnya, malah dapat memandang pantai dan samudra, utamanya di Malam hari. Penamaan Mattiro Sompe itu diawali ketika kepala adat Ulla mengejar rombongan penculik yang membawa lari anak gadisnya, dimana pada puncak tersebut mereka (rombongan pengejar) ini berhenti, dan memandang kapal penculik telah berlayar. Mattiro diartikan sebagai memandang (melihat) dari jauh, sompe artinya orang yang pergi merantau, atau sompe juga diartikan layar kapal yang telah dibentangkan (pengganti mesin kapal).

Disinilah kepala adat bersumpah bahwa dengan penculikan tersebut tidak akan pernah lagi ada gadis yang lahir di Ulla dengan kecantikan yang luar biasa. Sumpah ini lahir karena sikap angkara sang pimpinan adat yang kecewa lantaran kecantikan anaknya yang dianggap menyerupai bidadari itu merupakan sumber bencana, diculik, di bawa lari. Sumpah ini konon sangat bertula, pada satu dasawarsa tertentu, setiap anak perempuan yang lahir dengan kecantikan yang luar biasa, pasti dalam waktu dekat meninggal, tidak ada yang panjang umur.(bersambung - sultan darampa)

Kamis, 29 September 2011

Tonrong, Komunitas Adat Penghasil Gula (2)


Kedatangan kami beserta rombongan di tengah malam buta di kawasan pegunungan dingin mencekam itu, mengundang kekagetan para tuan rumah, termasuk tetangga yang sempat mendengar “keributan” kedatangan rombongan.

Hanya kelihatannya Pak Kadus saja yang tidak terlalu kaget, karena sudah dihubungi sebelumnya oleh Dg Tiro, salah seorang CO Sulawesi Channel di Kabupaten Sinjai. Meski demikian, ia juga tidak menduga akan kedatangan kami seperti “datang tak diundang, pulang tak diantar”.

Setelah menghidup air panas, teh hangat pada menjelang tengah malam. Akhirnya Dg.Tiro menjelaskan kedatangan kami, sekaligus membuat alasan-alasan realistis kenapa rombongan ini terlambat. Muh.Arfah, yang juga Campaigner Sulawesi Channel di Kawasan Bowonglangi, menambahkan, bahwa kedatanganku bersama seorang kawan, yang tiba-tiba muncul di rumahnya di Tanah Lembang, sebuah desa berpenduduk ramai yang menghubungan antara Torong dengan jalur lintas Kabupaten Gowa – Kabupaten Sinjai.

Dengan sedikit basah kuyub, saya menjelaskan, kenapa kami berdua datang tanpa mengontak sebelumnya. Saya pun berkilah, memang begitulah karakter kami, laksana hantu yang dapat muncul di tempat yang berbeda, (baca : konyol).

Kembali, di hadapan Pak Kadus, saya mengakui keterlambatan untuk menfasilitasi dusun ini didalam pengorganisasian rakyat, karena berbagai alasan dan teknis. Dimana memang sebelumnya, justru Pak Kadus yang mengharapkan kedatangan rombongan.

Tapi sempat juga terjadi penjelasan yang panjang dan lebar, malah lebar sekali, karena kedatangan kami dikira membawa peti bantuan, atau gerobak proyek, seperti PNPM, atau program-program lainnya. Saya pun menjelaskan, jangan program atau proyek, kedatanganku pun hampir tidak mampu sampai, karena bekal perjalananku, yang berupa uang pembeli bensin juga nyaris tidak mencukupi, jadi apalagi mau membawa bantuan.

He he he,…dengan kondisi ini, nyaris warga dusun tidak percaya, apalagi tampang kami sedikit lebih jumawa, lebih sejahtera,…memang kalau melihat dari tampang sih, kayaknya memang banyak konglomerat yang kalah telak.

Tapi bicara soal kantong,…maaf, blong.

Setelah penjelasan berliku-liku, penduduk pun mengerti, selain mengerti niat baik kami, juga dapat memaklumi bahwa rombongan kami datang tidak untuk minta sumbangan, apalagi kalau mau pulang tentu tidak berharap membawa hasil-hasil bumi, seperti cengkeh, kopi, atau beras.

Kecuali kami dibekali dengan perasaan gembira, perasaan harapan bagi penduduk, dan tentu juga membawa dua kardus gula merah yang hamper tujuh kiloan. Saya pun sebenarnya pura-pura menolak, alasan tidak perlu,….meski sebenarnya pikiranku sangat mengharap,…karena siapa yang mau kasih kita gula mera secara gratis, lagian penduduk setempat kalau bicara soal gura merah tentu mereka sangat berlebihan, malah surplus, karena memang itulah penghidupan utama bagi mereka, malah sudah terjadi secara turun-temurun.

Dengan pura-pura sok suci, saya berkomentar, janganlah ibu-ibu membiasakan diri menyogok kami gula merah kalau mau pulang, karena tentu saya sangat berat datang kembali, karena jangan-jangan kedatanganku justru karena mengharap imbalan.

Tapi dia lantas menjawab, jangan engkau tolak pemberian penduduk kampung ini, karena itu bagian dari sebuah skenario penghinaan terhadap warga setempat. Alhasil, saya pun menerima denganya riang gembira, dengan mimpi-mimpi ketika sampai nanti di rumah, tentu istriku akan segera membuat kue agar-agar yang merupakan makanan mewah bagi saya dan anak-anakku.

Itulah Tonrong, sketsa wajah pedusunan yang lestari, dengan masyarakat yang ramah dan tenteram,…(sultan darampa*) 

Senin, 26 September 2011

Tonrong, Komunitas Adat Penghasil Gula (1)


Pedusunan Tonrong yang terletak di perbatasan Sinjai – Bone, di Desa Terasa, Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai – Sulawesi Selatan, merupakan pedukuhan yang memiliki sejarah panjang, dengan penghuni pertama sejak zaman Puangta ri Terasa masih memerintah, kemudian dilanjutkan di zaman pergolakan Di/TII hingga zaman modern seperti sekarang ini.

Dari sekian dekade tersebut, penghidupan komunitas adat Tonrong pun tidak pernah bergeser, meski memang juga terus mengikuti perkembangan, utamanya soal politik tanaman pangan. Jadi kondisinya saat ini, selain masih menggeluti penghasilan gula aren, juga mereka telah berhasil menanam cengkeh, kakao, kopi dan aneka tanaman tahunan lainnya.

 Star dari Makassar dengan menggunakan roda dua, sekitar jam 04.00 subuh melalui rute Makassar – Malino – Tondong (Sinjai). Tiba di Manipi sekitar jam 11.00 siang, dimana sebelumnya transit di kawasan wisata Pinus Malino, menikmati  mie isntansi dan gogos, setela hujan agak reda, kemudian melanjutkan perjalanan dengan potong kompas Kanreapia – Manipi.

Dari Manipi, ibukota Kecamatan Sinjai Barat, sekitar 10 Km kearah timur. Lalu berbelok ke utara (kiri), memasuki Arango, dan dari Arango secara perlahan menembus sekatan-sekatan pegunungan terjal yang merupakan batas Sinjai – Gowa.

Dari Arango, lalu terus ke utara hingga memasuki Desa Bontosalama, yaitu Tanah Lembang. Dari ibukota desa ini, berbelok ke arah timur, (setelah melewati pasar desa dan disamping lapangan), karena beberapa berhenti, maka saya mencapai Tanah Lembang sekitar jam 07.00 malam. Sesudah beristirahat di rumah salah seorang tokoh pemuda disitu, Arfah Cakkari, dengan hujan yang gerimis, maka perjalanan dilanjutkan ke Turunan Baji.

Turunan Baji adalah sebuah perkampungan tua, yang istilah adatnya adalah Soppeng, dan tiba di rumah kawan, Dg.Tiro, yang juga adalah Fasilitator Sulawesi Channel bersama Arfah, sekitar jam 07.30 wita. Setelah mendapat suguhan teh hangat, maka perjalanan motor dilanjutkan hingga diujung perkampungan.

Dari ujung Turunan Baji, perjalanan dilanjutkan dengan kedua tungkai kaki yang sudah mulai loyo, apalagi seharian diguyur hujan, tapi karena semangat ’45, maka ayunan kakipun diteruskan diantara kelamnya malam, dan kelamnya hutan-hutan rakyat.

Lepas hutan-hutan rakyat, saya bersama 3 kawan lain, memasuki hamparan persawahan, dengan hanya mengandalkan lampu HP, kami terus menyusuri pematang-pematang mungil (ciri persawahan di dataran tinggi).

Entah sudah berapa lama melangkah sambil menghindari terjangan anjing-anjing liar yang terus mengaung menengkas suara air deras DAS Tangka / Tanggara’. Dan setelah memastikan diri tiba di pinggiran sungai, maka kami menyeberangi jembatan gantung yang baru saja dibangun masyarakat atas pembiayaan dari proyek PISEW-PNPM.    

Lepas jembatan gantung yang sekitar 80 meter panjangnya itu, kami dihadang pendakian yang sangat panjang (bagi ukuran kami). Saya pun ngos-ngosan, apalagi tidak ada persiapan pemanasan sewaktu masih di Makassar.

Saya tertinggal cukup jauh di belakang, karena berbekal kerel / rangsel dengan peralatan pelatihan, sehingga tidak mampu mengejar kawan-kawan, apalagi factor usia yang memang sangat menentukan daya tahan perjalanan. Karena rasa kepedulian yang tinggi, ransel terpaksa dioper kawan lain.

Alhamdhulillah, sekitar 30 menit kemudian, sekitar pukul 10.30 malam, kami mendapat sambutan yang sangat meriah, yaitu gonggongan anjing dari rumah ke rumah. Sambutan ini justru menambah semangat kami melanjutkan langkah membela pedukuhan itu.

Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah Kepala Dusun Tonrong, Syarifuddin, yang terletak di tengah-tengah perkampungan. (sultan darampa)

Sabtu, 10 September 2011

Ulla : Komunitas Adat Kampung Durian


Menongok komunitas adat Ulla yang terletak di jantung gugusan dataran tinggi Bowonglangit Teluk Bone, Desa Mattirowalie, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, tentu tidaklah mudah. Sepanjang perjalanan yang jaraknya sekitar 30 Km dari poros Bone – Sinjai, memang tergolong jarak yang sangat pendek, tapi untuk mencapainya butuh energi yang prima, karena hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki, atau dengan motor.

Motornya pun harus yang terbiasa untuk perjalanan berat, karena selain jalan tanah, apalagi kalau musim penghujan, juga adalah batu-batu gelondongan yang menghadang di atas kepala, belum lagi countur jalan yang membelah puncak-puncak gugusan bukit. Tergelincir sedikit pun, ngarai pun sudah mengangga pada kedalaman 200 hingga 300 meter di dasar jurang.

Dengan jarak tempuh normal sekitar 3 – 4 jam perjalanan naik motor, akhirnya rombongan sampai di Kampung Ulla, dimana sebuah perkampungan adat yang dihuni para nenek moyang ratusan tahun silam. Bahkan hingga kini tapak-tapak perkampungan ini masih menyisahkan ribuan cerita dan sejarah masa lalu.

Tapak-tapak yang masih sangat jelas adalah tumbuhnya pohon durian yang sudah berusia lebih dari seratus tahun, dimana para penduduk setempat, rata-rata mewarisi 3 – 7 pohon durian perkepala keluarga. Batangnya pun tak tanggung-tanggung, berdiameter sepelukan 2 – 3 lingkar tangan orang dewasa.

Menurut kepala Dusun Ulla, Puang, bahwa Ulla adalah saksi sejarah perjalanan Sulawesi yang panjang, utamanya soal kampung ini adalah markas utama DI / TII sector selatan, momok putih, pasukan elit Kahar Muzakkar untuk Kowilham selatan-selatan dibawah pimpinan Bahar Mattaliu.

Setelah masa damai pasca DI / TII dan Gestapu PKI, kampung ini tetap berpenghuni dan hidup damai secara turun-temurun, dimana penduduknya mengabaikan seruan pemerintah republik untuk turun membuat perkampungan baru sepanjang poros Bone – Sinjai.

Sayangnya, karena perkampungan, bahkan wilayah administrasi Desa Mattirowalie, adalah kawasan hutan lindung. Penetapan ini memang sangat disayangkan masyarakat, karena menurutnya, mereka telah menghuni kampung-kampung sepanjang gugusan dataran tinggi Bowonglangit ini semasih pemerintahan Kerajaan Bone, atau sebelum pemerintahan RI terbentuk.

“Kami lebih tua daripada Negara kami yang sangat kami cintai ini, tetapi berpuluh tahun, kami nyaris tidak mendapat perhatian,” katanya. Dan satu-satunya katanya bantuan pemerintah adalah untuk perintasan jalan tanah, tapi itu pun bantuannya tidak datang, sehingga masyarakat terpaksa harus berswadaya untuk menyewa alat berat (mobil dozer) sehingga isolasi yang sudah ratusan tahun mengungkungnya sudah dapat ditembus dengan motor.

Dengan motor ini, hasil-hasil bumi bagi petani Ulla tidaklah diangkut dengan pikulan, menjinjing atau dengan kuda hingga harus bermalam minimal satu malam untuk mencapai pasar kecamatan. “Kami secara turun-temurun menghidupi diri dengan hasil jualan gula merah dan durian. Dari hasil itu, lalu kami beli beras,” Ny.Bunga, yang hanya tammatan pendidikan dasar ini.

Sang ibu rumah tangga ini pun bercerita, sebenarnya kehidupannya tidak terlalu memprihatinkan, meskipun beli beras seandainya jalan yang menghubungkan kampungnya dengan kampung-kampung di lainnya sudah dapat terjangkau dengan baik, karena hanya dengan sistem ojek saja, petani sudah dapat menikmati hasil penjualan durian dan gula merahnya.

Jadi meski masa-masa sulit masih terus bergelayut pada penghidupan masyarakat adat ini, tetapi mereka tetap optimis bahwa suatu waktu nanti “masa cerah” itu akan datang. Optimisme ini pun digantungkan pada pemerintah setempat.

Sabtu, 09 Juli 2011

Ribuan Warga Sambut Jambore Kader Perencanaan


Pameran dan Jambore Kader Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif yang digelar di Desa Julubori Kecamatan Palangga Kab.Gowa - Sulsel

Makassar, (KBSC).

Warga Desa Julubori Kecamatan Palangga Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan berinisitif untuk menggelar “jambore kader perencanaan penganggaran partisipatif”. Inisiatif ini bersambut dengan dukungan dari Pemerintah Desa Julubori, Yayasan WaKIL, ACCESS Phase II dan Pemerintah Kabupaten Gowa. Ribuan warga desa, termasuk dari warga desa tetangga memadati perkampungan Dusun Borong Bilalang Desa Julubori.

Jambore yang dilengkapi dengan pameran dari 26 desa di Kabupaten Gowa juga turut dihadiri berbagai kalangan, selain pemerintah, juga datang dari aktivis LSM dan media. Peserta utama yaitu 120 orang dari desa-desa di kabupaten, seluruh pemerintahan desa, pemerintahan kecamatan, SKPD Kab.Gowa, dan unsure-unsur lain.

Jambore ini juga menampilkan berbagai inovasi dan kreasi dari warga dan organisasi warga, termasuk kelompok tani, kelompok tani hutan, kelompok ternak, kelompok pengrajin kue dan anyaman, termasuk kelompok simpan pinjam perempuan yang mendapatkan dana hibah dari program PNPM, PKK, LKMD,BPD, karang  taruna, koperasi, remaja masjid dan organisasi rakyat lainnya.

Dari sekian banyak kreasi yang dipamerkan, diantaranya adalah “kopi tuak”, sebuah menu racikan dari warga dan kader-kader pemberdayaan masyarakat dari Desa Parigi Kecamatan Tinggimoncong. Selama ini, menurut Fasilitatornya M.Natsir Dg.Tola, bahwa masyarakat Parigi sebenarnya sudah lama menggunakan menu-menu tersebut diatas, bahkan dulu, belum dikenal banyak gula pasir, dimana masyarakat minum kopi menggunakan gula aren.

Caranya, adalah menghidangkan air panas dengan seduhan kopi hitam, lalu disamping gelas itu disiapkan juga potongan-potongan kecil gula aren. Jadi ketika kita menkonsumsinya, yaitu langsung minum kopi pahitnya (seperti biasa minum air putih), lalu cepat-cepat masukkan gula aren tersebut ke dalam mulut, sehingga kopi dan gula aren nanti bercampurnya di tenggorokan.

Tapi alhasil, dengan seringnya warga berkumpul dan berdiskusi, yang selama ini intens membuat perencanaan pembangunan di desa, mereka bersepakat bagaimana kalau proses pembuatan gula merah itu tidak semuanya jadi gula merah, tapi ketika cairan dari air nirah itu mulai mendidih, ketika warnanya sudah mulai putih keruh, maka air nirah tersebut diangkat, lalu didinginkan.

Nah, karena prosesnya setengah matang, antara air nirah asli  dan belum jadi kristal atau air mengental, maka rasa dan baunya masih sangat kental. Jadi dengan air setengah jadi gula ini kemudian itu nantinya dicampurkan dalam kopi pahit, dimana air nirah dan kopinya dimasak secara bersama-sama sampai mendidih. Rasanya, mak nyos,…

Kopi tuak ini juga dirasakan oleh sejumlah pengunjung pameran dan jambore, malah Bupati Gowa yang diwakili Asisten I Pemkab Gowa sewaktu usai membuka acara tersebut, sempat melihat proses pembuatan kopi tuak itu. Dg Tola mengakui, kopi tuak ini sudah diurus perizinan hak patennya. (sultan darampa) 

Selasa, 28 Juni 2011

ANGGOTA BPD : Kader dan Politisi Perempuan Perencanaan Partisipatif

Politisi perempuan. Panggilan ini karena dia satu-satunya anggota BPD dari 11 anggota BPD Desa Julubori, dan sepanjang pemerintahan Desa Julubori untuk pertama kalinya diduduki oleh kaum perempuan.

Ia memang bukan orator ulung, ia juga bukan singa betina panggung, ia juga tidak piawai dalam menyusun kata-kata dan argumentasi. Karena ia tidak pernah didik untuk menjadi politisi, tapi karena cita-citanya untuk mendorong dan mengangkat perempuan-perempuan Desa Julubori untuk berperan, membantu sang suami-suami agar kehidupan ekonomi rumah tangga menjadi semakin baik.

Itulah Mantasia Dg Bollo, perempuan single parent yang tinggal di Desa Julubori telah menyumbangkan hidupnya bagi aktivitas sosial di desanya, tak ada pertemuan-pertemuan tingkat desa yang tak akan diikutinya, dan tak ada pula organisasi-organisasi di desa yang tak ikut didalamnya. Tujuannya, agar semua itu, ada perempuan-perempuan yang terlibat aktive dalam kegiatan sosial di desa, juga agar setiap organisasi di desa harus ada keterwakilan perempuan.

Dg Bollo bermimpi ke depan, agar tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah karena ketidakmampuan orang tuanya menyekolahkannya, apalagi sekarang pendidikan di Gowa gratis.  Meski gratis, tapi transport dan kebutuhan lain tetap menjadi tanggungjawab orang tua, sehingga masih banyak dijumpai anak-anak putus sekolah di desanya.

Dia juga mengharapkan agar peremuan-perempuan mendapat pendidikan keterampilan, misalnya keterampilan menjahit, keterampilan mendaur ulang sampah menjadi bahan tas, atau aksesoris lainnya, juga kemampuan bagi perempuan untuk membuat anyaman-anyaman.

Bagi Dg.Bollo, ia terus bekerja bagi desanya, dan meminta kepada pemerintah desa agar setiap program-program dibuka secara bersama-sama, dirapatkan atau dimuasyawarakan, sehingga roda pemerintahan Desa Julubori berjalan ke arah yang lebih optimal.

“Untuk pertama kalinya Kades Julubori telah melibatkan semua unsur dalam pengambilan keputusan bagi pemerintahan desa. Kita selalu bersama-sama mengambil keputusan, jadi kekuatan Desa Julubori terletak pada warga yang dilimpahkan (dimandatori, red) melalui BPD, lembaga-lembaga desa dan organisasi-organisasi desa,” ungkap Dg. Bollo.

Ia juga mengharapkan ke depan, agar inisiatif peraturan-peraturan (regulasi red), mendapatkan bimbingan atau pelatihan dari luar, sehingga aparatur desa dan segala sistem penyokongnya dapat mengetahui dengan baik pembuatan peraturan atau regulasi yang ada di desa.  

*********
Mantasia yang akrab dipanggil Dg Bollo,adalah perempuan yang ulet, tanpa dukungan suami,  ia terus bekerja untuk menghidupi orang tuanya, adik-adiknya dan keluarga lainnya.  Jadi setiap hari Dg Bollog berada di warung daruratnya jika tidak ada kegiatan-kegiatan di desanya.

Sejak awal, kira-kira tahun 1988, Dg Bollo sudah ikut aktif terlibat di dalam PPK, waktu itu Dg Bollo masih sekolah, SMA. Kemudian setelah tammat, juga masih aktif di Pos Yandu. Pada Pos Yandu sebagai ketua pos, maka tugas-tugas kesehariannya adalah menimbang bayi. Ini dilakukan semata-mata pengabdian sosial, karena baginya soal honor atau gaji tidak terlalu dipersoalkannya, karena dia sendiri punya jualan-jualan kecil, meskipun itu omsetnya sangat kecil.

Membantu kaum ibu-ibu dalam pelayanan kesehatan, baginya sudah merupakan kesenangan tersendiri,hal ini dapat dibuktikan ketika ada kegiatan pos yandu yang merupakan bagian dari program strategis desa, maka terpaksa harus meninggalkan kegiatan jualannya.

Kesuksesan di pos yandu, mengantar Dg Bollo, (perempuan yang katanya ketakutan menikah, karena teman-temannya banyak punya pengalaman gagal dalam mempertahankan keluarganya, alias cerai), dipercaya memimpin kelompok SPP (simpan pinjam khusus perempuan, sebuah program dari PNPM).

Dengan SPP ini, maka kekuatan ekonomi warga terus bergerak, malah SPP ini semakin membuat warga, utamanya anggota kelompok selain mendapatkan penambahan modal kerja, atau modal jualan, juga sudah dana simpanan bersama.

Prestasi Dg Bollo di SPP ini semakin mengantar masyarakat untuk membangun dirinya, termasuk membangun ekonomi keluarganya, dengan pengembangan usaha-usaha alternatif bagi ibu-ibu desa.

Kemudian atas kesepakatan bersama, Kades Julubori Muhammad Ansar, telah meminta agar seluruh kelompok-kelompok mempersiapkan kelengkapan organisasinya kelompoknya, karena akan mengelola ternak unggas secara bersama-sama. Ternak unggas ini atas inisiatif warga yang selama ini telah beternak dengan baik, apalagi adanya dukungan sumber daya alam, tetapi hanya dikelola secara berorangan.

Dengan tenak itik dan ayam kampung ini, maka bentuk pengelolaannya diatur oleh masing-masing kelompok. Makanya, setiap ketua kelompok, termasuk Mantasia sebagai Ketua Kelompok II Program Keluarga Harapan (PKH) Departemen Sosial, juga akan mengelola ternak itik atau ayam kampung. (sultan darampa)

Rabu, 22 Juni 2011

BINTANG : PERUBAHAN Jual Nasi Sambil Fasilitasi Kelompok

Nanang Ikrani adalah seorang ibu yang usia 25-an tahun dengan anak dua orang. Sehari-hari bergelut dengan demi pemenuhan ekonomi keluarga, dengan menghidupi 3 orang anggota keluarganya, yaitu dua orang anaknya dan seorang adiknya.

Kehidupan Nanang terasa sangat berat, apalagi untuk kebutuhan biaya pendidikan anak-anaknya. “Saya membesarkan anak-anakku tanpa suami, dimana suamiku meninggalkan saya sejak delapan tahun yang lalu,” katanya sambil mengenang masa lalu.

 Untungnya Nanang mendapatkan sokongan dari program Dinas Sosial melalui program keluarga harapan (PKH). Dalam PKH ini Ibu dua orang anak ini akhirnya lambat-laun kebutuhan ekonomi keluarga secara berlahan mulai teratasi, meski tidak secara keseluruhan.

Ditengah jeratan ekonomi keluarga, Janda muda ini juga mulai melirik kegiatan-kegiatan sosial di desanya, pada awalnya ia ikut program PKH atas nama orang tuanya, karena orang tuanya sudah meninggal, maka ia menjadi ahli waris dari bantuan Depsos tersebut, apalagi memang Ibu Nanang juga memenuhi syarat sebagai dana penerima bantuan.

Berangkat dari pengalaman itu, maka Ibu Nanang juga mulai aktive di kegiatan-kegiatan desa, misalnya ia sudah berani bicara, termasuk berani bicara dengan Kades Julubori sebagai pemegang mandat tertinggi pemerintahan di desa itu.

“Jadi setiap pertemuan desa, saya sudah mulai dilibatkan, tapi memang awal-awalnya saya juga gugup bicara. Awalnya hanya ikut saja, tapi lama-kelamaan, akhirnya saya sudah bisa sedikit bicara, dan sekarang malah saya sudah bisa memberikan masukan-masukan kepada Pak Desa secara langsung,” urainya.

Hal ini terjadi pada bulan Desember 2010, dan terus mengawal pembangunan desa bersama dengan perempuan desa lainnya. Dari situ kemudian, Nanang dipercaya sebagai Ketua Kelompok I Borong Bilalang dalam Program Keluarga Harapan.

Karena posisinya sebagai ketua kelompok, maka setiap rencana-rencana pembangunan desa, sudah aktiv terlibat, diskusi, dan bersama-sama mengambil keputusan bersama.

Jadi keaktifan dirinya, juga pertanda bahwa kesadaran perempuan di dusunnya juga telah berpartisipasi dalam pembangunan secara aktive, utamanya pengurus kelompoknya aktive mengikuti pertemuan dan kegiatan-kegiatan sosial di Desa Julubori.

Menurut Nanang, bukan hal mudah untuk melakukan semua itu, karena sebagai single parent, disamping memenuhi kebutuhan keluarga dimana dia menjadi kepala keluarga, juga terus bekerja bersama-sama masyarakatnya, termasuk kelompoknya.

Meski begitu, dia mengalami hambatan-hambatan dalam mempercepat partisipasi perempuan, karena menurutnya perempuan Dusun Bilalang membutuhkan tenaga pengajar yang dapat mendidik perempuan-perempuan Desa Julubori dari berbagai aspek, termasuk soal tenaga ahli dalam peternakan unggas, misalnya peternakan itik dan ayam kampung. “Ternak ayam potong disini tidak dapat dikelola secara berkelompok oleh masyarakat, tapi kalau ternak itik atau ayam untuk setiap kepala keluarga maka sangat cocok,” katanya.

Di balik kesukesan Nanang didalam mengawal kelompok dan masyarakat Desa Julubori, yaitu Musabir dari petugas Dinas Sosial dengan progam keluarga,Dg Bollo (tokoh perempuan), Kades Julubori, dan lainnya.

Dengan kegiatan-kegiatan sosial ini, maka saya banyak mengalami perubahan, tak terkecuali perubahan ekonomi. Tetapi meski demikian ekonomi keluarga harus menjadi prioritas utama dengan terus berjualan di emperan toko, dari situ memang pembelinya terkadang tidak menentu, tetapi itu sudah dapat sedikit demi sedikit meringankan keluarga, karena uang transport anak-anaknya yang sekolah dapat teratasi.

Jadi hikmahnya, karena terlibat didalam mengurus kegiatan-kegiatan di desa, maka waktunya kami atur, sehingga jualan juga tetap berjalan. Itulah gambaran, bagi perempuan-perempuan yang terus bergelut dengan lilitan ekonomi keluarga tapi tak pernah terlepas dari proses pembangunan di desa. (sultan darampa)

Senin, 20 Juni 2011

BINTANG PERUBAHAN : Beban Ganda

SAYA adalah salah seorang perempuan (30 tahun) tinggal di Desa Julubori Kecamatan Palangga Kabupaten Gowa – Sulawesi Selatan. Sehari-hari saya bekerja serabutan, kadang bekerja membantu di sawah, kadang membantu program desa dari kepala desa, tak lupa juga harus mengurus rumah tangga. Semuanya saya lakukan demi menghidupi kedua anakku yang setelah sekian tahun ditinggal oleh bapaknya. “Suamiku meninggalkan saya dan kedua anakku tanpa penjelasan yang masuk akal,” katanya menutupi kesedihan hatinya.

Menurutnya, salah satu alasan suaminya minggat, karena perempuan umur 30-an tahun yang pernah mengecap pendidikan di Universitas Hasanuddin meski tidak menyelesaikan studinya, adalah karena saya juga mau active seperti dengan beberapa perempuan desa yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan desa, apalagi saya pernah menuntut ilmu di perguruan tinggi.

Tetapi niatnya untuk ikut membawa perubahan di desanya, selalu terhalang oleh suaminya. “Kenapa kamu repot-repot mau kerja, mau active di kantor desa, atau apalagi kalau ada kegiatan di kantor desa, cukup kami jadi ibu rumah tangga saja, apa yang kurang, mau makan silahkan makan,” kata sang suami seperti yang ditirukan ole Ros.

Jawaban sang suami memang sangat efektive, sehingga Ros, tidak pernah lagi aktiv pada kegiatan-kegiatan sosial, malah berkumpul dengan bekas teman-temannya yang juga active sebagai ibu-ibu “aktivis” di desanya juga tidak diizinkan. “Tetapi saya rasa bukan karena factor itu suami saya meninggalkan keluarga ini, karena permintaannya untuk tidak bekerja sudah terpenuhi. Dan tanpa saya ketahui sebab-sebabnya, tiba-tiba menghilang dengan meninggalkan tanggungjawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga dimana anak-anaknya yang masih kecil-kecil membutuhkan biaya hidup,” kenang Ros.

Karena saya merasa tidak mendapat perlakuan adil karena meninggalkan saya dan keluarganya tanpa ada penjelasan, yang kemudian sekitar setahun baru saya tahu bahwa ternyata ia sudah kawin lagi di tempat lain, akhirnya saya mengambil inisiative seperti cita-cita semula. “Saya sudah mulai active lagi pada kegiata-kegiatan sosial, seperti menjadi KPM, dan saya senang disitu, karena selain mendapat teman, juga saya merasa bahwa nasib “jelek” saya tidak sia-sia, karena banyak teman-teman KPM, utamanya di desa lain, menjadi sahabat-sahabat.

“Suatu hari nanti, saya tetap bertekad untuk terus berjuang, minimal ingin mengatakan, utamanya dalam Desa Julubori, bahwa orang seperti saya, janda, masih bisa berbuat banyak, selain bisa menghidupi keluarga dengan 2 orang anak, juga masih sempat membantu orang lain, masih sempat berdiskusi dengan apart desa tentang apa-apa yang akan dilakukan, tentang rencana-rencana apa bisa dilakukan untuk membuat perubahan di desa.

Saat ini, setelah mengikuti beberapa kali training, saya juga dapat menfasilitasi pertemuan-pertemuan, FGD, atau rapat-rapat di kantor desa, termasuk menfasilitasi sensus rumah per-rumah di dalam Desa Julubori. “Saya juga kaget dapat melakukan semua ini, saya tidak pernah membayakan akan seperti ini jadinya, apalagi secara mental saya terpuruk, dan sempat sidrom atas kasus menimpah keluarga saya. Tetapi setelah menjalani semua ini, ternyata saya bisa menjalani dengan baik, tanpa ada dampak-dampak negative terhadap terhadap psikologi saya, termasuk keluarga saya dan anak-anak saya,” katanya sembari tersenyum.

Ros memang terkenal ulet dimata teman-temannya sesama KPM, atau sesama kaum ibu-ibu di Desa Julubori. Menurutnya, dukungan yang paling terasa adalah nama besar keluarga, nama baik orang tua dan nenek moyang, sehingga apa yang dilakukannya saat ini, secara sosial di masyarakat adalah factor pendorong yang paling kuat.

Sekedar diketahui bahwa Desa Julubori, apalagi dibawa kendali kepala desanya, Muhammad Ansar, percepatan pembangunan di segala bidang sangat terasa. Beberapa program yang telah masuk di desa ini antara lain :
1.Rehab dan pembangunan jalan-jalan di dalam Desa Julubori, termasuk jalan-jalan tani, sudah diaspal dan di-papinblok.
2.Tempat-tempat layanan umum, Pustu dan rumah-rumah ibadah juga telah mengalami rehabilitas dan pembangunan.
3.Secara swadaya, Desa Julubori membeli Mobil Kijang untuk layanan cepat bagi warganya yang membutuhkan pertolongan. Mobil ini dinamai, Mobil P3K, khusus untuk mobil angkutan bagi warga sakit untuk diantar ke puskesmas, atau ke rumah sakit. Juga mobil difungsikan dalam mobilitas tinggi, seperti keperluan bagi warga yang membutuhkan trnasportasi ke kabupaten lain.
4.    Banyak program yang masuk disini, utamanya PNPM, IPP, P2TP, serta sejumlah proyek-proyek dadakan lainnya.

Nah, didalam mendorong percepatan pembangunan, termasuk pemangunan fisik, sosial keagamaan, maka salah satu andalannya pemerintah desa adalah kader-kader pemberdayaan (KPM), utamanya bagi KPM yang telah mendapat penguatan kapasitas dari kemitraan Yayasan WaKIL – ACCESS ini.

“Secara pribadi, saya rasakan besar sekali manfaat dari pelatihan-pelatihan ini, karena selain ilmunya, juga yang utama pengetahuan itu dapat diterapkan langsung di desa-desa, malah ada kepala desa lain menawarkan diri untuk kami bantu, tetapi memang kami tidak jawab bersedia atau tidak, karena itu kewenangan Kepala Desa Julubori,” tandas Ros mengakhiri ceritanya. (sultan)

Kamis, 05 Mei 2011

Obor Keilmuan Kakanwil Depag Sultra (2)

Makassar, (KBSC)
Hidup ini adalah sama dengan sejarah pribadi, misalnya pekerjaan itu tidak perlu pilih-pilih asal halal. Jadi disamping jual ikan, juga gembala sapi, itu dimulai sejak SR (sekolah rakyat), pagi-pagi bawa sapi ke rumput setelah subuh, atau menggiring sapi sambil menuju sekolah. Nah, di tengah-tengah jam istirahat, saya manfaatkan waktu untuk menggiring sapi ke sungai atau kali guna memberi minum, apalagi kalau sudah tengah hari, selesai setelah diikat di padang rumput, lalu kembali lagi ke sekolah.
Waktu di PGA, jumlah siswa-siswi kurang lebih 40-an orang, anak didik, dan dahsyat lagi, karena yang hanya berhasil menyelesaikan ijazah PGA-nya hanya 4 orang untuk lanjut kuliah.

Jadi dalam bekerja motto saya cukup sederhana. Asal saya bisa dapat pekerjaan, saya terus bekerja, dan akibatnya, saya tidak pernah bayangkan hasilnya seperti sekarang ini. Apalagi waktu, kebanggaan betul bagi saya, karena belum ada orang Tolaki yang jadi pejabat di Depag, baru saya kemudian.

Apalagi waktu yang jadi kepala kantor atau Kandepag biasanya hanya satu atau dua orang saja, misalnya H. Muh. Samir dan H. Duman Badaru, selebihnya tidak ada, belum ada penjabat kepala bidang, jadi pejabat waktu tidak ada stafnya .

Tapi sebelum jadi Kakanwil Depag, saya awalnya jadi guru dulu, itu selama 3 tahun. Kemudian, jadi wakil kepala sekolah pada tahun 1968-1989. Tahun 1990, jadi Kepala Mts 1 Kendari, sampai tahun 1998. Tahun 1999, jadi kepala sekolah Mts 2, selama setahun, karena tahun 2000 diangkat menjadi kepala seksi perguruan dengan golongan IV/A di Kandepag sampai 2002. Tahun 2002, masih di Kanwil Depag, diangkat menjadi Kabag TU sampai 2005. Puncaknya, pada 14 November 2005 dilantik oleh Gubernur Sulawesi Tenggara waktu, Ali Mazi SH, sebagai Kakanwil Depag Propinsi Sultra, sampai sekarang.

Sebagai Kakanwil, saya memprioritaskan agar 529 kepala madrasah di Sulawesi Tenggara sudah berpendidikan master atau S2, karena sebelmunay, yakni tahun 2009, sudah 350 kepala madrasah atau guru, atau pengawas sementara menjalani kuliah S2. Pada Tahun 2013 nantinya, maka semua Kandepag lulusan doktor, S3. Tujuannya, agar lembaga-lembaga pendidikan semakin kredibel. (anno-nining)

Obor Keilmuan Kakanwil Depag Sultra

Makassar, (KBSC)
“Saya asli Tolaki, lahir di Labibia, kurang lebih jaraknya 3 kilometer menuju tempa wisata Batu Gong, Konawe. Saya sekolah SD 62 di Sekolah Rakyat Wawombalata. Sekolah SMP Muhammadiyah di Mandonga. Tahun 1969 -1972 mengikuti Pendidikan Guru Agama, lalu Lanjut Pendidikan Guru Agama selama 6 tahun sampai tamat tahun 1974. Lalu kuliah di IAIN di Tipulu pada tahun tahun 1975,” itulah komentar pengantar Kakanwil Depag Propinsi Sultra, H.Abdul Muis, ketika mengawali wawancarai.

Berikut cerita tutur H.Abd.Muisketika mengenang perjalanan hidupnya sampai saat ini, sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulawesi Tenggara.

Dulu saya sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah yang terdekat hanya 3 kilometer jalan kaki. Jadi, sejak SD kelas 3, tahun 65-an, sudah membantu orang tua jual ikan, dan pikul ikan dari Erpaka Batu Gong sampai Bundaran Mandonga, dan di pasar tradisional itulah kemudian dijual. Kalau lagi kurang pembeli, ya sewaktu-waktu dipikul lagi ke Abeli sawah, malah terkadang siang atau malam.

Tapi, sewaktu di PGA, saya masuk 4 hari belajar, terhitung 2 hari bolos, kalau tidak, saya tidak bisa sekolah, jadi hari bolos itu untuk kerja. Kenapa, karena saya 6 bersaudara, Sekolah PGA Wawombalata, kurang lebih 12 kilometer jalan, dan itu harus terjadi tiap hari. Jadi kalau tidak mau terlambat, terpaksa harus star dari rumah ketika masih dini hari, atau paling lambat jam 04 subuh.

Karena keadaan kampung gelap gulita, belum ada listrik, daripada takut terjatuh atau tergelincir yang membuat pakaian pada kotor, jadi ketika siap-siap bukan hanya alat-alat belajar yang disiapkan, tapi juga harus siap payung, (biasanya payungnya kadang daun pisang atau daun jatih), takutnya kehujanan. Juga yang tak kalah penting adalah pakai obor, apalagi sepanjang perjalanan, kiri-kanan jalan gelap gulita, dan setelah melalui jalan sepanjang 12 kilometer itu, maka saya tiba di sekolah kira-kira jam 07 pagi. Begitu pula ketika pulang, tiba di rumah paling cepat jam 04 sore.

Tahun 1974-1975 menjelang tamat sekolah guru, ada bus “Hanura”. Sewaktu-waktu bisa naik bus bila ada uang, tapi itu jarang sekali terjadi, karena sangat diirit. Bus itu pun harus antrian, karena bus hanya satu buah, jadi kadang uang tapi tidak muat, kelebihan penumpang. Kalau begitu ya, terkadang juga terpaksa menunggu truk, (yang khusus dinaiki pegawai), kadang kita di toki. Tapi yang lebih umum adalah jalan kaki lagi sepotong perjalanan.

1979 selesai sarjana muda. Selama kuliah tetap menjual ikan, tapi karena kita sudah mahasiswa hanya sewaktu-waktu. Nanti tahun 1975 mulai kenal dengan seorang gadis, tak lama kenal, akhirnya tahun 1978 menikah di Kabaena, Bombana. Tahun 1978, setelah menikah, sang istri terangkat jadi guru MIN di Kota Kendari. Lalu 1979 selesai, lalu lanjut honorer di IAIN di Tipulu, Sampai 1981 jadi guru MTS 2 Kendari. (nining-bersambung)

Sabtu, 30 April 2011

Penelitian Terbaru tentang Kepiting (2)

Makassar, (KBSC)
Bayam ini diekstrak kemudian kandungan hormon molting yang terdapat pada bayam disuntikkan pada pangkal kaki kepiting. Hal ini dilakukan karena pangkal kaki kepiting mempunyai bagian yang lunak serta memiliki pembuluh darah, sehingga memudahkan kerja hormonal untuk molting.
Hasilnya cangkang yang dulunya keras akan menjadi lunak setelah disuntikkan dengan hormon molting yang terdapat pada bayam tadi, sehingga memudahkan konsumen untuk mengonsumsinya. Selain itu, nilai nutrinya juga lebih tinggi karena mengandung chitosan dan karotenoid yang terdapat pada cangkang kepiting.

Ibu kelahiran Makassar 23 Januari 1965 ini tidak sendiri. Ia bersama timnya dari Balai Riset Budidaya Perikanan Air Payau Kabupaten Maros. Lokasi penelitian mereka di Balai Riset Budidaya Perikanan Air Payau di desa Bontoloe, Kecamatan Galesong Selatan,  Kabupaten Takalar.
”Saat ini kami masih uji coba melakukan tahap laboratorium dalam skala kecil dan kelak ditindaklanjuti dalam skala besar. Insya Allah tahun depan kita sudah dapat mengenalkannya kepada masyarakat,” harap Ibu yang medapat gelar doktornya di Institut Pertanian Bogor ini.

 Selama ini kepiting diburu secara liar oleh para nelayan di perairan nusantara. Apalagi permintaan pasar ekspor yang mengutakamakan kepiting betina yang masih bertelur. Penangkapan kepiting secara liar ini telah mengakibatkan populasi kepiting menurun dan mengganggu ekosistem alam. Oleh karena itu, perempuan yang akrab dipanggil Ibu Yus ini, mengharapkan adanya pembudidayaan kepiting oleh masyarakat khususnya di Sulawesi Selatan ini.
”Kalau kepiting diburu terus di alam, maka itu akan habis. Jadi kita memang harus mengadakan pembenihan,” ujar ibu yang memakai jilbab ini.

Menurutnya banyak daerah yang berpotensi untuk mengembangkan usaha budidaya kepiting ini, misalnya memberdayakan kembali tambak udang yang ada di Kabupaten Barru. Secara ekonomi budidaya kepiting ini akan mengahasilkan keuntungan yang besar karena merupakan komoditas ekspor yang menjanjikan.

Saat ini, di Sulsel jenis kepiting yang cocok untuk dibudidayakan yakni kepiting bakau dan kepiting rajungan. Kedua jenis kepiting ini dapat dijumpai dengan mudah di alam. Kepiting bakau dapat ditemukan di alam terbuka dan sebagian kecil telah dibudidayakan oleh masyarakat. Biasanya terdapat di beberapa daerah aliran sungai, dan sawah-sawah petani. Sedangkan kepiting rajungan dapat hidup di beberapa habitat, termasuk tambak-tambak ikan di perairan pantai yang mendapat masukan air laut dengan baik. Kepiting ini juga dapat hidup pada kedalaman 0-6 meter.

Petambak kepiting tak perlu menunggu lama untuk memanen kepitingnya. Cukup dalam waktu tiga bulan kepiting yang dibudidayakan ini sudah dapat dipanen. Kepiting sudah bisa di disuntikkan dengan hormon molting setelah berumur kurang lebih satu bulan atau ukuran kepiting sudah mencapai 7 cm. Setelah molting ukuran kepiting ini dapat bertambah menjadi 9-10 cm atau mencapai pembesaran 30 persen. Setelah itu dipelihara lagi sampai kurang lebih satu bulan.

 Kedua jenis kepiting ini umumnya dijual dalam bentuk segar, sedangkan untuk ekspor daging kepiting ini umumnya dalam bentuk daging beku yang dikemas dalam kaleng.
Membudidayakan kepiting dengan sendirinya dapat memberikan keuntungan secara ekonomi maupun sosial. Industri kepiting membutuhkan tenaga kerja yang banyak, mulai dari penangkapan, pengumpul, dan pembudidaya. Dari banyaknya proses ini membutuhkan tenaga kerja yang tak sedikit. Bila usaha ini dapat merangsang bisnis desa maka mengurangi arus urbanisasi dari desa ke kota.
” Tahun depan kita mencoba untuk uji coba secara lapangan kepada masyarakat. Hitung-hitung mencoba untuk berpartisipasi mencipatakan lapangan kerja itu cita-cita mulianya,” ujar dosen yang telah merangkumkan bukunya yang berjudul ''Mengenal Kepiting Komersil di Dunia'' ini. (h.m.dahlan abubakar - ProFiles - bersambung)

Senin, 25 April 2011

MUNA MEKAR (1) : Menakar Budaya Wuna

Kabupaten Muna dalam kemudi L.M.Baharuddin terus berbenah, kini semakin mantap mempersiapkan pemekaran. Untuk syarat-syarat itu, tentu dibutuhkan kelengkapan administrasi negara.(f:kutu.com)

Makassar, (KBSC).
Kabupaten Muna, setelah sebagian wilayah administrasinya dimekarkan ke dalam Kabupaten Buton Utara, kini kabupaten kepulauan tersebut tidak lama lagi akan kembali mekar menjadi dua kabupaten dan satu kota. Yakni, kabupaten induk (Kabupaten Muna sendiri), Kabupaten Muna Barat, dan Kota Raha.

Keunggulan Kabupaten Muna masih ditunjang dengan berbagai sumber daya alam, seperti areal persawahan sekitar 1.400 hektar, disupport dengan berbagai infra struktur lainnya. Sementara keunggulan kabupaten baru nanti, Kabupaten Muna Barat, yaitu terletak pada sumber daya kelautan dan pesisir.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkab Muna, Lakusa, di Makassar mengatakan, kekayaan bawah laut dengan keragaman speciesnya lebih kaya dari Wakatobi. Menurutnya, kalau Wakatobi jenis species bawah lautnya hanya sekitar 1.500-an jenis, sementara di Selat Muna (yang mengapit antara Kepulauan Muna dengan daratan besar pesisisir selatan Sulawesi Tenggara) sedikitnya terpendam 2.000-an species.

“Keragaman ini belum termasuk populasi ikan yang melimpah ruah, makanya nelayan-nelayan dari Teluk Bone (Sulawesi Selatan pesisir timur dan selatan) juga melayari kawasan ini,” ungkap Lakusa.

Hal ini dimungkinkan, Lakusa menerangkan, karena di Selat Muna itu, terdapat arus yang keras, utamanya pada musim-musim tertentu, dan seperti diketahui tempat bersarangnya  ikan-ikan samudra adalah arus yang keras.

Jadi di seluruh perairan Sulawesi ini, termasuk Selat Banda (Maluku), maka Selat Muna yang paling besar ‘daya tampungnya’. “Perairan ini adalah gudang ikan Indonesia Timur,” lanjutnya, sambil menyayangkan bahwa Selat Muna belum banyak dikenal orang, termasuk nelayan, sebagai kekayaan terbesar ekosistem laut nusantara. 

Bidang lain keunggulan Muna Barat, adalah kota pelabuhan Tondasi yang strategis, yang mengubungkan kepulauan Kabaena dan Sulawesi Selatan. “Saat ini pelayaran Kapal Fery rute Muna-Sinjai  dan Bulukumba (Sulsel) dua kali dalam sepekan,” tegas Lakusa.

Selain aset perairan yang melimpah, Muna Barat juga memiliki bandara, dimana bandara yang telah dibangun oleh Bupati Muna Ridwan BAE, masuk ke dalam wilayah administrasi Muna Barat. Jika nantinya ini setelah mekar, Lakusa berkeyakinan, bahwa bandara ini akan dibenahi secara semaksimal.

“Bandara ini nantinya akan melayani penerbangan rute Muna – Makassar, tentu dengan pesawat berbadan kecil,” jelasnya.  Menurutnya, dengan maksimalnya pelayanan bandara ini nantinya, Muna secara keseluruhan dapat dijangkau dengan sangat mudah.

Karena selama ini, untuk mencapai Muna, utamanya arus kedatangan dari Makassar atau Sulawesi Selatan, harus menemui rute yang panjang, misalnya dari Kendari baru ke Muna melaui laut. Tapi yang lebih sulit adalah kalau menggunakan rute laut, misalnya dari Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar, dengan menggunakan Pelni atau kapal barang, hanya transit di Kota Bau-Bau, setelah itu barulah menggunakan kapal cepat ke Kota Raha (ibukota Muna).

Atau jalur laut Bajoe (Bone-Sulsel), lalu naik fery ke Kolaka (Sultra) lalu naik darat lagi, ke Torobulu (Kab.Konsel) dengan menggunakan fery ke Raha, atau dari Kolaka langsung ke Kota Kendari lalu ke Raha dengan kapal cepat.

Sedikit yang lebih gampang dan mudah, adalah pelayaran dari pelabuhan Kabupaten Bulukumba atau Kabupaten Sinjai (Sulsel) lalu naik fery langsung ke Tondasi (Muna Barat). “Rute ini hanya ditempuh 8 – 12 jam), sama waktu tempuh antara Bajoe – Kolaka,” jelas Lakusa.

Jalur ini lebih memiliki prospek cemerlang dimasa mendatang, karena jalur pelayaran ini, adalah rute dagang langsung dari Makassar jalan darat ke Bulukumba dengan waktu  tempuh 5 – 6 jam.  Mobil-mobil kelas berat, atau 10 roda yang memuat peti kemas tidak mengalami kesulitan pengangkutan karena jalan datar (tidak ada tanjakan terjal dan tikungan curam) antara Makassar dengan Bulukumba, sehingga segala barang gelondongan, dapat langsung naik kapal dan diterima di Muna dalam keadaan tanpa bongkar. (sultan darampa)

Reformasi Birokrasi Sultra

Kepala Badang Kepegawaian (BKD) Propinsi Sulawesi Tenggara, Tony Herbiansyah.
Makassar, (KBSC)
Berdasarkan Surat Edaran No 05 tahun 2010 tentang tenaga honorer, maka pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara akan merampungkan pengangkatannya pada akhir tahun lalu, dimana dimulai pada tahun 2005. “Kepastian pengangkatan honorer dilakukan sepanjang memenuhi syarat-syarat,  seperti bahwa ada SK Pejabat yang berwenang, kerja diinstansi pemerintah, berusia minimum 19 tahun hingga 46 tahun,” kata Kepala Badan Kepagawaian Daerah Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara, Tony Herbiangsyah. 

Menurutnya, upaya ini sekaligus melengkapi seluruh sistem databased kepagawaian propinsi, termasuk diantaranya adalah tenaga honorer. Untuk itu, ia meminta agar berkas pengusulan selambatnya sudah masuk di BKN, 30 Agustus 2010, bila tidak, daerah itu dianggap sudah menyelesaikan CPNS-nya
Mantan Bupati Konawe ini juga mengakui, formasi CPNS (kurang lebih 400 orang) sudah diusulkan ke DPR tapi dari DPR belum memberi jawaban surat dari Mempan, sehubungan dengan penganggaran untuk formasi CPNS 2010, termasuk jumlah CPNS yang akan diterima di 10 kabupaten dan 2 kota di Pemprov Sultra. Hal ini juga mempertimbangkan antara yang pensiun  dan disesuaikan dengan anggaran.

“Kita memang dalam upaya reformasi birokrasi, utamanya di BKD, sehingga nantinya banyak kemudahan – kemudahan yang kita berikan, misalnya kenaikan pangkat atau pengurusan pensiun, kita ada pemberitahuan lebih dulu termasuk pelayanan terhadap peralihan status dari CPNS ke PNS sepanjang memenuhi syarat,” jelasnya.

Termasuk, kemudahan penyesuaian ijasah, BKD juga senantiasa melakukan koordinasi dengan melakukan transparansi sehingga tidak ada tuduhan-tuduhan yang negative tentang pelaksanaan kegiatan yang ada di BKD .

Tentang harapan,  “kami berharap PNS berkuaitas dibarengi dengan melakukan pendidikan-pendidikan khususnya kursus – kursus kedinasan sesuai bidang masing-masing, juga pendidikan jenjang Diklatpim 4,3,2, malah kalau perlu Diklatpim 1, karena kita suatu saat menuju ke kualitas untuk peningkatan pelayanan kepada publik yang maksimal,” lanjutnya.

Untuk itu, maka seluruh komponen juga perlu mengetahu tugas pokok BKD adalah, pertama membantu pimpinan dalam urusan kepegawaian. Kepegawaian, mulai dari proses perencanaannya (berapa sebenarnya kebutuhan dari pegawai pemprov dan apa saja yang dibutuhkan).

Kedua, pembagian kewenangan, tugas dan tanggungjawab kepada semua instansi yang diberikan pimpinan. Diurai menjadi pendistribusian tugas dan kewenangan, dan yang ketiga,kualifikasi daripada pegawai itu sendiri, kelayakan penempatan dalam satu instansi, yang menganalisa BKD.

Motivasi Jadi PNS
Kalau ditanya apakah kelebihan PNS, maka jawabannya adalah tidak ada kelebihan pegawai.  “Kita kembali ke PNS apakah motivasinya bekerja atau tidak, karena semua pekerjaan sudah tersedia dan sesuai , termasuk golongan 1 dan golongan 2 sudah punya tugas. Termasuk cleaning service itu harus dilaksanakan, makanya ada sebutan untuk prajabatan semuanya diuraikan tugas dan fungsi pokoknya PNS,” tegasnya.

Kalau untuk daerah baru yang otonom, (red, maksudnya hasil pemekaran), mereka sendiri yang merencanakan sesuai kebutuhan mereka. PNS diambil dari daerah induk lalu merencanakan sesuai kebutuhan mereka lalu diusulkan untuk menuju kwalitas sesuai keuangan Negara dan itu dilakukan bertahap.

Bicara tentang kendala, saat  ini tidak ada kendala yang berarti di BKD, dalam pengelolaan pelaksanaan kegiatan ada kendala yang sifatnya rutin, “bisa kami hadapi dan selesaikan,” katanya.

Juga penting kepada masyarakat kalo menyangkut formasi kepegawaian itu jangan sembarang menerima informasi, karena seperti yang diketahui banyak orang yang tidak punya kewenangan, tapi menyuarakan bahwa punya kewenangan, sehingga biasa terdapat pungli yang pada akhirnya mencederai citra BKD di masing-masing kabupaten dan kota.

“Lebih baik langsung ke sumbernya, ke BKD langsung, agar dapat diberi penjelasan sedetail mungkin dan dapat kita perlihatkan dasar-dasar hukumnya sehingga tidak tersesat dalam menerima informasi yang bisa merugikan masyarakat apalagi menyangkut pungutan liar, dengan kata lain tidak dipungut biaya alias gratis”, sarannya.(anno-nining)

Penelitian Terbaru tentang Kepiting (1)

Ladang pengembangbiakan kepiting keramba. Kepiting ini menjadi sumber protein utama, selain cangkangnya yang juga merupakan mesin produksi baru.

Makassar, (KBSC)
Ketika kita mendengar orang menyebut kepiting, di benak kita yang terbayang adalah binatang berkulit keras dan memiliki 'senjata' berbahaya. Capit kepiting memang tidak mematikan, tetapi cukup menyakitkan. Brengseknya, kepiting juga nakal. Saat capitnya sudah 'membekuk' mangsanya, biasa ditinggalkan begitu saja.

Artinya, capitnya tetap melengket di mangsanya, dan badan kepiting yang lain melarikan diri.Mirip orang tabrak lari. Habis korbannya digigit, dia malah kabur.  Dia memang tak pusing dengan capitnya yang ditinggal pergi. Soalnya, dalam beberapa bulan ke depan, di lokasi eks capitnya itu akan tumb uh capit baru.

Soal kedua, bagian tubuhnya yang keras, sering menyulitkan, musuh kepiting memangsa binatang ini. Namun ke depan, kita bakal menemukan kepiting bercangkang lunak (soft shell). Itu sudah pasti diburu di pasar dunia karena nilai gizinya yang tinggi. Juga dijadikan sebagai bahan baku industri makanan dan kesehatan. Pembudidayaan soft shell ini juga dapat mengurangi angka pengangguran.

Kepiting merupakan sesuatu komoditas yang sangat serbaguna. Mulai dari daging hingga kulit (cangkang) memiliki nilai ekonomi. Kepiting ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan hingga obat-obatan yang penting bagi manusia.Dagingnya mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan kesehatan. Secara umum kepiting rendah lemak, tinggi protein, dan sumber mineral serta vitamin yang sangat baik serta mengandung selenium yang berperan mencegah kanker dan pengrusakan kromosom dan juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri.

Secara umum, daging kepiting rendah lemak, tinggi protein dan sumber mineral serta vitamin yang sangat baik. Meskipun mengandung kolesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh, merupakan sumber niacin, folate dan potassium yang baik, dan merupakan sumber protein, vitamin B12, Phosporous, Zinc, Copper, dan Selenium yang sangat baik. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan pengrusakan kromosom, serta meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri

Selain itu, kepiting lunak atau soka ini mengandung nilai nutrisi tinggi terutama chitosan dan karatenoid yang banyak terdapat pada kulit kepiting. Kulit kepiting juga telah dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat dan kosmetik yang dapat diekspor. Hal ini lah yang menjadikan hewan bercangkang keras ini menjadi buruan bagi negara maju khususnya di benua Amerika dan Eropa.

Hal itulah yang menjadi daya tarik bagi Dr. Ir. Yushinta Fujaya M.Si mengembangkan potensi ini. Sebagai negara kepulauan, Indonesia berpeluang menjadi negara pengekspor kepiting dunia. Tiga tahun lalu alumnus Fakultas Peternakan angkatan 1983 Unhas ini mengawali penelitiannya.
 ”Penelitian ini mencari teknologi untuk bisa digunakan di industri perikanan dalam memproduksi kepiting cangkang lunak  produk ekspor,” ujarnya optimis.

Alhasil, kerja kerasnya membuahkan hasil yang memuaskan. Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ini telah menemukan metode yang dapat mengubah cangkang kepiting menjadi lunak. Dengan menggunakan pendekatan psiologi dan mengembangkannya dengan metode hormonal. Gayung punbersambut, penelitian ini mendapat perhatian dari Kementerian Riset dan Teknologi dengan memberikan bantuan penelitian dan kini berjalan selama dua tahun.

Soft shell ini diteliti dengan teknologi molting. Molting merupakan proses pengelupasan cangkang lama yang keras dan digantikan dengan cangkang baru. Cara kerjanya yakni kaki-kaki kepiting bakau ini ditanggalkan atau dipatahkan dan terinduksi molting yang terdapat pada hormonal alami bayam. Kaki-kaki kepiting ini dapat tumbuh kembali karena kepiting mempunyai kemampuan regenerasi. Selain bayam hormon molting ini juga terdapat pada tumbuhan pakis dan paku-pakuan. (h.d.dahlan abubakar-pemred ProFiles)

Selasa, 19 April 2011

Catatan Redaksi : Keluhuran Budaya Ketimuran

 Prestasi remaja dan promosi wisata.Memperkenalkan potensi wisata wilayah, melalui festival Putri Bunga maupun Putri Batik, sebagai bentuk ‘unjuk prestasi remaja’, harapannya mampu mengenalkan objek wisata potensil di beberapa wilayah, wisata bahari, wisata budaya, wisata alam, wisata petualangan, yang makin mengemuka dengan wisata lingkungan, sebagai pengimbang industri wisata yang eksploratif, prioritas wisata lingkungan yang makin ramah dan memperhatikan keseimbangan alam, dengan meminimalkan kerusakan objek wisata dan wilayah penyangganya.

Forum silaturrahmi dan penyuluh agama.Guna mengingatkan akan ‘akar keluhuran budaya ketimuran’, yang saling menghormati dan saling menghargai, peran peran tenaga penyuluh memerankan ‘amanah’ pembinaan mental masyarakat.  Lebih disaat bulan Ramadhan. Sambil tetap mengingatkan pentingnya ‘bertoleransi’ dengan anggota masyarakat ‘yang lain‘.

Perbaikan sarana jalan.  Keterbatasan sumber dana, bukan menjadi ‘kendala’ pengembangan daerah daerah sentra produksi. Dikarenakan, keterisolasian, komoditi wilayah, akan dapat dipasarkan keluar bila sarana jalan, membuka keterisolasian suatu wilayah.Terebosan berupa ‘program pembangunan sarana pendukung’.  

Honorer CPNS, dengan masa kerja mencapai lima tahun, dan memenuhi syarat umur.   Pengusulan menimbang kemampuan anggaran daerah, walau kebutuhan staf masih jauh dari memadai. 
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia.  Menjadi mutlak, untuk mengawal kebijakan pembangunan.  Pengembangan wilayah dan peningkatan layanan masyarakat, mensyaratkan peningkatan kualitas ‘pelayan pubik’, baik pengetahuan, keterampilan, wawasan maupun pengalaman.  Ini dapat ditingkatkan melalui pelatihan pelatihan SDM secara berjenjang.(anno-sultan darampa)

Masyarakat Adat di Mata Pemerintah

Makassar, (KBSC).

Selama ini masyarakat adat masih jarang didiskusikan oleh pemerintah. Tak jarang bila pemaknaan masyarakat adat selalu salah kaprah. Untunglah kali ini masyarakat adat didiskusikan kembali oleh jajaran pemerintah.

Badan Penelitian dan Pengembangan HAM (Balitbang) Kementerian Hukum dan HAM bekerjasama dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulsel menggelar seminar yang bertajuk Kebijakan Pertanahan Pemerintah Terhadap Hak Atas Tanah Masyarakat Adat. Acara yang berlangsung di Hotel Singgasana ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Simon S. Lopang, S.H, M.H, Kepala Biro Hukum Provinsi Sulsel, Darmawijaya, S.H,  mewakili Kepala Kanwil Badan Pertanahan Provinsi Sulsel, dan Prof.Dr. Hasnawi, S.H, Mhum, Ketua Pusham Universitas Negeri Makassar, Senin (18/04).

Seminar ini dihadiri oleh sejumlah jajaran tinggi pemerintah di lingkungan kehutanan, perkebunan, pertanian, Kelautan, lingkungan hidup, kebudayaan/pariwisata, kepolisian, dan lain-lain.  Diskusi ini membahas beberapa hal terkait masyarakat adat, yakni siapa masyarakat itu, bagaimana persebarannya dan hak ulayat mayarakat adat. Dari diskusi yang berkembang, definisi masyarakat adat cenderung dipahami secara berbeda. Menurut Prof Hasnawi, masyarakat adat merupakan Kelompok masyarakat atau komunitas yang memiliki kesamaan asal-usul leluhur, hukum adat/lembaga adat, sistem nilai, sosial, budaya dan wilayah tertentu. Pendefinisian ini penting, agar persepsi tentang masyarakat adat tersebut tidak berbeda-beda.

 Hasnawi mengatakan ada beberapa tipologi masyarakat adat. Pertama, masyarakat adat adalah masyarakat lokal yang masih kukuh berpegang “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi dan lain-lain. Kedua, masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat  lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat tapi masih cukup bagi adanya hubungan “komersil” dengan pihak luar.

 Ketiga, masyarakat adat hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi.Keempat, masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang  telah berkembang ratusan tahun.

Berbeda dengan Hasnawi, Darmawijaya ini mendefinisikan masyarakat adat sebagai masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan solidaritas yang sangat besar di antara para anggota, yang memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Darmawija mengutip definisi ini dari salah seorang penulis tentang masyarakat adat.

Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel yang juga peserta seminar tersebut agak heran mendengar definisi yang dikemukakan oleh Darmawijaya. Pemahaman tentang komunitas adat sangat berbeda dengan yang dipahami oleh AMAN Sulsel. Menurut Sardi, hal inilah yang membuat publik termasuk para pejabat di lingkungan pemerintahan tidak memahami komunitas adat seperti apa. “Cenderung pemerintah memahami masyarakat adat hanya dari  sisi kebudayaan dan simbol saja tetapi tidak melihat secara utuh komunitas adat bagaimana,” ujar Sardi.

Tak ayal, bila dalam seminar ini yang disebut-sebut masyarakat adat hanya  masyarakat Kajang, yang lainnya tidak termasuk dalam kategori masyarakat karena dianggap memenuhi unsur-unsur masyarakat adat. Padahal, menurut Sardi yang akrab disapa Ian, jumlah masyarakat adat  yang telah diverifikasi secara empiris dan valid oleh AMAN ada 88 komunitas adat itu diluar luwu Raya yang komunitas terdata lebih dari 100 komunitas Adat. Ian mengatakan definisi  tentang masyarakat adat di AMAN Sulsel kurang lebih sama dengan yang dipahami oleh Prof Hasnawi. “Barangkali pak Prof mengacu pada konsepsi defenisi masyarakat adat yang selama ini di pahami di AMAN,” katanya sambil bergurau.

Hal lain yang juga jadi bahan diskusi dalam seminar itu adalah soal hak ulayat masyarakat adat. Para narasumber mengakui ada hak ulayat masyarakat adat yang harus dilindungi dan hal itu telah dinyatakan secara jelas dalam konstitusi dan UU Pokok Agraria (UUPA). Namun yang jadi soal, sebagaimana ditegaskan Arman dalam seminar tersebut yang juga aktivis AMAN Sulsel, peminggiran hak-hak masyarakat adat termasuk di dalamnya pengelolaan sumber daya alam masih saja terjadi melalui kebijakan-kebijakn pemerintah oleh pemerintah. Misalnya  di beberapa UU sektoral (UU kehutanan)

Padahal, menurut Arman, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat secara internasional telah dinyatakan dalam deklarasi PBB tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat . Meskipun deklarasi itu hanya mengikat secara politik dan moral tetapi apabila dalam deklarasi tersebut mengulang pasal-pasal dalam beberapa  konvensi  lain maka deklarasi tersebut bisa mengikat secara hukum bagi negara pihak yang telah meratifikasinya, misalnya konvensi hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), hak sipil, politik (sipol), konvensi penghapusan diskriminasi rasial dan lain-lain yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Kritikan Arman dalam seminar tersebut tak dibantah oleh para narasumber sebab pada kenyataannya masyarakat adat masih belum mendapat perhatian yang maksimal dari pemerintah terutama soal pengakuan dan perlindungan akan hak-haknya. “ Ada kecenderungan pemerintah hanya memaknai masyarakat adat dalam konteks budaya saja tetapi sesunggunya hak-hak masyarakat adat tidak sekedar soal budaya tetapi juga berkaitan dengan hak pengelolaan sumber daya alam dan hak properti lainnya, “ ungkap Arman.     

Dari diskusi yang berkembang, para narasumber mendukung adanya Rancangan UU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat adat. Malah, Simon S. Lopang dalam paparannya, menginginkan pembuatan peraturan daerah (perda) tentang masyarakat adat dilakukan segera mungkin meski RUU yang sedang dibahas sekarang di DPR RI belum ditetapkan. “Kalau pun ada perbedaan dengan  UU yang disyahkan,  perda  yang dibuat  bisa direvisi sesuai dengan UU tersebut,” kata Simon.

Berkaitan dengan rencana pembuatan perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat oleh pemerintah provinsi Sulsel ini, Arman mengusulkan pada pemerintah agar melibatkan masyarakat adat sebagai tim dari perumus rancangan perda (ranperda) tersebut, dan  dalam ranperda itu mengadopsi hal-hal yang termuat dalam deklarasi PBB tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. (Doe - Biro Infokom AMAN Sulsel - sultan darampa.