SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Kamis, 29 September 2011

Tonrong, Komunitas Adat Penghasil Gula (2)


Kedatangan kami beserta rombongan di tengah malam buta di kawasan pegunungan dingin mencekam itu, mengundang kekagetan para tuan rumah, termasuk tetangga yang sempat mendengar “keributan” kedatangan rombongan.

Hanya kelihatannya Pak Kadus saja yang tidak terlalu kaget, karena sudah dihubungi sebelumnya oleh Dg Tiro, salah seorang CO Sulawesi Channel di Kabupaten Sinjai. Meski demikian, ia juga tidak menduga akan kedatangan kami seperti “datang tak diundang, pulang tak diantar”.

Setelah menghidup air panas, teh hangat pada menjelang tengah malam. Akhirnya Dg.Tiro menjelaskan kedatangan kami, sekaligus membuat alasan-alasan realistis kenapa rombongan ini terlambat. Muh.Arfah, yang juga Campaigner Sulawesi Channel di Kawasan Bowonglangi, menambahkan, bahwa kedatanganku bersama seorang kawan, yang tiba-tiba muncul di rumahnya di Tanah Lembang, sebuah desa berpenduduk ramai yang menghubungan antara Torong dengan jalur lintas Kabupaten Gowa – Kabupaten Sinjai.

Dengan sedikit basah kuyub, saya menjelaskan, kenapa kami berdua datang tanpa mengontak sebelumnya. Saya pun berkilah, memang begitulah karakter kami, laksana hantu yang dapat muncul di tempat yang berbeda, (baca : konyol).

Kembali, di hadapan Pak Kadus, saya mengakui keterlambatan untuk menfasilitasi dusun ini didalam pengorganisasian rakyat, karena berbagai alasan dan teknis. Dimana memang sebelumnya, justru Pak Kadus yang mengharapkan kedatangan rombongan.

Tapi sempat juga terjadi penjelasan yang panjang dan lebar, malah lebar sekali, karena kedatangan kami dikira membawa peti bantuan, atau gerobak proyek, seperti PNPM, atau program-program lainnya. Saya pun menjelaskan, jangan program atau proyek, kedatanganku pun hampir tidak mampu sampai, karena bekal perjalananku, yang berupa uang pembeli bensin juga nyaris tidak mencukupi, jadi apalagi mau membawa bantuan.

He he he,…dengan kondisi ini, nyaris warga dusun tidak percaya, apalagi tampang kami sedikit lebih jumawa, lebih sejahtera,…memang kalau melihat dari tampang sih, kayaknya memang banyak konglomerat yang kalah telak.

Tapi bicara soal kantong,…maaf, blong.

Setelah penjelasan berliku-liku, penduduk pun mengerti, selain mengerti niat baik kami, juga dapat memaklumi bahwa rombongan kami datang tidak untuk minta sumbangan, apalagi kalau mau pulang tentu tidak berharap membawa hasil-hasil bumi, seperti cengkeh, kopi, atau beras.

Kecuali kami dibekali dengan perasaan gembira, perasaan harapan bagi penduduk, dan tentu juga membawa dua kardus gula merah yang hamper tujuh kiloan. Saya pun sebenarnya pura-pura menolak, alasan tidak perlu,….meski sebenarnya pikiranku sangat mengharap,…karena siapa yang mau kasih kita gula mera secara gratis, lagian penduduk setempat kalau bicara soal gura merah tentu mereka sangat berlebihan, malah surplus, karena memang itulah penghidupan utama bagi mereka, malah sudah terjadi secara turun-temurun.

Dengan pura-pura sok suci, saya berkomentar, janganlah ibu-ibu membiasakan diri menyogok kami gula merah kalau mau pulang, karena tentu saya sangat berat datang kembali, karena jangan-jangan kedatanganku justru karena mengharap imbalan.

Tapi dia lantas menjawab, jangan engkau tolak pemberian penduduk kampung ini, karena itu bagian dari sebuah skenario penghinaan terhadap warga setempat. Alhasil, saya pun menerima denganya riang gembira, dengan mimpi-mimpi ketika sampai nanti di rumah, tentu istriku akan segera membuat kue agar-agar yang merupakan makanan mewah bagi saya dan anak-anakku.

Itulah Tonrong, sketsa wajah pedusunan yang lestari, dengan masyarakat yang ramah dan tenteram,…(sultan darampa*) 

Senin, 26 September 2011

Tonrong, Komunitas Adat Penghasil Gula (1)


Pedusunan Tonrong yang terletak di perbatasan Sinjai – Bone, di Desa Terasa, Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai – Sulawesi Selatan, merupakan pedukuhan yang memiliki sejarah panjang, dengan penghuni pertama sejak zaman Puangta ri Terasa masih memerintah, kemudian dilanjutkan di zaman pergolakan Di/TII hingga zaman modern seperti sekarang ini.

Dari sekian dekade tersebut, penghidupan komunitas adat Tonrong pun tidak pernah bergeser, meski memang juga terus mengikuti perkembangan, utamanya soal politik tanaman pangan. Jadi kondisinya saat ini, selain masih menggeluti penghasilan gula aren, juga mereka telah berhasil menanam cengkeh, kakao, kopi dan aneka tanaman tahunan lainnya.

 Star dari Makassar dengan menggunakan roda dua, sekitar jam 04.00 subuh melalui rute Makassar – Malino – Tondong (Sinjai). Tiba di Manipi sekitar jam 11.00 siang, dimana sebelumnya transit di kawasan wisata Pinus Malino, menikmati  mie isntansi dan gogos, setela hujan agak reda, kemudian melanjutkan perjalanan dengan potong kompas Kanreapia – Manipi.

Dari Manipi, ibukota Kecamatan Sinjai Barat, sekitar 10 Km kearah timur. Lalu berbelok ke utara (kiri), memasuki Arango, dan dari Arango secara perlahan menembus sekatan-sekatan pegunungan terjal yang merupakan batas Sinjai – Gowa.

Dari Arango, lalu terus ke utara hingga memasuki Desa Bontosalama, yaitu Tanah Lembang. Dari ibukota desa ini, berbelok ke arah timur, (setelah melewati pasar desa dan disamping lapangan), karena beberapa berhenti, maka saya mencapai Tanah Lembang sekitar jam 07.00 malam. Sesudah beristirahat di rumah salah seorang tokoh pemuda disitu, Arfah Cakkari, dengan hujan yang gerimis, maka perjalanan dilanjutkan ke Turunan Baji.

Turunan Baji adalah sebuah perkampungan tua, yang istilah adatnya adalah Soppeng, dan tiba di rumah kawan, Dg.Tiro, yang juga adalah Fasilitator Sulawesi Channel bersama Arfah, sekitar jam 07.30 wita. Setelah mendapat suguhan teh hangat, maka perjalanan motor dilanjutkan hingga diujung perkampungan.

Dari ujung Turunan Baji, perjalanan dilanjutkan dengan kedua tungkai kaki yang sudah mulai loyo, apalagi seharian diguyur hujan, tapi karena semangat ’45, maka ayunan kakipun diteruskan diantara kelamnya malam, dan kelamnya hutan-hutan rakyat.

Lepas hutan-hutan rakyat, saya bersama 3 kawan lain, memasuki hamparan persawahan, dengan hanya mengandalkan lampu HP, kami terus menyusuri pematang-pematang mungil (ciri persawahan di dataran tinggi).

Entah sudah berapa lama melangkah sambil menghindari terjangan anjing-anjing liar yang terus mengaung menengkas suara air deras DAS Tangka / Tanggara’. Dan setelah memastikan diri tiba di pinggiran sungai, maka kami menyeberangi jembatan gantung yang baru saja dibangun masyarakat atas pembiayaan dari proyek PISEW-PNPM.    

Lepas jembatan gantung yang sekitar 80 meter panjangnya itu, kami dihadang pendakian yang sangat panjang (bagi ukuran kami). Saya pun ngos-ngosan, apalagi tidak ada persiapan pemanasan sewaktu masih di Makassar.

Saya tertinggal cukup jauh di belakang, karena berbekal kerel / rangsel dengan peralatan pelatihan, sehingga tidak mampu mengejar kawan-kawan, apalagi factor usia yang memang sangat menentukan daya tahan perjalanan. Karena rasa kepedulian yang tinggi, ransel terpaksa dioper kawan lain.

Alhamdhulillah, sekitar 30 menit kemudian, sekitar pukul 10.30 malam, kami mendapat sambutan yang sangat meriah, yaitu gonggongan anjing dari rumah ke rumah. Sambutan ini justru menambah semangat kami melanjutkan langkah membela pedukuhan itu.

Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah Kepala Dusun Tonrong, Syarifuddin, yang terletak di tengah-tengah perkampungan. (sultan darampa)