SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Kamis, 27 Oktober 2011

ULLA : Kuburan Hindu dan Kremasi Mayat (sesi I)


Kuburan tua yang diperkirakan masih zaman hindu yang terletak di Komunitas Adat Ulla. Komunitas ini juga masih memelihara dan menjaga makam tersebut.
Gambar kedua adalah kawasan PATTUNUANG. Disini dulu tempat yang dizakralkan untuk pembakaran mayat (dikremasi) masih zaman sekitar sebelum Islam masuk di Kerajaan Bone-Sulsel.  

Ulla yang terletak di Desa Mattirowalie, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan adalah komunitas adat yang masih kuat mempertahankan tradisi dan kebiasaan nenek moyangnya masa silang. Selain masih melestarikan ritualnya, juga secara turun-temurun mengelola sumber daya alamnya berdasarkan tata cara melalui hukum adat yang mereka anut secara ketat pula.

Untuk mencapai komunitas local ini, membutuhkan waktu 5 – 6 jam dari Ibukota Kabupaten Bone, Watampone, dengan kendaraan roda dua.

Ulla tidak diketahui pasti kemunculannya, tapi dari berbagai versi, kata ulla sendiri diambil dari “ular”. Artinya awalnya kampung atau ekosistem, ataupun komunitas tersebut dinamai Ulla karena di daerah itu memiliki banyak sekali ular, sehingga dalam perjalanannya orang-orang Ulla dan keturunannya tidak dibolehkan membunuh ular, malah “dipimmalikan” menyebut nama ular, tapi tentu dengan istilah lain.

Komunitas ini masih dijumpai bukti-bukti sejarah masa silam, utamanya alam dan benda-benda yang tak bergerak lainnya, diantaranya adalah :

Pattunuang. Tempat ini dikhususkan untuk tempat kremasi, dimana orang-orang ulla tempo dulu, kira-kira masih zaman batu, ketika sudah meninggal, mayatnya langsung di bakar pada satu tempat.

Kata Pattunuang itu berkosa kata, tunu dan awal Pa dan akhiran ang, dimana kata tunu diartikan bakar, dan awal Pa dan akhiran ang itu, adalah kata bantu yang menunjukkan keterangan tempat. Jadi pengertian Pattunuang adalah tempat membakar, dank arena tempat ini telah disakralkan secara turun-temurun, maka Pattunuang itu dipercaya sebagai tempat me-kremasi mayat-mayat anggota komunitas yang telah meninggal.

Berdasarkan cerita turun-temurun warga Ulla, pernah suatu ketika ada seorang warganya, diperkirakan salah seorang pemimpin komunitasnya, ketika sudah meninggal mau dikremasi di Pattunuang.  Tetapi setelah berlangsungnya pembakaran, dan kemudian didiamkan beberapa hari lamanya, ternyata mayat tersebut tidak hangus oleh api. Akibat peristiwa tersebut, maka ritual ini diulangi beberapa kali ternyata hasilnya tetap sama, mayat tetap tidak tersentuh oleh opi, tetap utuh dan sama sekali tidak rusak.  Berdasarkan perisitwa ritual tersebut, maka akhirnya kesepakatan adat diputuskan bahwa mayat tersebut sebaiknya di kuburkan, dan sejak saat itu, kemudian masyarakat mulai mengenal istilah penguburan bagi warga komunitas yang sudah meninggal.
   
Kuburan kuno (sebuah kuburan kuno yang bentuknya menghadap ke barat). Kuburan ini diindikasikan masih zaman hindu kuno, dan berdasarkan berbagai literature  yang ada bahwa jika bentuk kuburan tersebut menandakan masyarakatnya sudah mengenal istilah agama dan kepercayaan, jadi bukan lagi animisme yang mempercayai pohon, matahari atau lainnya sebagai sesembahan utama. 

Batu nisan pada kuburan tua ini berwarna merah, kelihatan sangat kuat, seolah-olah tidak lapuk oleh zaman, sementara ukuran kuburan ini lebih besar dari ukuran rata-rata kubur manusia Indonesia, lebih panjang, sehingga masyarakat mempercayainya bahwa sang mayat memiliki postur tubuh yang lebih tinggi atau besar.

Sayangnya, kuburan ini tidak dilengkapi dengan artepak atau bukti-bukti sejarah dalam bentuk lain, dan di batu nisan tersebut, tidak tertulis ataupun petunjuk yang dapat dijadikan pegangan pada tahun ke berapa atau pada zaman ke berapa kuburan ini dibuat.

Mattiro Sompe.
Sebuah puncak yang untuk melihat seluruh dataran-dataran, ataupun lembah-lembah yang ada di sekitarnya, malah dapat memandang pantai dan samudra, utamanya di Malam hari. Penamaan Mattiro Sompe itu diawali ketika kepala adat Ulla mengejar rombongan penculik yang membawa lari anak gadisnya, dimana pada puncak tersebut mereka (rombongan pengejar) ini berhenti, dan memandang kapal penculik telah berlayar. Mattiro diartikan sebagai memandang (melihat) dari jauh, sompe artinya orang yang pergi merantau, atau sompe juga diartikan layar kapal yang telah dibentangkan (pengganti mesin kapal).

Disinilah kepala adat bersumpah bahwa dengan penculikan tersebut tidak akan pernah lagi ada gadis yang lahir di Ulla dengan kecantikan yang luar biasa. Sumpah ini lahir karena sikap angkara sang pimpinan adat yang kecewa lantaran kecantikan anaknya yang dianggap menyerupai bidadari itu merupakan sumber bencana, diculik, di bawa lari. Sumpah ini konon sangat bertula, pada satu dasawarsa tertentu, setiap anak perempuan yang lahir dengan kecantikan yang luar biasa, pasti dalam waktu dekat meninggal, tidak ada yang panjang umur.(bersambung - sultan darampa)