SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Selasa, 18 Juni 2013

Bedah Rumah Polres Buton


Dalam rangka menyemarakkan HUT Bayangkara yang jatuh 1 Juli 2013 mendatang, dan peringatan pelayanan prima, maka Kepolisian Resort (Polrers) Buton menggelar sejumlah bakti sosial, diantaranya adalah bedah rumah yang kurang layak huni.
    Bedah rumah yang dilaksanakan di Desa Boneatiro, Kec.Kapuntori dipimpin langsung oleh Kapolres Buton, AKBP H.Fahrurrozi. “Kegiatan serupa sudah yang kelima kalinya diadakan, dan sudah delapan rumah yang di bedah, termasuk empat buah rumah yang ada di Desa Boneatiro,” katanya.
    Tujuan dari bedah rumah ini adalah untuk membantu ekonomi masyarakat, utamanya yang kurang mampu, termasuk meringankan beban ekonominya dengan cara memperbaiki rumah-rumah tempat tinggalnya.
     “Maksud kegiatan ini adalah agar ada kedekatan antara masyarakat dengan polisi, ada trust (kepercayaan) yang terbangun antara keduanya, termasuk menyerap keluhan dan permasalah-permasalah yang dialami masyarakat langsung dari tingkat bawah,” mantan Kabag Humas Polda Sulawesi Tenggara ini.
    Keempat rumah tangga tersebut selain mendapatkan bantuan perbaikan rumah, juga diberi bantuan dua sampan bagi dua kepala keluarga, dan 20 ekor ayam bagi dua kepala keluarga yang lain. Keluarga yang dapat sampan ini, karena keduanya hidup dari nelayan.
    Fahrurrozi mengakui, sebelum tim bedah rumah turun ke lapangan, atau sebelum penentuan lokasi dan rumah yang akan dibeda, maka terlebih dahulu turun survey, seperti yang dilakukan oleh Kapolsek dan Tripika Kapuntori.
    “Disamping itu, juga pihak kita mencermati keseharian warga yang akan dibeda rumahnya. Untuk memastikan tidak salah program, sehingga nantinya program bedah rumah betul-betul yang memiliki rumah yang tidak layak huni lagi,” imbuhnya.
   Selain bakti sosial dengan cara bedah rumah, kegiatan lainnya adalah sunnatan massal yang ditaretkan 200 orang anak, dan pengobatan massal bagi warga Kab.Buton, dan bagi-bagi sembako.
    “Event sosial seperti ini memang sumber dayanya diambil dari zakat mal bagi anggota Polres Buton, juga ada sumbangan dari masyarakat dan pihak lain yang tidak mengikat,” jelasnya.
    Jadi peringatan HUT Bhayangkara ini juga dimeriahkan dengan kegiatan olaharga, seperti bola volley dan tennis meja (khusus untuk internal), sedangkan kegiatan lainnya yang dapat diikuti masyarakat (eksternal) adalah tennis meja, dan beberapa cabang lainnya.
    “Acara puncak 1 Juli mendatang diadakan panggung hiburan di Pasar Wajo, sehingga masyarakat dapat menikmati acara hiburan tersebut,” katanya, seraya menambahkan dengan kegiatan seperti ini, maka tercipta hubungan yang baik, harmonis dan saling mendukung antara masyarakat dengan Polri. (nining)

BAUBAU - KOTA LAYAK ANAK

Baubau menyandang sekian banyak pengistilahan dalam pertumbuhannya dan silang strategisnya, mulai dikenal sebagai kota budaya dengan benteng keratonnya yang monumental, juga dikenal sebagai kota jasa, kota transit, dan lainnya.
    Sebagai kota transit, yang merupakan pintu gerbang teramai Indonesia timur setelah Makassar, maka Baubau tentu memiliki keragaman latarbelakang penduduknya, baik asal muasal, latarbelakang ras, suku, maupun latarbelakang profesionalisme.
     Seiring keragaman tersebut, maka pertumbuhan penduduknya pun juga semakin berkembang, apalagi kalau dibanding dengan kabupaten tetangganya, Baubau memang menjadi poros, termasuk diantranya adalah pusat pendidikan bagi wilayah peyanggahnya.
     Berdasarkan fakta-fakta itu, maka sungguh layak kalau Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Kerukunan Keluarga Berencana Nasional (BKKN) Kota Baubau, Darussalam, S.Sos.,M.Si., mencanangkan kota ini sebagai kota layak anak.
     “Salah satu tugas layanannya PP dan BKKBN ini adalah memperhatikan kondisi kebutuhan anak-anak, mulai dari anak-anak sekolahan, anak putus sekolah, pengamen dan anak-anak jalanan, akan diberdayakan,” ujarnya.
     Menurutnya, kota layak anak itu diartikan sebagai bahwa setiap anak, apa pun status sosial dan status pendidikannya, merasa aman, merasa nyaman, dan merasa bebas memperoleh hak-haknya sebagai seorang anak.
     “Sang anak merasa aman ketika berada di sekolah, atau merasa nyaman ketika berada di ruang-ruang publik,” ujarnya, seraya mencontohkan bahwa ketika seorang ibu melepas anak-anaknya ke sekolah, tidak merasa khawatir lagi. Sang ibu merasa aman ketika anaknya dalam perjalanan, karena dia percaya bahwa sepanjang perjalanannya dari rumah hingga di sekolah, ada polisi, ada Satlantas, ada pamongpraja, ada petugas perhubungan, dan memang ada petugas sekolah yang secara khusus ditempatkan di jalan-jalan masuk ke sekolahnya.
     Olehnya itu ke depan, dalam menjadikan Baubau sebagai kota layak anak ini, bukan hanya tupoksi dari PP dan BKKN semata, tetapi juga lintas instansi, ada kerjasama dengan Kepolisian, Dinas Perhubungan, Satpol PP, Dinas Pendidikan, dan pihak-pihak lain, termasuk kelompok-kelompok sosial masyarakat.
    Bahkan katanya ke depan, kota layak anak ini bukan hanya sekedar bicara tentang hak anak, tetapi juga bicara tentang kewajiban-kewajiban pemerintah, misalnya bagaimana pihak Badan Catatan Sipil dapat memberikan akte kelahiran secara gratis, atau kepengurusannya mendapatkan akte tidak berbeli-belit.
    Jadi katanya untuk memenuhi berbagai persyaratan untuk menjadi Baubau sebagai kota layak anak, pihaknya sendiri, sudah pernah melakukan studi banding di Kota Surakarta, Solo, karena memang kota ini merupakan kota layak anak terbaik di Indonesia.
   Selain itu, alumni S2 Unhas ini mengungkapkan bahwa BKKBN yang dipimpinannya juga mencanangkan program “Genre” (generasi berencana). “Genre diharapkan para anak-anak didik, generasi dini, sudah harus mampu merencanakan segala sesuatunya ke depan, yang tentu berhubungan tugas-tugasnya, baik sebagai anak, maupun sebagai pelajar,” jelas pria kelahiran Bonebone 21 Mei 1971 ini.
    Show forcenya melalui pramuka saka kencana. Katanya, nanti disana diperkenalkan secara meluas tentang gerakan Genre bagi anak-anak pelajar ini. “Untuk penyiapan awal, maka terlebih dahulu dibentuk kesatuan pada tingkat sekolah, dan saat ini semua SMA di kota ini sudah terbentuk organisasi Genrenya, dan selanjutnya pada tingkat SMP dan SD,” jelasnya. (nining)

KOMUNITAS ADAT RONGI


Sungguh wajar kalau Buton, bekas Kesultanan Al Buthuuni, dikenal sebagai negeri seribu benteng. Kali ini yang mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Buton adalah Benteng Rongi. Sebuah lingkungan benteng yang terletak di Kecamatan Kapuntori, sekitar 30 Km dari pusat Kota Baubau – Sulawesi Tenggara.
    Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten, Drs.H.Lutfhi Hasmar mengungkapkan bahwa Matana Srumba (sistem pertahanan) dulunya dibuat khusus untuk mencegah serangan dari laut, utamanya bagi bajak laut. Tetapi dalam perkembangannya, benteng ini juga berfungsi baik dalam sistem pertahanan Kesultanan Buton secara keseluruhan.
     Benteng ini memiliki panjang keliling 700 meter, tingginya antara 1,5 – 2 meter, serta tebalnya rata-rata 50 cm atau lebih. “Ada 17 KK khusus dalam benteng ini, atau 56 kepala keluarga. Warganya memang adalah keturunan para pasukan elit Kesultanan Buton,” ujarnya.
     Ia membenarkan bahwa khusus dalam benteng ini masih terjaga rumah-rumah tradisonil khas Buton, yang dapat dilihat dalam dua bentuk, yakni malige yang dulunya dikhususkan bagi para kalangan atas kesultanan, juga dengan rumah biasa yang dibangun oleh masyarakat.
    Selain kedua model rumah tersebut, benteng ini juga dilengkapi dengan baruga (balai rumpun keluarga), dimana orang-orang dulu menggunakan sebagai tempat musyawarah besar, baik yang dilakukan oleh penghuni benteng itu sendiri, maupun karena oleh Sultan Buton sendiri.
     Sebelum musyawarah untuk keluarga besar yang dilakukan di baruga ini, terlebih dahulu rumpun keluarga kecil melakukan musyawarah di galampa (koja-koja). “Dulu rata-rata satu rumpun kecil juga memiliki galampa, yang diperuntukkan untuk musyarawah khusus satu turunan, kemudian di bawahnya hasil rapat tersebut ke rapat yang lebih besar yang digelar di baruga,” jelas Lutfhi.
     Dalam baruga ini tidak melulu yang dibicarakan soal-soal pertahanan, atau soal kesultanan, tetapi masyarakat juga dapat menggunakannya, utamanya dalam penentuan hari (jadwal) yang terbaik kapan memulai menanam padi di kebun.
     “Dulu keputusan di baruga sangat dihargai, tidak boleh ada yang melanggar dari keputusan, karena ada sanksinya, diantaranya adalah diusir dari kampung,” kenang Lutfhi. Menurutnya, selain hal tersebut, juga penentuan kapan seseorang (petani) sudah pindah ke lokasi lain untuk berkebun, karena kebun lamanya tidak subur lagi.
    Jadi sistem rotasi berkebun juga dibicarakan dalam baruga. “Setelah genap tiga atau lebih tinggalkan kebun lamanya, maka sang petani bisa kembali menggarapnya karena dianggapnya sudah subur kembali. Tapi itu semua melalui keputusan di baruga atau galampa,” jelasnya.
    Ia mengaku salut atas tatanan dan system adat yang berlaku dalam masyarakat Rongi, termasuk warga yang ada dalam benteng.  Bahkan katanya perilaku dan bicaranya juga dijaga, sesuai adat yang berlaku.
   “Masyarakat adat Rongi dikenal sangat irit kalau bicara, tidak suka sembarang bicara. Malah kalau ada tamu, atau orang asing yang datang ke wilayahnya, dimana orang asing itu tidak dapat langsung bertanya ke warga, selain karena tidak dapat jawaban, juga memang ada pos yang khusus menerima tamu yang kemudian baru disalurkan ke warga yang dituju tamu tersebut,” ceritanya.
    Karakter ini dibenarkan karena memang dalam sejarah panjang komunitas ini sebagai garis perang terluar dari wilayah keamanan Kesultanan Buton. “Kalau ada yang bertanya, mereka tida diladeni, karena selain tidak dikenal orangnya, juga warga selalu memunculkan dua pertanyaan, apakah orang tamu ini lawan atau kawan,” sambungnya.
   Dengan situs benteng yang masih utuh, lengkap dengan situs pendukung lainnya sebagai bentuk pertahanan yang kokoh, termasuk penghuninya, maka Rongi harus mendapat perlindungan akan kelestariannya dari semua pihak, termasuk Pemkab Buton sendiri. (sultan darampa)