SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Kamis, 28 Februari 2013

DI KAKI LANGIT LAPPARIA



Di bawah kaki langit, di menaranya seolahnya menyentuh langit, terhampar kuasa Pencipta Alam semesta yang begitu elok, hijau menghitam, dan seolah berselimut permadani. Dan sesekali halimun putih membungkus puncak-puncak Bowonglangi’, dimana anak-anak bukitnya mengempung lembah Lapparia seolah benteng alam yang bersiaga sepanjang abad.
    Itulah gambaran yang pas bagi Dusun Lapparia Desa Bontoriu, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Sebuah pedukuhan yang menyendiri sejak ratusan tahun yang silam, dimana kedamaian dan ketenteraman warganya seolah tak terpengaruh perkembangan zaman yang mengepungnya di belakang bukit-bukit yang mengeliling pedukuhan ini.
     Seorang tetua adat, yang juga Kepala Dusun Lapparia, Puang Caggi, ketika ditemui tim susur gunung Forum Passikarimanggiang Anak Tombolo Pao (PATP) mengaku berterima kasih atas kunjungan sekelompok anak-anak muda penjelajah gunung.
     “Kami disini tidak banyak tuntutan kebutuhan, selain hanya menginginkan adanya jalan tembus menuju ke induk kecamatan (Bontoncani-Bone, Tampolo Pao–Gowa, red), agar hasil-hasil bumi kami tidak usah lagi dipikul untuk keluar dari dusun ini,” pintanya.
    Pria yang berusia 60 tahun lebih ini, juga selama beberapa tahun diresahkan oleh sekelompok orang yang datang menjarah kayu-kayu di hutan adat mereka, atau di hutan lindung pada batas Bone – Gowa. Sementara pihaknya sendiri terus menjaga hutan tersebut, tanpa pernah menyentuhnya.
     Karena bagi warga Lapparia, hutan selain sebagai sumber kehidupannya, utamanya untuk kebutuhan rumah tangga skala sangat kecil, hanya sekedar kayu bakar, (ranting-ranting), juga hutan baginya merupakan sumber air, baik untuk kebutuhan keperluan sehari-hari, seperti minum, memasak dan mandi, lebih-lebih sebagai air baku untuk irigasi persawahan mereka.
    Sementara lahan-lahan kritis, atau lahan yang tidak memiliki ekosistem hutan, atau hanya hutan perdu, atas izin dari Dinas kehutanan dipinjampakaikan kepada warga untuk diolah menjadi areal produktif.    
    Warga Lapparia adalah sebuah komunitas adat yang hidup secara turun temurun, dengan tetap mempertahankan tradisi leluhur mereka, meski memang seolah terpisah dari dunia luar. (ardi) 

Menengok Komunitas Adat Lapparia




Untuk mencapai dusun eksotik ini,  sebaiknya anda menempuh jalur Kabupaten Gowa. Kalau star dari Makassar – Sulawesi Selatan, kira-kira pukul 09.00 pagi wita, menuju selatan, jalur Sungguminasa (Ibukota Kab.Gowa). Lalu dari Sungguminasa, arah timur menuju Malino (kota sejuk di jazirah Pegunungan Bawakaraeng – Lompobattang).
     Malino dapat ditempuh dengan mobil atau motor kira-kira 2 jam hingga 2,5 jam. Kota Wisata Malino ini berdiri sejak ratusan tahun yang silam, masih zaman kolonial, anda dapat menikmati kota ini sambil mencari warung bersantap siang.
     Setelah berpuas diri di Kota Bunga ini, kendaraan anda arahkan sedikit ke utara, membelah Kota Malino, yang kemudian menuju kawasan pasar, yang selanjutnya tembus di kawasan wisata Hutan Pinus. Atau anda menikmati makan siang di hutan pinus ini. Warung-warung dengan aneka menu dan gaya makanan, termasuk yang vegetarian, dapat menikmatinya disini.
     Dari Hutan Pinus Malino,  pastikan kendaraan anda melaju dengan kecepatan pelan menuju poros Kabupaten Sinjai. Dan setelah kira-kira 1,5 jam digoyang “ombak darat” dari dalam mobil, anda akan memasuki kota kecil nan mungil tetap asri, Tombolo (Tamaona), ibukota Kecamatan Tombolo Pao. Suatu kawasan yang terletak di bagian timur Kabupaten Gowa, berbatasan dengan Kab.Sinjai, Bone di timur laut, dan Jeneponto di sebelah tenggara.
    Begitu memasuki Tombolo (Tamaona), setelah melewati kawasan berkabut tebal, atau kawasan hortikultura terbesar di Indonesia timur ini, Kelurahan Kanre Apia, anda dapat istirahat sejenak, dan mempersiapkan segala peralatan, termasuk untuk keperluan jalan kaki atau dengan sepeda motor.
    Untuk menembus dusun cantik ini nantinya, kendaraan roda empat (mobil dan truk) tidak berguna sama sekali. Karena medan jalan yang lebarnya tidak lebih hanya satu meter, dan badan jalan yang masih terdiri tanah merah, bukan pengerasan. Maka pilihnnya hanya ada dua, yakni jalan kaki, atau naik kendaraan roda dua alias motor. Sebab, sepeda juga tidak laku disini.
     Motornya pun juga kelas khusus, karena medan yang menembus bukit yang menjulang tinggi, terletak di ekosistem Dataran Tinggi Bowonglangi’, serta ngarai yang mencapai puluhan bahkan ratusan meter, otomatis kondisi mesin motor harus stelan area pegunungan.
    Kecuali kalau memilih kendaraan yang lebih ramah lingkungan, tidak berdampak pada polusi udara, yakni naik kuda. Cuma kendalanya kalau naik kuda, selain faktor kelihaian duduk di atas pelana, juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sama persis waktu tempuh dengan jalan kaki.
    Ketika semua peralatan dan anggota tim disiapkan, dimana sebelumnya mobil sudah diparkir aman, baik di rumah penduduk, maupun di sekretariat Forum Passikarimanggiang Anak Tombolo Pao (PATO), sebuah perkumpulan generasi muda untuk lingkungan hidup dan cinta gunung.  
    Maka tim mengambil jalan ke timur. Dari Kota Tombolo menuju Desa Ere Lembang, merupakan desa pertama yang ditemui dan terakhir dalam wilayah Kab.Gowa. Untuk mencapai Ere Lembang membutuhkan waktu 1,5 jam untuk kendaraan bermotor, dan untuk jalan kaki, (ukuran biasa, bukan ukuran kemampuan penduduk setempat), maka dapat ditempuh sekitar empat hingga lima jam.
     Dalam jalur ini, anda dapat menikmati sawah-sawah bertingkat-tingkat, bahkan seolah petakan sawah irigasi alam itu mencapai ujung bukit yang sudah terlihat membiru. Dan sesekali melihat penduduk yang berjalan dalam balutan halimun yang terkadang turun tak terduga.
     Melewati Ere Lembang, maka anda disuguhkan jalan simpang tiga, batas Kabupaten Bone – Gowa. Dua arah lainnya menuju Desa Pangusuren, dan satunya lagi menuju Desa Bontoriu. Tapi untuk Desa Pangusuren, jaraknya terlampau panjang.
     Untungnya di tapal batas ini tidak ada pos jaga, yang akan menginterogasi dan memintai tanda pengenal anda. Cukup anda membaca papan pengumuman yang ditancapkan di pinggir jalan. Kata-katanya singkat sekali, dua patah kata terlukis warna hitam diatas papan warna merah, “Batas Bone”.
     Mungkin memang tidak ada makna simbolik atau makna mistik pada warna papan, atau warna tulisan tersebut. Tetapi yang jelas, sepanjang pengetahuan warga, sudah berpuluh kali pergantian pimpinan daerah (kepala daerah), belum ada yang pernah menginjakkan kakinya di tapal batas ini, apalagi Gubernur Sulsel, bahkan kepala pemerintahan kecamatan (baik Bone maupun Gowa) juga masih diragukan kalau ada yang pernah berkunjung kesini.
     Setelah mengambil nafas dan mendinginkan keringat, serta menservice motor, maka perjalanan pun dilanjutkan,  dengan mengambil jalur Desa Bonto Riu.
    Pemandangan hampir seruga juga terlihat disini, cuma bedanya, disuguhkan hutan-hutan alam yang masih perawan, dan kondisi jalan sedikit lebih lebar meski masih tetap jalan tanah.
     Walau keringat bercucuran di badan, tetapi suasana terasa menusuk kulit, dingin, dan sedikit mencekam, ditambah suara-suara penghuni hutan yang berceloteh tentang kedamaian. Suatu pengalaman yang jarang ditemui di tempat lain.
    Untuk mencapai dusun terdekat, anda membutuhkan waktu dua jam lagi untuk mencapai Lapara’, atau kalau jalan kaki sekitar dua hingga empat hingga lima jam. Disinilah tujuan akhir dari rute perjalanan kali ini, dimana memakan waktu tempuh sehari penuh kalau starnya dari Makassar.
     Di Lapara’ anda dapat menyaksikan sebuah pedukuhan yang elok, cantik, alami dan belum tersentuh peradaban modern, kecuali para pencuri kayu (baik skala kecil maupun besar) yang terkadang mondar-mandir di sekitar dusun ini.
      Penduduknya pun ramah-ramah, tetapi kalau mau berkomunikasi dengan mereka, sebaiknya jangan menggunakan Bahasa Indonesia, karena sudah dipastikan komunikasi dua arahnya tersendat-sendat, bahkan bisa salah paham.
    Untuk itu, lebih bijak menggunakan Bahasa Bugis saja, atau Bahasa Konjo. Kalau anda lancar menggunakan salah satu dari bahasa ini, maka dipastikan pula, anda adalah bagian dari warga itu sendiri. Suasana kekeluargaan dan sikap ramah tamah penduduk segera tampak, bahkan tidak perlu menunggu lama untuk bersantap makanan dari tuan rumah.
     Sebaliknya, jika anda tetap ngotot memperlihatkan ciri “keindonesiaan”, berbahasa Indonesia, bukan hanya anda kurang diterima, tetapi bisa juga menimbulkan prasangka yang kurang mapan di hati anda. Bisa saja dicurigai sebagai orang yang akan merampas hak kekayaan alam di sini, atau dicurigai bahwa anda adalah illegal logger, pembalak, pada hutan-hutan alam yang mereka jaga selama ratusan tahun ini.
   Kalau anda sudah rukun dengan warga setempat, silahkan bermalam seenak hatinya, berapa malam pun tak masalah. Soal makan (beras, sayur dan lauk pauk lainnya) tidak usah pusing, karena hasil-hasil aneka sayuran yang ada disini bisa langsung dipetik  dari batangnya. Berasnya pun tak perlu takut habis, cuma memang harus membantu warga memikul gabah untuk ke tempat penggilingan padi yang jaraknya cukup jauh.
   Jika sudah penyesuaian iklim disini, maka anda dapat memberi bantuan kepada warga melalui tetua adat setempat, atau kepala dusun. Diantara bantuan tersebut, bagaimana anda mengajak warga Lapara’ untuk mendiskusikan kondisi kampungnya, termasuk dalam hubungannya dengan perhatian pemerintah.
     Atau bisa juga mendiskusikan mimpi-mimpi warga, yang sudah sejak lama memimpikan jalan untuk dapat dilalui mobil. Tentu bukan mobil mentereng, cukup dengan hartop bak terbuka, dobel gardan, karena hanya mobil yang dapat mengangkut hasil-hasil panen warga ke ibu kota desa, atau ke ibukota kecamatan.
    Selama ini, hasil buminya diangkut pakai kuda, atau dengan di jinjing atau pikul. Jaraknya jinjing dan pikulnya bukan ketulungan jauhnya, sampai memakan waktu 6 – 7 jam jalan kaki, untuk tembus di Pasar Tombolo (Kab.Gowa).
   Pasar reguler warga Lapara’ setiap hari Jumat, ia turun ke Pasar Tombolo (Gowa) untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ia sengaja memilih pasar yang tempatnya sudah lintas kabupaten ini, disesuaikan dengan hari pasar besar di Tombolo yang jatuh setiap hari Jumat.
     Untuk pasar-pasar yang ada di Kecamatan Bontocani (Bone) warga memilih hari lain. Sehingga secara reguler, warga Lapara’ memiliki dua wilayah untuk akses jual belinya, selain di Kabupaten Bone juga Kab.Gowa.         
     Anda juga dapat membantu para guru SD untuk jam belajar di luar jam sekolah, atau semacam sekolah alam, dengan cara mengajak anak-anak usia SD dan SMP yang putus sekolah untuk mencoba mencerna kekayaan alam tempat tinggalnya, sekaligus memperdalam mata pelajaran sekolah formalnya.
    Sekedar informasi, penerbit Majalah ProFiles, yakni Yayasan Sulawesi Channel, tiga tahun lalu sudah mengaggas sekolah rakyat atau sekolah petani (SP) di sebuah dusun dalam wilayah Kecamatan Tombolo Pao. Sekolah ini cukup efektif ,baik bagi petani sendiri, maupun bagi anak-anak putus sekolah. Kerja sosial ini sekarang sudah mandiri dan dilanjutkan oleh tetua-tetua adat setempat.   
    Seperti SP yang ada di Tombolo Pao, maka disini, tentu dengan inisiatif dan upaya kepala dusun untuk pengadaan taman bacaan, perpustakaan kampung, dan bahan-bahan bukunya dapat dimintakan dari berbagai LSM yang ada di Indonesia. 
     Dengan sumber daya alam yang tersedia di sini, ditambah warga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalnya, maka sebuah potensi dan peluang besar untuk mengembangkan kerja-kerja sosial bagi para penggiat dan aktivis sosial.  
    Beres dengan itu, anda juga dapat mengeliling pedukuhan ini, atau kalau perlu turut menaman padi di sawah-sawah / petegalan milik penduduk. Sesudah itu, jangan lupa membersihkan badan di pancuran yang tersebar di dinding bukit yang menjadi benteng alam Lapara’.
    Jika sudah puas tinggal sementara di dusun ini, silahkan kawani penduduk turun ke Pasar Tombolo yang jarak tempuhnya sampai 6 – 7 jam dengan cara memikul atau menjinjing hasil bumi Lapara. Karena dengan pengalaman ini, maka semakin bertambah lagi warna kehidupan anda.