Untuk mencapai dusun eksotik ini, sebaiknya anda menempuh jalur Kabupaten Gowa.
Kalau star dari Makassar – Sulawesi Selatan, kira-kira pukul 09.00 pagi wita,
menuju selatan, jalur Sungguminasa (Ibukota Kab.Gowa). Lalu dari Sungguminasa,
arah timur menuju Malino (kota sejuk di jazirah Pegunungan Bawakaraeng –
Lompobattang).
Malino dapat
ditempuh dengan mobil atau motor kira-kira 2 jam hingga 2,5 jam. Kota Wisata
Malino ini berdiri sejak ratusan tahun yang silam, masih zaman kolonial, anda
dapat menikmati kota ini sambil mencari warung bersantap siang.
Setelah
berpuas diri di Kota Bunga ini, kendaraan anda arahkan sedikit ke utara,
membelah Kota Malino, yang kemudian menuju kawasan pasar, yang selanjutnya
tembus di kawasan wisata Hutan Pinus. Atau anda menikmati makan siang di hutan
pinus ini. Warung-warung dengan aneka menu dan gaya makanan, termasuk yang
vegetarian, dapat menikmatinya disini.
Dari Hutan
Pinus Malino, pastikan kendaraan anda
melaju dengan kecepatan pelan menuju poros Kabupaten Sinjai. Dan setelah
kira-kira 1,5 jam digoyang “ombak darat” dari dalam mobil, anda akan memasuki
kota kecil nan mungil tetap asri, Tombolo (Tamaona), ibukota Kecamatan Tombolo
Pao. Suatu kawasan yang terletak di bagian timur Kabupaten Gowa, berbatasan
dengan Kab.Sinjai, Bone di timur laut, dan Jeneponto di sebelah tenggara.
Begitu memasuki
Tombolo (Tamaona), setelah melewati kawasan berkabut tebal, atau kawasan
hortikultura terbesar di Indonesia timur ini, Kelurahan Kanre Apia, anda dapat
istirahat sejenak, dan mempersiapkan segala peralatan, termasuk untuk keperluan
jalan kaki atau dengan sepeda motor.
Untuk menembus
dusun cantik ini nantinya, kendaraan roda empat (mobil dan truk) tidak berguna
sama sekali. Karena medan jalan yang lebarnya tidak lebih hanya satu meter, dan
badan jalan yang masih terdiri tanah merah, bukan pengerasan. Maka pilihnnya
hanya ada dua, yakni jalan kaki, atau naik kendaraan roda dua alias motor.
Sebab, sepeda juga tidak laku disini.
Motornya pun
juga kelas khusus, karena medan yang menembus bukit yang menjulang tinggi, terletak
di ekosistem Dataran Tinggi Bowonglangi’, serta ngarai yang mencapai puluhan
bahkan ratusan meter, otomatis kondisi mesin motor harus stelan area
pegunungan.
Kecuali kalau
memilih kendaraan yang lebih ramah lingkungan, tidak berdampak pada polusi
udara, yakni naik kuda. Cuma kendalanya kalau naik kuda, selain faktor
kelihaian duduk di atas pelana, juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sama
persis waktu tempuh dengan jalan kaki.
Ketika semua
peralatan dan anggota tim disiapkan, dimana sebelumnya mobil sudah diparkir
aman, baik di rumah penduduk, maupun di sekretariat Forum Passikarimanggiang
Anak Tombolo Pao (PATO), sebuah perkumpulan generasi muda untuk lingkungan
hidup dan cinta gunung.
Maka tim
mengambil jalan ke timur. Dari Kota Tombolo menuju Desa Ere Lembang, merupakan
desa pertama yang ditemui dan terakhir dalam wilayah Kab.Gowa. Untuk mencapai
Ere Lembang membutuhkan waktu 1,5 jam untuk kendaraan bermotor, dan untuk jalan
kaki, (ukuran biasa, bukan ukuran kemampuan penduduk setempat), maka dapat
ditempuh sekitar empat hingga lima jam.
Dalam jalur
ini, anda dapat menikmati sawah-sawah bertingkat-tingkat, bahkan seolah petakan
sawah irigasi alam itu mencapai ujung bukit yang sudah terlihat membiru. Dan
sesekali melihat penduduk yang berjalan dalam balutan halimun yang terkadang
turun tak terduga.
Melewati Ere
Lembang, maka anda disuguhkan jalan simpang tiga, batas Kabupaten Bone – Gowa.
Dua arah lainnya menuju Desa Pangusuren, dan satunya lagi menuju Desa Bontoriu.
Tapi untuk Desa Pangusuren, jaraknya terlampau panjang.
Untungnya di
tapal batas ini tidak ada pos jaga, yang akan menginterogasi dan memintai tanda
pengenal anda. Cukup anda membaca papan pengumuman yang ditancapkan di pinggir
jalan. Kata-katanya singkat sekali, dua patah kata terlukis warna hitam diatas
papan warna merah, “Batas Bone”.
Mungkin memang
tidak ada makna simbolik atau makna mistik pada warna papan, atau warna tulisan
tersebut. Tetapi yang jelas, sepanjang pengetahuan warga, sudah berpuluh kali
pergantian pimpinan daerah (kepala daerah), belum ada yang pernah menginjakkan
kakinya di tapal batas ini, apalagi Gubernur Sulsel, bahkan kepala pemerintahan
kecamatan (baik Bone maupun Gowa) juga masih diragukan kalau ada yang pernah
berkunjung kesini.
Setelah
mengambil nafas dan mendinginkan keringat, serta menservice motor, maka
perjalanan pun dilanjutkan, dengan
mengambil jalur Desa Bonto Riu.
Pemandangan
hampir seruga juga terlihat disini, cuma bedanya, disuguhkan hutan-hutan alam
yang masih perawan, dan kondisi jalan sedikit lebih lebar meski masih tetap
jalan tanah.
Walau keringat
bercucuran di badan, tetapi suasana terasa menusuk kulit, dingin, dan sedikit
mencekam, ditambah suara-suara penghuni hutan yang berceloteh tentang
kedamaian. Suatu pengalaman yang jarang ditemui di tempat lain.
Untuk mencapai
dusun terdekat, anda membutuhkan waktu dua jam lagi untuk mencapai Lapara’,
atau kalau jalan kaki sekitar dua hingga empat hingga lima jam. Disinilah
tujuan akhir dari rute perjalanan kali ini, dimana memakan waktu tempuh sehari
penuh kalau starnya dari Makassar.
Di Lapara’
anda dapat menyaksikan sebuah pedukuhan yang elok, cantik, alami dan belum
tersentuh peradaban modern, kecuali para pencuri kayu (baik skala kecil maupun
besar) yang terkadang mondar-mandir di sekitar dusun ini.
Penduduknya pun ramah-ramah, tetapi kalau mau
berkomunikasi dengan mereka, sebaiknya jangan menggunakan Bahasa Indonesia,
karena sudah dipastikan komunikasi dua arahnya tersendat-sendat, bahkan bisa
salah paham.
Untuk itu,
lebih bijak menggunakan Bahasa Bugis saja, atau Bahasa Konjo. Kalau anda lancar
menggunakan salah satu dari bahasa ini, maka dipastikan pula, anda adalah
bagian dari warga itu sendiri. Suasana kekeluargaan dan sikap ramah tamah
penduduk segera tampak, bahkan tidak perlu menunggu lama untuk bersantap
makanan dari tuan rumah.
Sebaliknya,
jika anda tetap ngotot memperlihatkan ciri “keindonesiaan”, berbahasa
Indonesia, bukan hanya anda kurang diterima, tetapi bisa juga menimbulkan
prasangka yang kurang mapan di hati anda. Bisa saja dicurigai sebagai orang yang
akan merampas hak kekayaan alam di sini, atau dicurigai bahwa anda adalah
illegal logger, pembalak, pada hutan-hutan alam yang mereka jaga selama ratusan
tahun ini.
Kalau anda sudah
rukun dengan warga setempat, silahkan bermalam seenak hatinya, berapa malam pun
tak masalah. Soal makan (beras, sayur dan lauk pauk lainnya) tidak usah pusing,
karena hasil-hasil aneka sayuran yang ada disini bisa langsung dipetik dari batangnya. Berasnya pun tak perlu takut
habis, cuma memang harus membantu warga memikul gabah untuk ke tempat
penggilingan padi yang jaraknya cukup jauh.
Jika sudah
penyesuaian iklim disini, maka anda dapat memberi bantuan kepada warga melalui
tetua adat setempat, atau kepala dusun. Diantara bantuan tersebut, bagaimana
anda mengajak warga Lapara’ untuk mendiskusikan kondisi kampungnya, termasuk
dalam hubungannya dengan perhatian pemerintah.
Atau bisa juga
mendiskusikan mimpi-mimpi warga, yang sudah sejak lama memimpikan jalan untuk
dapat dilalui mobil. Tentu bukan mobil mentereng, cukup dengan hartop bak
terbuka, dobel gardan, karena hanya mobil yang dapat mengangkut hasil-hasil
panen warga ke ibu kota desa, atau ke ibukota kecamatan.
Selama ini,
hasil buminya diangkut pakai kuda, atau dengan di jinjing atau pikul. Jaraknya
jinjing dan pikulnya bukan ketulungan jauhnya, sampai memakan waktu 6 – 7 jam
jalan kaki, untuk tembus di Pasar Tombolo (Kab.Gowa).
Pasar reguler warga Lapara’ setiap hari Jumat,
ia turun ke Pasar Tombolo (Gowa) untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ia
sengaja memilih pasar yang tempatnya sudah lintas kabupaten ini, disesuaikan
dengan hari pasar besar di Tombolo yang jatuh setiap hari Jumat.
Untuk
pasar-pasar yang ada di Kecamatan Bontocani (Bone) warga memilih hari lain.
Sehingga secara reguler, warga Lapara’ memiliki dua wilayah untuk akses jual
belinya, selain di Kabupaten Bone juga Kab.Gowa.
Anda juga
dapat membantu para guru SD untuk jam belajar di luar jam sekolah, atau semacam
sekolah alam, dengan cara mengajak anak-anak usia SD dan SMP yang putus sekolah
untuk mencoba mencerna kekayaan alam tempat tinggalnya, sekaligus memperdalam mata
pelajaran sekolah formalnya.
Sekedar
informasi, penerbit Majalah ProFiles, yakni Yayasan Sulawesi Channel, tiga
tahun lalu sudah mengaggas sekolah rakyat atau sekolah petani (SP) di sebuah
dusun dalam wilayah Kecamatan Tombolo Pao. Sekolah ini cukup efektif ,baik bagi
petani sendiri, maupun bagi anak-anak putus sekolah. Kerja sosial ini sekarang
sudah mandiri dan dilanjutkan oleh tetua-tetua adat setempat.
Seperti SP yang
ada di Tombolo Pao, maka disini, tentu dengan inisiatif dan upaya kepala dusun
untuk pengadaan taman bacaan, perpustakaan kampung, dan bahan-bahan bukunya
dapat dimintakan dari berbagai LSM yang ada di Indonesia.

Beres dengan
itu, anda juga dapat mengeliling pedukuhan ini, atau kalau perlu turut menaman padi
di sawah-sawah / petegalan milik penduduk. Sesudah itu, jangan lupa
membersihkan badan di pancuran yang tersebar di dinding bukit yang menjadi
benteng alam Lapara’.
Jika
sudah puas tinggal sementara di dusun ini, silahkan kawani penduduk turun ke
Pasar Tombolo yang jarak tempuhnya sampai 6 – 7 jam dengan cara memikul atau
menjinjing hasil bumi Lapara. Karena dengan pengalaman ini, maka semakin bertambah
lagi warna kehidupan anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi