SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Kamis, 30 Desember 2010

Magombo Ada’ To Rampi : Melestarikan Nilai-Nilai Lokal


Bukti bahwa Bumi Indonesia adalah warisan dari peradaban masa lalu, masih juga dapat dilihat di komunitas-komunitas jantung Sulawesi. Komunitas adat Rampi adalah fakta-fakta yang tak terbantahkan untuk menyokong berdirinya negara Republik ini. Untuk itu, pengakuan hak-hak masyarakat adat adalah seruan wajib untuk disikapi dan ditindaki oleh pengurus negara ini.
 Makassar, (KBSC)
Magombo, atau istilah sehari-harinya adalah musyawarah adat bagi komunitas-komunitas To Rampi, yang bermukim di jantung Sulawesi.  Komunitas ini mendiami Rampi secara turun-temurun dalam bingkai kekhasan adat-istiadat yang kental dan tetapi dilestarikan hingga sekarang ini.

Rampi yang kemudian dalam wilayah administrasi pemerintahan melingkupi 7 desa yang tergabung Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Ketua Badan Pengurus Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Luwu Raya, Bata Manurung, dalam penjelasannya kepada wartawan Kantor Berita Sulawesi Channel mengatakan, tujuan dari perjalanan aktivis masyarakat adat ini dalam rangka menghadiri “seminar adat masyarakat adat Rampi, sekaligus melakukan pelantikan pengurus daerah AMAN Rampi”, tanggal 27 – 30 September 2010 lalu.

Seminar dan Pelatikan ini turut dihadiri Tokey Tongko (kepala adat), paa tokey-tokey bola se-wilayah Rampi, termasuk sespuh adat Rampi baik yang ada di Sulawesi Selatan, maupun yang berdiam di Sulawesi Tengah, serta perwakilan tujuh komunitas-komunitas adat di Rampi.

Dalam seminar yang di jadwalkan berlangsung selama 4 hari ada empat orang narasumber antara lain : (1) Dr.Dassing (Sesepuh Adat Rampi )dengan materi “Budaya Adat Rampi”, (2) Tokey Tongko (Paulus Sigi) dengan materi “Sejarah Asal Usul Masyarakat Adat Rampi”, (3) Rizal (Ketua AMAN Wilayah Sulteng) dengan materi “FPIC dan REDD”,  (4) Bata Manurung dengan materi wajib  AMAN “Arah Gerakan AMAN dan UNDRIP”.

Setelah dari empat narasumber ini menyajikan materinya dalam waktu dua hari, langsung di lanjutkan pada pembagian kelompok kerja. Pokja ini di bagi empat antara lain :
·         Pokja Asal Usul Masyarakat Adat Rampi
·         Pokja Budaya Rampi
·         Pokja Batas Wilayah Adat Rampi
·         Pokja Hukum Adat Rampi

Pokja ini bertugas selama Satu setengah hari untuk membahas tugas masing-masing dan di plenokan sebagai hasil yang akan di tindak lanjuti oleh Pengurus AMAN Daerah Rampi bersama dengan pemangku adat Rampi dan masyarkat adat Rampi untuk di rampungkan menjadi profil lengkap Masyarakat Adat Rampi.

Juga ada beberapa rekomendasi dari seminar yang akan di tindak lanjuti :
·         Pemetaan Wilayah Adat Rampi,
·         Penyelesaian kasus Tanah Kampong Tua To Boru yang di tukargulingkan dengan PT BOSOWA.

Dengan demikian, eksistensi komunitas-komunitas adat To Rampi akan terus lestari sepanjang masa, sepanjang bumi hijau dan langit biru.   (sultan darampa)

Sukses Lestarikan Hutan, Cukup Pandangi Saja


Bukti masyarakat mampu melestarikan hutan kini datang lagi dari Dusun Palulung dan Dusun Sapiriborong, Desa Balasuka, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Masyarakat atas nama kelompok tani hutan, telah sukses melestarikan hutan seluas 250 hektar, ditambah 5 hektar hutan adat, dan mempertahankannya dari pembalakan liar hingga kini, sekitar 15 tahun lamanya sampai masa siap tebang.

Makassar, (KBSC).
Kawasan hutan yang tidak produktif lagi karena pemanfaatan kayunya oleh masyarakat sekitar 1960-an, masih zaman kekaraengan, telah mengakibatkan ekosistem hutan ini gundul, dan kelihatannya hanya kelompok-kelompok hutan sabana.

Kemudian sejak 1997, berbagai program pemerintah masuk ke kecamatan itu, akhirnya atas adanya program padat karya dengan penanaman pohon untuk masyarakat, maka beramai-ramailah masyarakat menanam pohon tersebut.

Tetapi program ini gagal, masyarakat menjadikannya sebagai kawasan pengembalaan. Kalau ada pohon yang mulai tumbuh, akhirnya mati juga diinjak hewan ternak. Setelah berkembang coklat, cengkeh, kopi atau tanaman perkebunan akhirnya masyarakat ramai-ramai menanam tanaman tersebut. Sayangnya tanaman ini banyak juga yang gagal.

Maka atas prakarsa salah seorang tokoh masyarakat setempat, Bapak Konde (sudah almahrum), mempelopori penanaman dan penghijauan kembali, tentu dengan dipandu oleh Dinas Kehutanan, sehingga lahirlah namanya “sentra penyuluh kehutanan pedesaan = SPKD”, dan setelah berjalan sekian lama.

Proses pendampingannya juga tidak efektif, akhirnya kerja-kerja kelompok juga tidak maksimal, dan untungnya tanaman tersebut masih terus tumbuh dan berkembang, akhirnya masyarakat menyadari bahwa kayu yang telah ditanam lebih 10 tahun terus memang milikinya, karena ditanam dan tumbuh diatas tanah rincik mereka.

Peran Ketua Kelompok SPKD,  Pak Kombe, dengan gagasan tetap melestarikan hutan tersebut, akhirnya telah membuahkan hasil, meski Pak Kombe sendiri tidak sempat lagi menikmatinya, karena telah meninggal dunia sebelum kayu tersebut layak untuk ditebang.

Saat ini, hutan yang telah memulihkan ekosistemnya, termasuk menjadi kantong cadangan air telah sangat berguna bagi kawasan sekitarnya, termasuk kawasan pertanian yang ada disekelilingnya.

Namun pertanyaan masyarakat, atau kelompok bahwa apakah itu hanya puasa kalau hutan yang hijau kembali itu kita nikmati atau pandang terus saja, tanpa dapat dimanfaatkan kayunya.

“Kami maunya menebang, tapi kami larang anggota kelompok kami menebang, karena jangan sampai setelah disenso, tiba-tiba dapat petugas kehutanan menangkap kami walaupun kami menebang diatas tanah rincik kami,” ujar ketua Kelompok Hasbi.

Hal yang sama juga diakui, tokoh masyarakat Palulung, Petta Huseng, kalau status kepemilikan tanah pada hutan yang telah kami lestarikan jelas itu adalah hak-hak masyarakat, bukti-bukti hukum jelas, selain rincik, juga bukti pembayaran pajak setiap tahunnya.

Tapi yang membuat masyarakat raguragu berbuat, adalah pengesahan dan pengakuan dari pemerintah setempat, utamanya Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa. “Jangan sampai kami dalam dusun-dusun ini ditangkapi, dianggap sebagai pencuri kayu. Kenapa, karena seringkali kami melihat tanaman yang tumbuh dan ditanam dihalaman rumah warga ketika mau ditebang, dianggap itu kawasan hutan lindung, dan akhirnya mereka disel atau dikurung. Kami tidak mengalami seperti itu,” kata Petta Huseng.

Ia meminta, agar Pemerintah Kabupaten Gowa atau Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, utamanya Dinas Kehutanan, datang melihat lokasi tersebut, dan mencocokkan dengan peta kehutanan, sehingga masyarakat setempat selain mampu melestarikan hutan, juga mereka dapat menikmati pohonnya yang dianggap sudah layak untuk ditebang.

“Soal penebangan jangan ragu, kami dalam kelompok tani hutan ini punya aturan-aturan tersendiri, dan terbukti sampai saat ini tidak yang berhasil melanggar aturan adat tersebut,” pinta Petta Huseng.

Kalau tidak percaya, lanjutnya, lihat saja langsung, sekian puluh tahun, tidak ada bekas-bekas penebangan, karena memang masyarakat atau anggota kelompok kami dilarang keras menebang kayu. “Kalau hanya datang melihat dan menyaksikannya dari jauh, lalu kami semua puas melihat itu, jelas kami tidak melarang, karena selama ini hanya itu yang dapat kami lakukan,” katanya menyendir. (sultan darampa)

Rabu, 22 Desember 2010

Meneropong Gerakan Tani : PAO BANGUN SEKOLAH TANI

 Makassar, (KBSC).
Entah roh apa yang merasuki kawan-kawan petani yang berdiam di perbatasan Gowa, Bone dan Sinjai, pada dataran tinggi Bawakaraeng, karena tiba-tiba menjadi “insaf” akan pentingnya membangun solidaritas dan persatuan atas nama para petani dataran tinggi.

Hal ini dapat dibuktikan pada pengorganisasian diri dan atas inisiatif mereka sendiri untuk minta difasilitasi membangun organisasi rakyat di pedusunan di Desa Pao, Desa Ta’binjai, Desa Terasa, Desa Balasuka, Desa Bolaromang, dll.

Olehnya itu, manajemen Yayasan WaKIL (Kabupaten Gowa), Yayasan Sulawesi Channel, telah melakukan pengorganisasian rakyat, misalnya training-training petani, seperti kelompok tani hutan, kelompok tani lahan basah, dan kelompok tani ternak pada desa-desa tersebut diatas.

Direktur Yayasan WaKIL, Kaharuddin Muji kepada wartawan Kantor Berita Sulawesi Channel mengatakan, penguatan organisasi ini memang murni dari masyarakat, atau petani-petani yang tersebar di beberapa dusun di dataran tinggi Bawakaraeng, dan Yayasan WaKIL sebelumnya melalui program “perencanaan partisipatif” telah mengembangkan kerangka program tersebut kearah yang lebih luas.

“13 orang fasilitator pendukung, atau tenaga fasilitator yang ditempatkan Yayasan WaKIL pada 14 kecamatan di Kabupaten Gowa telah dibekali kemampuan (trainner) untuk mendorong tumbuh dan kuatnya organisasi rakyat di daerah-daerah.

Menurutnya, untuk saat ini silahkan kawan-kawan petani  berkreasi, Yayasan WaKIL akan mensupport kebutuhan teman-teman petani.

Sementara itu, Kepala Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Drs Najamuddin sehari sebelum berangkat ke Jawa Timur mengungkapkan, pihak pemerintah desa telah menyiapkan beberapa infrastruktur untuk membangun mimpi-mimpi petani, yaitu sebuah kompleks belajar para petani di dataran tinggi.

“Kami telah menyiapkan lahan beberapa hektar, sarana bangunan yang terbuat dari bamboo, ijuk, dan beberapa bahan-bahan dari sumber daya alam setempat, telah disiapkan anggota kelompok tani Pattallassang,” kata mantan Panglima Massa Kecamatan Tombolo Pao.

Menurutnya, organisasi tani tidak usah merasa khawatir akan kebutuhan organsiasinya, pihaknya bersedia membantu semaksimal mungkin. (sultan darampa)

Selasa, 14 Desember 2010

Siaran Pers KHPK Sultra Peringati Hari HAM

“Tujuan pendirian negara Indonesia untuk melindungi segenap rakyatnya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, masih jauh dari realisasi,” tulis KHPK Sultra dalam siaran persnya dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 42, tanggal 10 Desember 2010, di Kendari - Sultra.

Menurutnya, padahal, inilah cita-cita luhur pendirian negara Indonesia leh para pendiri bangsa (founding father). Fakta menunjukan, realisasi pemenuhan negara atas HAM, baik di ranah Hak Sipil dan Politik (Hak SIPOL), maupun Hak Ekonomi Sosial Budaya (Hak EKOSOB) masih jauh dari harapan rakyat.

Ia mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang seharunya menjadi tanggung jawab negara, hingga saat ini masih terbengkalai penyelesaiannya. Beberapa kasus yang telah diselidiki dan dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, kenyataannya saat ini hanya menjadi tumpukan berkas perkara di Kejaksaan Agung.
Rekomendasi DPR RI tentang kasus penghilangan paksa aktivis pro demokrasi pada 1997/1998, yang dikeluarkan pada tanggal 28 September 2009, tidak ditindaklanjuti pemerintahan SBY. Inti dari rekomendasi itu, merekomendasikan Presiden membentuk pengadilan HAM, membentuk Tim Pencarian untuk Korban yang masih hilang, memberikan kompensasi kepada korban penghilangan paksa, dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Apa dampaknya? Terbengkalainya kasus pelanggaran HAM masa lalu, tentunya menyebabkan tidak adanya efek jera terhadap pelaku pelanggaran HAM, dan kasus-kasus tersebut akan terus berulang di kemudian hari. Kenyataannya memang benar! Kasus-kasus pelanggaran HAM selalu saja terjadi hingga hari ini. Penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pelarangan buku, pembubaran pertemuan/rapat masyarakat sipil, perampasan tanah dan upah, teror, kriminalisasi pada rakyat, atau kejahatan negara dan modal dibidang hak EKOSOB yang lainnya masih saja terus terjadi.

Pemerintah terus membiarkan praktek pelanggaran HAM tersebut terus terjadi, tanpa ada upaya untuk diselesaikan secara tuntas.

Beberapa Kasus
Pemerintah juga membiarkan aksi penjarahan sumber daya alam oleh korporasi besar yang bergerak di sektor tambang, migas, laut, hutan, sumber daya air, dan perkebunan besar, baik asing maupun nasional, untuk menghancurkan bumi pertiwi dengan melakukan eksploitasi besar-besaran atas kekayaan alam Indonesia. Kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat yang merasakan langsung akibatnya. Pemiskinan struktural oleh negara merupaka buah dari praktek pembiaran negara ini.

Perlawanan rakyat untuk mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya justru dijawab dengan tindakan represif oleh negara, dengan menggunakan aparat keamanan dan kelompok preman terorganisir. Negara absen secara sadar dalam mewujudkan ketertiban, keadilan, kemakmuran, serta pemuliaan atas alam dan nasib rakyat banyak!

Di Sulawesi Tenggara, sejumlah kasus pelanggaran HAM masih banyak yang tidak diselesaikan pemerintah. Sebut saja, kasus peristiwa Buton 1969, dimana stigmatisasi PKI menjadi alat legitimasi untuk membunuh dan menahan ratusan orang di wilayah Buton Raya. Keberadaan kamp pengasingan (kampsing) Nanga-Nanga di Kota Kendari, menjadi saksi bisu atas praktek kebrutalan operasi oleh Tentara ini. Kasus ini hingga saat ini tak kunjung diungkap pemerintah.

Kasus lain, penangkapan dan penahanan atas 19 orang mahasiswa LMND dan warga Talaga Raya di Kabupaten Buton yang menolak operasi tambang Nikel PT Arga Morini Indah (PT AMI). Kasus yang terjadi pada bulan Mei 2010 ini, oleh majelis hakim PN Baubau, para tersangka divonis antara 7-10 bulan penjara. Saat ini, kasus sedang berlangsung karena Jaksa Penuntut Umum kasus ini masih lakukan banding atas putusan pengadilan.

Kasus perampasan lahan (land grabbing) juga terjadi secara sistematis pada masyarakat adat (MA): Kontu di Muna, Sambawa di Konawe Utara, Lipu-Katobengke di Kota Baubau, petani Bungi-Sorawolio yang dijarah hutan dan kekayaan alamnya untuk pertambangan nikel PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di kota Baubau, warga di sekitar Lapangan Terbang Maranggo di Tomia Kabupaten Wakatobi, dan kasus penjarahan tanah warga di wilayah pertambangan emas di Kabupaten Bombana.

Kasus lainnya yang tidak terungkap adalah penyerbuan dan penyerangan atas massa aksi Ormas Sarekat Hijau Indonesia (SHI) wilayah Sultra bersama mahasiswa yang kala itu sedang menggelar pembukaan Konfrensi Wilayah (Maret 2008), yang diikuti dengan penyerbuan aparat polisi ke Kampus Universitas Haluoleo (UNHALU) Kendari.

Pemerintah juga terus melakukan praktek pelanggaran HAM kepada pedagang kaki lama (PKL) dalam bentuk penggusuran paksa. Sejumlah kasus yang dapat sorotan publik diantaranya: PKL di sekitar Mall Mandonga, Pasar Kota dan Pasar Baru (Kendari). Praktek ini juga terjadi disejumlah kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara. PKL di sekitar pasar dan ruas-ruas jalan protokol yang jadi korban: digusur paksa tanpa pemenuhan hak-haknya sebagai pedagang (korban) secara manusiawi.

Dengan bercermin pada situasi di atas, kami menyatakan sikap:

1. Rezim SBY-Boediono tidak memiliki komitmen untuk penegakan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

2. Hentikan segala bentuk pelanggaran HAM baik oleh negara maupun korporasi (non state actor).

3. Gerakan rakyat mesti terus bersatu untuk mendesak Presiden SBY untuk segera menindaklanjuti Rekomendasi DPR tanggal 28 September 2009 tentang penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi 1997/1998, dan kasus-kasus masa lalu. Termasuk segera menyelesaikan secara tangung-gugat sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM pasca reformasi 1998.

4. Tindak tegas para pelaku pelanggaran HAM baik oleh sipil, aparat militer, aparat Polri maupun korporasi.

5. Menolak segala bentuk arogansi dan sikap represif pemerintah Kota Kendari dalam kasus relokasi pedagang pasar Baru Kendari. Kami mendukung penuh penyelesaian yang berkeadilan bagi nasib para pedagang/korban.

6. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk terus melawan segala bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan, pembodohan dan praktek pelanggaran HAM lainnya. Persatuan gerakan rakyat tak bisa dikalahkan, dan karena itu, sangat dibutuhkan untuk melindungi dan mempertahankan hak-hak rakyat.

Demikianlah siaran pers Komite HAM dan Pemberantasan Korupsi (KPHK) Sulawesi Tenggara, yang anggotanya terdiri atas SKPHAM ORDA IKOHI – WALHI SULTRA – YPSHK SULTRA – PUSPAHAM - FORUM SOLIDARITAS PEDAGANG PASAR BARU – LIGA MAHASISWA NASIONALIS Untuk DEMOKRASI. (sultan darampa)

Menembus Seko : Bermalam di Kampung Ular

Pemandangan Seko yang merupakan padang savana terbesar Indonesia, cuma belum dikenal, membuat terkagum, betapa indah negeri jantung sulawesi ini.

Makassar, KBSC)

SELAMA setengah bulan kami berada di Seko, berinteraksi dengan masyarakat setempat dan merekam aktivitas mereka। Kini, tiba saatnya melanjutkan perjalanan ke Rampi.
Dulu, orang Rampi kalau hendak ke kota (Sabbang) harus ke Seko dulu. Demikian pula jika dari kota hendak ke Rampi, harus melalui Seko. Sekarang, setelah ada jalan pintas yang lebih dekat, lewat Masamba, tak perlu lagi ke Seko dulu.

Karena tidak pernah dilewati lagi, maka jalanan ke Rampi – dulu juga bisa dengan ojek - kini sudah tidak ada lagi, karena sudah tertutup rumput yang tumbuh subur। Kembali jadi hutan. Jadi, perjalanan ke Rampi harus jalan kaki. Padahal, Seko-Rampi sama jauhnya dengan Sabbang-Seko.
Sebenarnya, kami sudah tidak bergairah melanjutkan perjalanan ke Rampi. Soalnya, naik ojek saja dari Sabbang ke Seko, capeknya luar biasa. Apalagi harus jalan kaki ke Rampi. Tapi karena tugas, mau tak mau harus berangkat. Lagi pula, tiga orang warga setempat yang kami sewa sebagai pemandu jalan, membesarkan hati kami dengan menyebutkan jalanannya tidak terlalu susah dan bisa cepat sampai di sana.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, kami berangkat ke Rampi। Tepatnya pada 9 Agustus 2006, sekitar pukul 10.00 Wita.Tidak ada lagi bekas-bekas jalan yang dulu sering dilalui orang, sehingga kami harus membuat jalan sendiri.
Dari 3 orang pemandu yang kami sewa – masing-masing Rp 300 ribu -, seorang di antaranya masih anak-anak, tapi dia kuat. Masyarakat setempat yang memberi rekomendasi tentang ke tiga pemandu tersebut. Katanya, mereka sering ke Rampi karena punya keluarga di sana. Bagi mereka, hutan sudah seperti rumahnya sendiri.

Sekitar pukul 5 sore, keadaan di dalam hutan sudah gelap। Kami memilih tempat yang agak lapang untuk mendirikan tenda dan beristirahat, tapi pemandu menyarankan agar jalan terus. Kedua rekan saya dari Telapak Bogor sudah kelelahan dan tidak mampu jalan lagi. Keduanya memaksa bermalam di situ. Akhirnya pemandu mengalah.
Ketika kami sedang menikmati teh dan kopi, sekitar pukul 7 malam, terdengar suara mendesis dan ranting patah. Saya pikir itu hal biasa karena di hutan. Di situ memang banyak pohon bambu. Di semak-semak juga ada yang bergerak. Saya pikir tupai atau binatang lain.

‘’Sepertinya banyak ular di sini,’’ cetus salah seorang di antara kami, tiba-tiba, setelah saling pandang karena bercampur aduk rasa takut dan penasaran।
‘’Ah, tidak ada, siapa bilang …,’’ kata pemandu.

‘’Terus, suara-suara apa itu yang terdengar,’’ tanya saya।
‘’Namanya juga hutan, biasalah kalau ada ular atau binatang lainnya,’’ jawab pemandu, enteng.

Tiba-tiba terdengar suara ranting yang agak besar patah dan jatuh di sekitar kami। Kami pun kaget dibuatnya dan saling berpandangan kembali. Sejurus kemudian, teman dari Telapak mengambil senter canggihnya dan mencoba mencari tahu apa gerangan yang jatuh tadi, namun tidak ada satu pun binatang yang kelihatan tersorot senter.
‘’Ada ular di sekitar sini, jangan sampai nanti masuk ke dalam tenda,’’ kata teman dari Telapak, mulai gelisah.

‘’Ah tidak apa-apa ji, tenang saja,’’ hibur pemandu।
‘’Kalau begitu, saya mau tidur,’’ kata teman dari Telapak.

Kedua teman dari Telapak kemudian mengeluarkan sleeping bag, perlengkapan standar untuk tidur di alam terbuka। Tak lama berselang, keduanya sudah terbungkus peralatan tersebut dan kelihatan seperti kepompong.
‘’An, kamu punya yang beginian?’’ tanya salah seorang teman dari Telapak sambil menunjukkan perlengkapan tidurnya.

‘’Tidak punya,’’ jawab saya।
‘’Masa’ sih orang JURnaL tidak punya yang beginian. Kamu Mapala dari mana, An?’’

‘’Saya bukan Mapala।’’
‘’Ah, jangan bercanda, An.’’

‘’Betul, saya bukan orang Mapala।’’
‘’Ah, tidak mungkin diutus ke sini kalau bukan orang Mapala.’’

‘’Kalau tidak percaya, nanti kamu tanya sendiri sama orang JURnaL kalau sudah sampai di Makassar।’’
‘’Trus, untuk apa itu karung?’’

‘’Tidak tahu, Pak Unsar yang suruh beli। Bikin berat-berat saja.’’
‘’Eii … ada gunanya itu. Kau lihat sebentar,’’ kata Pak Unsar.

Setelah pembicaraan terhenti cukup lama, Pak Unsar kembali teringat masalah ular।
‘’Sepertinya banyak sekali ular di sini, Pak,’’ kata Pak Unsar pada pemandu sembari menghangatkan badan di depan perapian.

‘’Di sini sebenarnya memang daerah ular। Ini namanya kampung ular,’’ aku pemandu.
Mendengar jawaban tersebut, Pak Unsar kaget. Terlebih-lebih saya.

‘’Wah, bahaya kalau begitu,’’ kata Pak Unsar।
‘’Betul, Pak?!’’ tanyaku, meminta ketegasan.

‘’Betul!’’

Saat menegaskan hal itu, raut muka sang pemandu tidak terlihat berbohong atau main-main। Itu berarti ia menyampaikan yang sebenarnya, apa adanya. Seketika saya berdiri dan langsung meloncat ke tengah-tengah dua teman dari Telapak. Saya pikir, saya dalam posisi relatif aman jika berada di tengah-tengah, diapit dua teman dari Telapak yang sekujur tubuhnya sudah terbungkus seperti kepompong.
‘’Eii …. minggir, jangan di sini, An. Saya juga takut,’’ protes teman dari Telapak, yang ternyata belum tidur dan menguping pembicaraan kami.

‘’Ah, tidak apa-apa। Saya jamin, tidak ada yang mengganggu. Tidak ada ular atau apa pun yang berani masuk,’’ kata pemandu.
Sang pemandu kemudian menceritakan pengalamannya. Ternyata, dia dan seorang temannya dulu juga pernah bermalam di situ. Ketika sedang mengambil air di sebuah tempat seperti kolam, tiba-tiba muncul ular raksasa sebesar pohon kelapa dari kolam tersebut.

Singkat cerita, terjadi pertarungan dengan ular raksasa tersebut। Awalnya, tebasan parang sang pemandu tak mampu melukai ular. Tapi setelah dibacakan doa, parangnya berhasil melukai bahkan membunuh ular tersebut.
‘’Makanya tadi saya sarankan agar jalan terus, tapi kalian tetap ngotot bermalam di sini,’’ jelas sang pemandu.

Karena ada jaminan keamanan dari pemandu, kami merasa agak tenang।
‘’Sana … kembali ke tempatmu semula,’’ lagi-lagi teman dari Telapak protes saya.

Saya kemudian beranjak mendekati Pak Unsar di depan perapian। Sementara, pemandu mengumpulkan bara arang dalam jumlah cukup banyak, lalu menaburkan bara tersebut mengelilingi tenda. Menurut pemandu, bara arang tersebut untuk melindungi kami. Katanya, ular tidak berani masuk karena sudah mencium bara arangnya.
‘’Tapi di sini kan angker, Pak, karena banyak bambu. Jadi, bagaimana kalau ada roh halus yang lewat atas?’’ tanya saya.

‘’Makhluk halus juga tidak berani masuk ke sini, karena bara ini dari atas akan terlihat seperti lingkaran api yang besar,’’ terangnya।
‘’Makanya tidak usah khawatir, saya jamin malam ini,’’ tegas pemandu.

Setelah merasa tenang karena kembali mendapat jaminan keamanan dan keselamatan, Pak Unsar kemudian menyuruh saya mengambil karung। Saya masih belum tahu apa fungsinya karung tersebut. Saya hanya menduga-duga mungkin untuk alas tidur.
Setelah menyerahkan karung ukuran besar yang biasanya digunakan sebagai tempat beras, seketika saya terperanjat kaget karena Pak Unsar langsung masuk ke dalam karung tersebut dan bersiap-siap tidur. Rupanya, karung difungsikan sebagai pembungkus badan dari hawa dingin.

‘’Baru kau tahu tho, An। Inilah fungsinya karung,’’ kata Pak Unsar.
Karena sudah mengantuk, saya juga menyiapkan diri untuk ke peraduan. Setelah memperbaiki api unggun, saya kemudian mengenakan jaket tebal dan kaos kaki rangkap dua. Masih terasa dingin. Saya pun ikut-ikutan memanfaatkan dua karung yang tersisa untuk membungkus badan. Ternyata manfaatnya memang besar sekali. Tapi karena masih kepikiran soal ular, meskipun sudah dijamin aman oleh pemandu, menjelang pagi saya baru bisa tertidur.

Saat dua teman dari Telapak bangun dan melihat saya masih tidur terbungkus karung, keduanya tak bisa menahan tawa dan keheranannya।
‘’Betul-betul kau nekat sekali, An. Saya kira kau anak Mapala, ternyata …,’’ komentarnya setelah saya terbangun.

Gelak tawa semakin menggema setelah Pak Unsar melaporkan musibah yang dialaminya।
‘’Kakiku terbakar api unggun, An,’’ ungkap Pak Unsar. (dari majalah profiles - sultan darampa)

TAMBORA : Diawali Pembunuhan Terhadap Said Idrus

Aktivitas Gunung Tambora saat mengeluarkan debu yang dampaknya sampai ke beberapa benua.

Makassar, (KBSC)
HENRI Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sejarah dan Sastra (2004: 335) yang mengutip Bo Sangaji Kai yang ditulisnya bersama dengan Salahuddin (1999: 87) secara rinci mengisahkan muasal letusan Gunung Tambora tersebut. Mengutip naskah 87, Chambert Loir menulis:

Hijrat Nabi salla –alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu Subuh sehari bulan Jumadilawal (Selasa, 11 April 1815). Tatkala itulah di Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, Kemudian berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang. Kemudian turunlah kersik (pasir kasar, batu kerikil halus) batu dan abu seperti dituang. Lamanya tiga hari dua malam. Maka, heranlah sekalian Hamba-nya akan melihat karunia Rabbi al-alamin yang melakukan faccal li-ma yurid (maksudnya, Allah Taala berbuat sekehendak-Nya). Setelah itu, maka teranglah hari. Rumah dan tanaman sudah rusak semuanya. Demikianlah adanya itu, pecah Gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad.

Selain mengisahkan alamat letusan Gunung Tambora, Chambert-Loir (2004: 336) juga mengisahkan asal mulanya meletus Gunung Tambora. Malapetaka yang dialami Negeri Tambora merupakan bentuk kemurkaan Allah Subhanahu wa Taala. Dalam naskah yang dikutip sesuai naskah aslinya (dalam buku ini naskahnya diubah menjadi lebih populer, pen). Chambert-Loir menulis:

‘’Bermula ada seorang Said Idrus. Asalnya dari Bengkulu. Ia menumpang pada seorang Bugis. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan berniaga. Suatu hari, Said Idrus naik ke darat. Dia masuk dalam negeri besar. Berjalan-jalan pesiar hingga lohor. Ia kemudian masuk masjid untuk salat. Di dalam masjid itu dia menemukan anjing. Ia pun menyuruh usir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, disuruh pukul. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu pun berkata.

‘’Raja kami yang empunya anjing ini’’.

‘’Baik, siapa yang punya anjing, karena ini masjid, Allah Subhanahu wa Taala yang empunya rumah ini. Siapa yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang itu kafir,’’ papar Said Idrus.

Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada sang Raja dia berkata:

‘’Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatnya ada anjing dalam masjid’’.

Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu disuruh panggil. Tuan Said Idrus pun datang ke rumah Raja Tambora dengan segala wazir Tambora. Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing di hadapan Tuan Said Idrus. Hidangan berisi daging kambing di hadapan orang baik (orang banyak) dengan Raja Tambora.

Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun bertanya kepada Tuan Said.

‘’Hai Arab! Sebagaimana engkau katakan haram anjing?’’

‘’Ya, haram’’ sahut Tuan Said Idrus.

‘’Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makan anjing itu?’’ kata Raja Tambora lagi.

‘’Bukannya anjing saya makan tadi. Saya makan daging kambing, ‘’ sahut Said Idrus.

Raja Tambora dan Tuan Said Idrus saling berbantah. Raja pun menyuruh orangnya.

‘’Bawa olehmu orang Arab ini, bunuh!’’ titah Sang Raja.

Orang banyak itu pun memegang tangan si Arab. Dia dibawa naik ke Gunung Tambora. Setibanya di Gunung Tambora, para suruhan Raja Tambora menikam Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan senjata tajam. Orang banyak itu pun menghela kayu. Ada pula yang mengambil batu. Ada yang melontar. Ada yang memukul Tuan Said. Tuan Said pun kelenger. Kepalanya pecah. Darahnya berhamburan. Orang banyak itu mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang suruhan Raja Tambora pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja mereka.

Di antara negeri dan gunung, tampak nyala api di gunung, di tempat Tuan Said dibunuh. Api itu makin membesar. Baik kayu, baik batu, baik bumi semuanya menyala. Api itu pun mengikut pada orang-orang yang membunuh Said. Mereka berlari semuanya. Hendak masuk ke negeri besar. Api malah lebih dahulu menyala di dalam negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah Subhanahu wa Taala, ke mana pun orang lari, api mengikut. Orang lari ke laut, api pun mengejar ke laut. Sampai lautan Tambora pun menyala.

Dalam beberapa hari, api menyala di gunung, di negeri, di lautan, dan di bumi. Hujan abu membuat kelam dan kabut. Tiada manusia Tambora yang bisa lepas. Beberapa ribu orang mati terbakar. Dalam beberapa hari, api terus menyala. Belum padam di gunung, negeri Tambora pun tenggelam menjadi lautan. Sampai sekarang ini kapal boleh berlabuh di bekas Negeri Tambora itu berada.

Syahdan, bekas negeri-negeri yang satu dengan Tanah Tambora itu pun semuanya kena bala. Yang sebelah barat Negeri Tambora adalah Negeri Sumbawa. Di sebelah timur, Negeri Sanggar, Negeri Pekat, dan Negeri Dompo (Dompu) dan Bima.

Semua negeri itu ada yang terbagi dua dan tiga. Ada yang kelaparan dan juga mati. Manusia yang selamat pergi ke mana-mana, mengikut orang dagang. Yang penting bisa dapat makan. Ada yang menjual dirinya, ditukar dengan padi.

Di Negeri Sumba hingga Pinggalang akibat hujan abu, binatang mati terbakar di abu. Tiga tahun penduduk tidak dapat mengolah sawah. Ada lebih selaksa orang Sumbawa mati. Yang lain meninggalkan negerinya.

Di Negeri Mengkasar (Makassar) dan di Negeri Bugis, saat Negeri Tambora terbakar, sehari semalam gelap oleh hujan abu di seantero negeri itu. Namun, tanah yang kurus di kedua negeri itu menjadi gemuk.

Tak lama setelah musibah melanda Tambora, datang air besar dari tiga ombak besar. Dari selatan datangnya ombak itu, tujuh negeri kecil tenggelam. Perahu dagang yang berlabuh semuanya dibawa ombak naik ke hutan.

Website Sumbawa News yang mengutip Kompas 13 April 2006 menyebutkan, pada malam tanggal 10 April 1815, rentetan bunyi itu kian kerap dan semakin dahsyat. Ledakan ini terdengar hingga ke Cirebon. Dan, terus berlangsung dan memuncak pada tengah hari tanggal 11 April 1815. Siang itu pun menjadi gelap gulita. Bersamaan dengan itu bumi bergetar seperti mau oleng, angin berkesiuran, dan debu memenuhi angkasa.

Laporan saksi mata yang disampaikan Raja Sanggar, sebuah kerajaan kecil di Pulau Sumbawa yang tak terlalu jauh dari Tambora, berkisah, "Pukul tujuh malam tanggal 10 April, dari Sanggar terlihat jelas tiga kolam api yang keluar dari puncak Tambora. Dalam waktu seketika seluruh gunung tampak seperti sebuah benda api yang cair, yang menyebar ke semua penjuru."

Tak lama berselang, hujan debu bercampur batu yang lebat mulai turun di Sanggar, disusul angin berputar dahsyat dan merobohkan hampir semua rumah. Di wilayah Sanggar yang berdekatan dengan Tambora, imbuh Raja Sanggar, kerusakan lebih parah lagi. Pohon-pohon besar tercerabut bersama akar-akarnya dan terlempar ke udara. Tak ketinggalan, orang, rumah, ternak, dan semuanya terbang ke udara. Laut pun menyerang. Ombaknya yang tinggi, menyapu bersih rumah dan bangunan yang dilewatinya.

"Kira-kira sejam lamanya angin puyuh melanda negeri dan selama itu tidak terdengar ledakan. Baru sesudah angin berhenti, bunyi dentuman sangat riuh tanpa henti hingga malam tanggal 11 (April). Setelah itu ledakan berkurang, tetapi sampai tanggal 15 Juli 1815 masih saja terdengar letupan-letupan...".

Setiap orang berpikir Tambora telah punah. Kenyataannya tidaklah demikian. Pada tanggal 5 April 1815, Goliath setinggi 13.000 ribu kaki (3.960) telah bangun. Ia mengeluarkan serangkaian suara gemuruh yang mengumandangkan kehadirannya, terdengar dalam jarak ribuan kilometer.

Selama lima hari, gunung ini memuntahkan abu dalam jumlah yang mampu meruntuhkan rumah-rumah di Pulau Sumbawa karena bobotnya. Abu ini tebal. Tidak bisa ditembus oleh cahaya matahari. Penduduk di pulau ini bisa dikatakan tidak mampu melihat tangan di hadapan wajah mereka.

Pada tanggal 10 April, letusannya memuncak dengan gumpalan api yang sangat besar. Ia membelit satu sama lain dan terjalin di atas gunung yang berpijar. Kejadian tersebut diikuti oleh angin topan, yang mungkin serupa dengan fenomena meteorologis badai api -– topan api yang terbentuk dari kebakaran hutan yang sangat besar.

Bagaikan sebuah mesin penyedot, kekacauan ini telah menyapu manusia, hewan, dan rumah, terbang ke udara. Makhluk hidup terpotong-potong dan terbakar. Benda-benda mati hancur dan tercabik-cabik menjadi potongan-potongan yang tak terhitung banyaknya.

Kekuatan letusan Tambora melebihi kemampuan gunung dan pulau di mana gunung ini berdiri. Saat gunung tersebut melepaskan berton-ton batu karang, lava, dan abu, gunung itu mutlak menyusut. Tinggi yang semula 13.000 kaki (3.960 m) menyusut menjadi 9.000 kaki (2.740 m).

Ironisnya, permukaan pulau mulai naik, saat abu bertumpuk beberapa sentimeter. Abu yang memiliki kedalaman lebih dari tiga kaki (sekitar 90 cm), juga mengisap air di sekitar Sumbawa – dan menuntaskan karya pemusnahan Tambora terhadap manusia yang berada di dalam jangkauannya.

Abu telah membunuh semua sayuran dan wabah kelaparan yang segera menyusul, digabungkan dengan epidemi kolera, telah menambah jumlah 80.000 kematian. Sebanyak 12.000 orang di antaranya menemui ajalnya seketika selama letusan. (de@r, bersambung) -- dari profiles - sultan darampa

Jumat, 10 Desember 2010

Cerita Perjalanan Menembus Jantung Sulawesi

 Menembus Seko, pemukiman yang terletak di jantung Pulau Sulawesi, membutuhkan waktu yang panjang. Berikut suka duka perjalanan naik motor.

Makassar, (KBSC)
BILA membayangkan medannya yang sangat ganas, mungkin saya perlu berpikir dan menimbang berulang-ulang kali jika suatu hari nanti ditawari atau ditugaskan lagi untuk meliput ke Seko-Rampi। Tapi karena panorama alamnya sangat menakjubkan, rasanya saya masih ingin ke sana lagi। Saya masih tertarik ke sana. Lagian, kondisi jalannya saat ini mungkin sudah relatif lebih bagus dan mudah dilewati.

Perjalanan ke Seko-Rampi memang sangat mengesankan, dan sampai sekarang tidak bisa saya lupakan. Karena padang rumput yang luas seperti sering kita lihat di film-film India, dan suasana seram seperti di film-film horor, ternyata memang ada di alam nyata, tidak mengada-ada.

Seko-Rampi adalah dua komunitas adat yang mendiami dataran tinggi Tokalekaju, salah satu dataran tinggi yang melintas di beberapa provinsi, di antaranya Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.

Secara administrasi pemerintahan, dua kecamatan - Seko (terdiri atas 12 desa) dan Rampi (terdiri atas 6 desa) – di jantung Sulawesi itu berada dalam wilayah Kabupaten Luwu Utara, salah satu kabupaten pemekaran dari kabupaten induk Luwu di Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara geografis, wilayah adat Seko berbatasan dengan Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah) di sebelah utara, Tana Toraja di sebelah selatan, Mamuju (Sulawesi Barat) di sebelah barat, dan Kecamatan Sabbang di sebelah timur.

Sedangkan wilayah adat Rampi secara geografis berbatasan dengan Bada, Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah) di sebelah utara, Kecamatan Masamba di sebelah selatan, Kecamatan Seko di sebelah barat, dan Kecamatan Mangkutana di sebelah timur.

Perjalanan ke Seko dapat dicapai dengan jalur darat dan jalur udara. Jalur darat dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menyewa ojek. Lama waktu tempuh dengan ojek sekitar 6-8 jam perjalanan, sedangkan kalau berjalan kaki bisa menghabiskan waktu 3-5 hari perjalanan.
Jalur darat terdiri atas jalur Mangkaluku dan jalur Mabusa. Jalur Mabusa jaraknya lebih pendek, hanya sekitar 67 kilometer, namun medannya sangat terjal dan berbatu serta harus melewati beberapa sungai besar dan titian kayu.

Sedangkan jalur Mangkaluku jaraknya lebih panjang, sekitar 130 kilometer, tapi medannya tidak terlalu sulit, kecuali pada musim hujan agak sulit dilewati karena tanahnya berlumpur. Jalur Mangkaluku disebut juga jalur KTT karena merupakan jalan yang dibangun oleh perusahaan Kendari Tunggal Timber (KTT).

Selain itu, perjalanan ke Seko juga bisa menggunakan transportasi udara, dengan pesawat terbang carter yang memuat 8 orang penumpang dan terjadwal dua kali seminggu, setiap hari Selasa dan Kamis. Tapi harus menunggu berhari-hari, bahkan ada dalam hitungan bulan, untuk mendapatkan giliran terbang.

Pada hari Selasa, 25 Juli 2006, kami berempat – Aan Kaharuddin (JURnaL Celebes), Pak Unsar (Yayasan Bumi Sawerigading, Palopo), serta Een dan Yudi (Telapak, Bogor) memulai petualangan. Kami start dari Kecamatan Sabbang sekitar pukul 10.00 Wita, dengan menyewa ojek Rp 300 ribu/ojek sekali jalan.

Tidak semua tukang ojek berani melakukan perjalanan ke Seko. Karena selain masuk dan ke luar hutan, juga harus melewati berbagai rintangan seperti jurang di kiri-kanan jalan, serta melewati jalanan yang sangat tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan roda dua.

Mengingat medannya yang sulit ditaklukkan, setiap tukang ojek wajib membawa semua perlengkapan vital seperti bensin, pompa, ban, kunci, tali tambang, parang, dan lain-lain, termasuk makanan, untuk berjaga-jaga jika motor rewel atau ada masalah di jalan, misalnya pohon tumbang merintangi jalanan. Karena itu, tukang ojek di sana terkesan seperti bengkel berjalan.

Bagi saya, perjalanan ke Seko-Rampi ini yang ke tiga kalinya. Pertama, dari Sabbang ke Seko, dan yang kedua dari Masamba ke Rampi. Kedua perjalanan tersebut menggunakan jasa ojek. Sedangkan yang ke tiga ini, dari Sabbang ke Seko, kemudian lanjut ke Rampi.

Ketika kami melewati jalan setapak yang hanya bisa dilalui manusia dan binatang, di mana sisi kanan merupakan jurang dan sisi kiri berupa lereng, saya nyaris diterjang kerbau liar. Saat itu, di kejauhan kami melihat ada kerbau berlari kencang ke arah kami karena diburu kerbau lainnya, mungkin kerbau jantan yang lagi birahi.

Saat jarak dengan kerbau sudah semakin dekat, tukang ojek tiba-tiba meminggirkan motornya dan langsung menjatuhkan ke sisi kiri yang merupakan lereng, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Karena takutnya pada kerbau liar tersebut, tukang ojek bergegas merangkak naik untuk mencapai tempat yang agak tinggi, meninggalkan saya yang tertimpa motor.

Karena saya juga merasa terancam bahaya, kekuatan saya rasanya bertambah berlipat-lipat untuk bisa membebaskan diri dari himpitan motor dan menyelamatkan diri dengan menaiki lereng. Setelah keadaan aman, saya baru menyadari bahwa kaki kanan saya terluka terkena knalpot, dan baru saya rasakan sakitnya.

Selama perjalanan, kami terpaksa harus bergantian mendorong, bahkan mengangkat motor, agar bisa jalan. Sebab, sepanjang jalan yang kami lalui dipenuhi karang gunung yang lumayan terjal, di samping tanah merah, pasir, dan lumpur serta menyeberangi 4-5 sungai.

Kondisi tersebut memaksa kami harus beristirahat beberapa kali di pos-pos (gubuk darurat) yang dibangun masyarakat yang kemalaman di perjalanan, baik dalam perjalanan dari Seko ke kota (Sabbang) maupun sebaliknya.

Perjalanan ini memang sangat sulit dan berbahaya, namun kami menikmatinya. Kami pun tak melewatkan kesempatan tersebut dengan merekam semua moment yang kami anggap cocok untuk pembuatan film kami.

Rasa capek dan penat setelah seharian berjibaku menghadapi medan berat, rasanya langsung hilang seketika begitu kami memasuki sebuah perkampungan bernama Kampung Loudang, saat Maghrib tiba. Kampung ini sangat indah, udaranya sejuk dan sangat menyegarkan. Kami masih bisa merasakan bau tanah yang sangat sulit didapatkan di kota-kota besar yang telah tercemar polusi.

Di sana kita juga bisa menjumpai hewan-hewan seperti rusa, kuda, kerbau dan babi hutan. Selain itu, di kampung ini juga terdapat sungai yang airnya sangat jernih. Sungai tersebut dijadikan tempat mandi dan mencuci oleh masyarakat setempat. Setiap pagi dan sore kita dapat melihat segerombolan orang turun ke sungai untuk mandi dan mencuci.

Di Kampung Loudang, kami menginap di rumah mertua Pak Unsar. Malam itu, setelah membersihkan badan, kami dijamu tuan rumah. Menunya sederhana, hanya nasi dan sayur. Tapi nikmat sekali. Nasinya enak, seperti dicampur santan. Masyarakat di sana mungkin tidak ada yang tidak kenal beras ‘tarone’.

Keesokan harinya, kami mulai melakukan kegiatan pendokumentasian. Pertama-tama, merekam kebiasaan masyarakat setempat menangkap ikan. Untuk mencapai tempat tersebut, kami menyewa ojek karena lokasinya sekitar 60 km dari Kampung Loudang.

Cara menangkap ikan di sana cukup unik. Cara ini dikenal dengan istilah Sammuloku, yang berarti menangkap ikan dengan menyelam. Hal tersebut tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus dilakukan dua-tiga orang. Caranya, satu orang membuat panah kecil yang dijadikan alat menangkap, sementara yang satunya lagi memasang pukat. Setelah pukat dipasang, orang yang membuat panah kecil tersebut menyelam di sekeliling pukat untuk membidk mangsanya. Hasilnya lumayan banyak.

Setelah merekam cara menangkap ikan, kami melanjutkan kegiatan pendokumentasian di tempat lain. Kali ini merekam tentang cara beternak kerbau. Masyarakat di sana menyebutnya Murrung.

Pada hari ke tiga di Seko, tepatnya 28 Juli 2006, kami melakukan wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat To Badak, Pak Gani. Kami mencoba menggali informasi mengenai hasil bumi dan tambang emas di daerahnya.

Usai wawancara, kami pergi berburu rusa. Untuk mencapai lokasi perburuan, kita harus melakukan perjalanan selama 2 jam. Setelah mempersiapkan segala perlengkapan, termasuk anjing pemburu, kami dan para pemburu bersembunyi dan melakukan pengintaian.

Lama menunggu, belum ada seekor rusa pun yang keluar dari sarangnya. Di saat semangat mulai mengendor karena capek memanggul kamera dalam posisi stand by, tiba-tiba muncul seekor babi hutan dan langsung masuk perangkap. Walaupun bukan yang diharapkan, namun kami tak melewatkan kesempatan tersebut untuk merekamnya. Yah … daripada tidak ada sama sekali. Ibarat pepatah, tidak ada rotan, akar pun jadi.

Dalam perjalanan pulang, kami sempat merekam kebiasaan masyarakat setempat saat memanen kopi, yang dikenal dengan istilah Musange.

Esok harinya, kami mengunjungi tempat pembuatan tikar dari kulit kayu. Cara pembuatan tikar dari kulit kayu, pertama-tama mengupas kulit pohon. Setelah terkupas, kulit dicelupkan ke dalam air, lalu diangkat, kemudian dipukul-pukul secara perlahan –lahan, terus dicelupkan lagi ke dalam air dan dipukul-pukul lagi. Setelah kulit pohon tersebut melebar, selanjutnya dikeringkan, dan jadilah tikar.

Pada 30 Juli 2006, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Eno, sekitar 60 km dari Kampung Loudang. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam. Di sini kami merekam tarian adat masyarakat Seko. Tari-tarian tersebut biasanya diperagakan pada hari-hari tertentu saja, misalnya untuk menyambut tamu kehormatan, pada saat upacara perkawinan, dan hari-hari istimewa lainnya.

Keesokan harinya, kami mengunjungi tempat situs budaya. Di sana terdapat tungku raksasa. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, dahulu kala pernah hidup seorang raksasa, dan tungku tersebut adalah alat memasaknya.

Agenda berikutnya ke Kampung Tanete, yang dikenal sebagai tempat pembuatan madu, gula merah, dan alat musik yang terbuat dari bambu. Setelah itu ke Kampung Parahaleang. Perjalanan ditempuh selama setengah hari. Kami melewati hutan belantara, dan terpaksa harus menginap selama 2 hari di dalam hutan.

Setelah selesai mengabadikan kegiatan masyarakat yang mencari ikan dengan cara memancing, pasang jerat dan mengambil rotan di hutan, kami kembali ke kampung Eno untuk merekam kembali tari-tarian adat di sana dan mengambil gambar pandai besi membuat pisau. Selain itu, kami juga merekam cara pembuatan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari rotan seperti keranjang.

Pada 8 Agustus 2006, kami menuju Kampung Singkalong. Di kampung ini terdapat tambang emas yang sempat merisaukan masyarakat karena ada perusahaan asing yang ingin mengelola tambang tersebut. Kami merekam tentang cara mendulang emas.

Selama perjalanan menuju kampung ini, kami merekam pemandangan alam berupa hamparan padang rumput yang sangat luas. Panorama alam Seko yang sangat indah dan masih perawan tersebut mengingatkan saya pada film-film India yang sering diputar di stasiun televisi swasta.
Seketika benak saya dipenuhi bayangan adegan Shah Rukh Khan berdendang di padang luas penuh taman bunga, bersama Kajol dan Ranee Mukherjee, di film Kuch Kuch Hota Hai.

Tum Paas Aaye
Youn Muskuraye
Tumne Najaane Kya
Sapne Dikhae

Abto Meradil
Jaagena Sota Hai
Kya Karoon Ha Eh
Kuch Kuch Hota Hai

Karena begitu takjubnya melihat dan merasakan langsung keindahan alam Seko yang masih alamiah, saya merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Rupanya, dua rekan dari Telapak juga terkagum-kagum.

‘’Bisanya ada padang begitu luas di sini,’’ pujinya. (Bersambung) (dari ProFiles : sultan darampa)

MENGENANG MERAPI : Menengok Tapak Tambora

Gelegar Merapi baru saja berlalu, dalam waktu sekejab Bumi Mataram Islam (cerita latar api di buit menoreh karya SH Mintarja) luluhlantak. Kisah ini juga mengingatkan orang akan peristiwa ratusan tahun silam, Gunung Tambora. Berikut kisah kenangannya yang ditulis Pemimpin Redaksi Majalah ProFiles, Dahlan Abubakar
Makassar, (KBSC)
Gunung Tambora terdapat di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815, termasuk salah satu dari 100 bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Sekitar 150.000 jiwa menemui ajalnya. Bencana tersebut, membuat gunung setinggi 3.960 m itu menyusut 1.220 m.

Dampak letusannya membuat embun beku musim panas dan kelaparan di berbagai belahan bumi. Di Swiss, orang yang kelaparan terpaksa menyantap anjing dan kucing yang sesat. Di New York, penduduk terpaksa mencabut tanaman kentang yang baru saja mereka tanam. Biang musibah, konon, seorang tamu orang Bugis yang dihakimi hingga tewas. Berikut catatan komprehensif mengenai musibah dan gunung itu.

TANGGAL 8 November 1971 malam. Lambo – perahu tradisional Bugis-Makassar – menjelang tengah malam angkat sauh meninggalkan Pelabuhan Bima. Saya pulas, karena kecapean seharian mengurus keberangkatan ke Makassar . Saya tak lagi melihat tetesan airmata ibu yang sedang mengandung adik saya yang bungsu dan duduk di depan gedung pelabuhan satu-satunya.

Tatkala mata saya terbuka beberapa jam kemudian, di kemudi sebelah kiri perahu tampak air laut berwarna perak. Ini agaknya isyarat perahu Masyalihul Ahyar yang saya tumpangi mulai membelah laut – yang kemudian ternyata menghabiskan waktu tujuh hari tujuh malam – ke tujuan, Makassar. Dermaga kian jauh ditelan gelapnya malam.

’’Tak ada lagi yang dapat saya lihat. Kedua orang tua mungkin sudah kembali ke rumah,’’ hati saya berbisik sebelum memutuskan melanjutkan tidur di emperan lambo dengan tujuh layar tersebut.

Pagi hari, 9 November, saya terbangun. Mata saya ’terhadang’ semua pemandangan yang asing. Daratan dan laut semua menjadi pemandangan yang tak pernah saya kenali. Tidak lama, laut mati. Mirip cermin. Lambo terombang-ambing digiring arus yang tanpa gelombang.

’’Ini musim pancaroba. Angin datang dari segala penjuru tanpa terduga,’’ kata salah seorang awak perahu yang bertubuh subur.

Menjelang siang, angin timur bertiup. Mendorong lambo menyisir pantai utara Pulau Sumbawa hingga sore hari. Makin sore, gelombang dan angin kian kencang. Awak perahu serentak memanjati tiang layar. Mengubah arah layar. Angin barat bertiup. Mata saya terantuk pada sebuah gunung hitam. Tinggi, meski cukup jauh. Pada seorang awak perahu, saya beranikan bertanya. Dia menjawab pendek.

’’Itu Gunung Tambora,’’ jawabnya.

Waktu SMP, saya hafal betul nama gunung itu. Apalagi, gunung itu berada di daerah kabupaten saya sendiri. Pada pelajaran Ilmu Bumi (kini Geografi), para murid diharuskan menghafal seluruh nama gunung berapi, ibu kota provinsi, nama lapangan terbang, dan tempat-tempat penting lainnya di Indonesia dan dunia.

‘’Oh, inilah Tambora, gunung yang saya pelajari di buku itu. Juga, pernah meletus dengan memakan banyak korban jiwa itu,’’ hati saya bergumam.

Setelah puluhan tahun dari pelayaran yang bersejarah itu, dari berbagai referensi dan bahan bacaan, banyak informasi yang saya peroleh mengenai gunung itu. Letusan Tambora, yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Tambora (dulu Kecamatan Sanggar) Kabupaten Bima itu termasuk salah satu dari 100 bencana terbesar sepanjang masa.

Bayangkan saja, letusan yang terjadi 11 April 1815 tersebut terasa hingga Musim Semi dua tahun kemudian, 1817. Bencana itu menyebabkan sekitar 150.000 orang menemui ajalnya. Kerugian miliaran rupiah berupa padi yang rusak dan kehancuran lainnya.

Berdasarkan ilmu pengetahuan, ini gempa bumi biasa, tetapi mitos yang hidup di tengah masyarakat menyebutkan, musibah tersebut merupakan kemarahan Al Khalik atas perilaku rakyat Tambora.

Aneh benar, dari puncak gunung setinggi 3.960 m itu muncul tiga gumpalan api yang terpisah memuncak hingga tinggi sekali. Seluruh puncak gunung tampak segera diselimuti lava berpijar. Sebarannya meluas hingga ke jarak yang sangat jauh. Di antaranya, sebesar kepala, jatuh dalam cakupan diameter beberapa kilometer. Pecahan-pecahan yang tersebar di udara telah telah mengakibatkan kegelapan total.

Abu yang dikeluarkan begitu banyak, mengakibatan kegelapan total di Jawa yang jaraknya 310 mil (500 km). Abu ini mengakibatkan kegelapan total saat tengah hari. Menutupi tanah dan asap dengan lapisan setebal beberapa sentimeter, begitu Sir Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Jawa, dikutip Stephen J.Spignesi dalam bukunya yang diterjemahkan Bonifasius Sindyarta, S.Psi, berjudul 100 Bencana Terbesar Sepanjang Masa. (de@r, bersambung / pemimpin redaksi majalah profiles)

Sabtu, 04 Desember 2010

Wisata Butur Mengikut ke Bali

Kolam air tawar Rumbia yang terletak di Buton Utara menjadi tujuan utama kunjungan wisata bagi masyarakat setempat, dan bagi turis yang datang dari arah Wakatobi.
       
Bau-Bau, (KBSC)
Disela agenda kegiatan utama pada pameran tunggal Sultra 2010 “ Fiesta Vaganza yang diselengarakan di Centro Diskovery Shopping Mall  Kuta Bali (28-30/10), Ketua TP-PKK sekaligus sebagai Ketua Dekranasda Kab.Buton Utara Ny.Dra.Hj.Muniarty Ridwan dan Wabup Buton Utara Harmin Hari,SP,M.Si sempat melakukan Tour Wisata pada beberapa obyek Wisata di Pulau Bali antara lain Sanur,Batu Bulan,Sukawati,Goa Gajah,Tampak Siring,Kintamani,Sangeh,Bedugul dan Tanah Lot serta obyek wisata lainny. Tour wisata tersebut.

Disamping sebagai ajang represing untuk melepas rasa lelah selama berlangsungnya kegiatan, juga  bermaksud untuk mengetahu lebih dekat sekaligus  belajar bagaimana pengelolaan obyek-obyek wisata dan cara mempromosikannya. Sebab Propinsi  Bali saat ini  berperan sebagai etalasi pariwisata Nasional ,dan  bisa dikenal serta dapat menghasilkan PAD dan sumber pendapatan masyarakat setempat.

Dalam tour tersebut, Ketua TP-PKK dan Wabup mengunjungi  hampir semua obyek Wisata yang ada di Pulau Bali  seperti di Jimbaran Bali yang terkenal dengan masakan See Food yang semua bahan masakan itu banyak terdapat di Buton Utara, pada sesi Kulinary kami tampilkan dimana bahan mentahnya disiapkan dari Buton Utara seperti Udang,Kepiting,Lopster Cumi serta berbagai jenis ikan lainnya .

Pulau Bali yang kaya dengan obyek wisata budaya,wisata alam pantai dan pegunungan jika  dibandingkan dengan Buton Utara yang baru mekar dari Kabupaten Muna pada tahun 2007 tentu masih jauh dari yang diharapkan,  tetapi  kalau dikembangkan banyak potensi wisata seperti Tari Alionda,Pobengka’a,dan masih banyak kebudayaan lainnya, kemudian Wisata Alam seperti pantai membuku,pantai Lemo,Pantai Kambowa dan potensi bawah laut Teluk Ereke yang indah dan kaya dengan terumbuh karang dan biota laut lainnya yang bisa dijadikan area Diving.

Ada kegiatan  unik dan menarik yang diatrasikan oleh nelayan Buton Utara dalam kegiatan itu yakni  memancing ikan  tuna dengan menggunakan layang-layang. Atraksi menarik ini pada lomba Gatra Kencana pada HUT TVRI Pusat 2010 merebut juara pertama sehingga  direncanakan akan dikemas menjadi even nasional. 

Selain itu,  Ekowisata hutan yang terdiri dari Wisata hutan mangrove yang masih utuh dan terluas di Sultra,Wisata Hutan Alami,Wisata Mata Air Panas dan khusus hutan Suaka Marga Satwa  seluas 83.225,71 Ha yang didalamanya terdapat berbagai jenis Flora seperti Kayu Gito-Gito,Kayu Besi,Cendrana dan puluhan jenis kayu lainnya.  Fauna yang tidak kala menariknya dengan daerah  lain ditanah air yang ada di Buton Utara adalah  Anoa,Babi Rusa,Kus-Kus,Tupai dan beraneka ragam burung seperti Maleo,Rangkong,Nuri dan lainnya.

Selain beberapa potensi wisata tersebut di Buton Utara juga banyak memiliki situs sejarah masa lampau seperti Benteng Lipu (Benteng Kulisusu )didalamnya masih berdiri Masjid tertua di Buton Utara serta Kulit Lokan( Koloncusu) yang menurut cerita turun temurun bahwa sebelah Kulit Lokan tersebut berada di Ternate,Benteng Bangkudu, Benteng Koro,Benteng Pangilia,Benteng Gundu,Makam Tasau’Ea,Sumur Tua Mata Oleo dan Sumur Tua Ee Bula serta Sumur Tua di Desa Rombo yang telah  berumur ratusan tahun dan hingga sekarang masih dimanfaatkan oleh Masyarakat yang menghuni Benteng Kulisusu dan Desa Rombo.-Promosi Wisata.

Munurut Muniarty Ridwan yang juga  Staf Ahli Bupati Bidang Pariwisata,Seni dan Budaya  yang termuat pada 2 (dua) Harian di Bali yaitu Fajar Bali dan Tokoh bahwa pada Even Fiesta Vaganza di Bali, Buton Utara melibatkan ahli masak,Seniman,Penari tarian adat,pemerhati fashion Tradisi dan pada puncak acara mempertujukan peragaan busana tradisional Khas Buton Utara yang memukau khalayak yang memadati tempat acara yang kebanyakan wisatawan mancanegara yang tengah berlibur di Bali.

Ibu Muny sapaan akrabnya mengakui bahwa pengembangan Wisata di Buton utara masih terkendala transportasi, namun dia yakin dengan keberadaan lapangan terbang yang tidak lama lagi akan terwujud akan memudahkan akses ke Buton Utara sehingga Wisatawan Domestik dan Mancanegara berdatangan ke Buton Utara yang kaya dengan tambang. Sementara itu  Wabup Harmin Hari,SP,M.Si ketika berkunjung ke Puri Ubud layaknya tamu istimewa  Calon Raja Ubud  banyak menerima masukan dari calon raja  tentang bagaimana mengelola obyek wisata Ubud yang akan dijadikan reverensi dalam rangka pengembangan potensi wisata Buton Utara.

Menurut calon Raja Ubud yang juga sebagai Sekda Kabupaten Gianyar yang pada saat itu masih mempersiapkan acara Kremasi (Ngaben)  pengelolaan obyek wisata ubud melibatkan 7.000 orang tanpa harus digaji oleh pihak kerajaan bahkan mereka dapat memberikan kontribusi kepada kerajaan dengan hasil penjualan berbagai aksesoris khas bali seperti sarung khas bali dan ikat pinggang dari kain ketika Wabup bersama Ibu masuk kawasan puri  Ubud diwajibkan menggunakan sarung dan ikat pinggang khas Bali dengan harga Rp.50.000.

Yang sangat dikagumi oleh Wabup adalah keramah tamahan warganya yang mana saat pamit meninggalkan tempat itu langsung diantar oleh sosok yang sangat dihormati dan sebentar lagi akan dinobatkan menjadi Raja Ubud.- Pada wartawan Fajar Bali dan Tokoh, Wabup menuturkan bahwa Pemda Buton Utara membuka kans investasi bagi kalangan pemilik  modal dan sebagai Kabupaten yang baru 3,5 tahun mekar sedang berjuang keras mempromosikan berbagai  potensi wisata yang dimiliki sehingga para  investor mau berinvestasi atau   menanamkan modalnya di daerah ini. (nining/sultan darampa)

Selasa, 30 November 2010

Yayasan WaKIL Training Perencanaan 3 Angkatan

Alur skema perencanaan yang diterapkan di Yayasan WaKIL. Alur ini dilengkapi juga satu skema khusus fasilitasinya.
 
Makassar, (KBSC)
Yayasan WaKIL atas dukungan ACCESS – AusAID telah melakukan training perencanaan yang meliputi 26 desa se-Kabupaten Gowa. Training yang terdiri atas tiga angkatan ini, berlangsung selama 15 hari di Kampus STIE Amkop Makassar, baru-baru ini.

Seperti halnya pada training penjajakan yang dilaksanakan Bulan Agustus 2010 lalu, maka 26 desa yang menjadi lokasi program ini masing-masing mengutus tiga orang kader-kader pemberdayaan masyarakatnya (KPM). Total peserta sekitar 90 orang, yang terbagi atas KPM 78 orang, fasilitator, co fasilitator, fasilitator pendukung (13 kecamatan), panitia, dokumentator, dan penanggungjawab program dan staff Yayasan WaKIL.   

Materi-materi dalam training perencanaan ini adalah :  (a) Kaji ulang Pentagonal Asset, (b) Rencana Strategis Desa, (c) rumusan-rumusan tentang cita-cita realistis yang dikaji berdasarkan asset baset masing-masing desa, kajian bidang-bidang strategis, matrks rencana tahunan, RKP, dan sistem penganggaran.

“Sebenarnya training ini bukan kapasitas kami sebagai KPM yang harus menerima materi seperti ini, karena kelihatannya materi khusus bagi anggota atau calon anggota DPRD, atau para kepala-kepala bidang di pemerintahan,” ungkap Ustadz Takdir dari Desa Borisallo, Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa.

Hal ini diungkapkan, karena memang latarbelakang rata-rata KPM yang tammatan SMU, dan ada beberapa yang masih kuliah ini, terkadang belum mampu mencerna materi tersebut. “Tapi syukurlah, karena ada lembaga yang mau member kemampuan (melatih, red) kepada kader-kader di desa dengan kemampuan dalam penyusunan RPJMDes,” katanya bersyukur. (sultan darampa)

Senin, 01 November 2010

Reviuw Refleksi Penjajakan Perencanaan Partisipatif

Makassar, (KBSC)Program Perencanaan Partisipatif dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Sistem Bank Data Desa atas kerjasama Pemerintah Kabupaten Gowa, ACCESS – AusAID dengan Yayasan WaKIL, telah memasuki triwulan ke dua.

Sebelum masuk triwulan kedua, maka triwulan pertama diakhiri dengan reviuw refleksi penjajakan yang dilaksanakan selama 4 hari di Wisma Amanah, Kota Makassar, mulai tanggal 25 sampai 28 Oktober 2010.

Dimana pada triwulan pertama, yaitu dimulai pada Bulan Agustus sampai Oktober 2010, dengan sejumlah kegiatan-kegiatan seperti :
• Orientasi program
• Sosialisasi Program
• Training Penjajakan
• Penjajakan Lapangan
•Reviuw Refleksi Penjajakan

Dalam mengawal proses dan hasil selama triwulan pertama tersebut, maka beberapa capaian yang telah dihasilkan oleh 26 desa di Kabupaten Gowa antara lain :
1.Adanya informasi dasar tentang profile masing-masing desa site program

2.Adanya hasil-hasil indicator kesejahteraan (aspek dan ciri-ciri pembeda) bagi 26 desa di Kabupaten Gowa

3.Teridentifikasinya peringkat kesejahteraan (kaya, sedang, miskin dan miskin sekali) pada setiap desa di Kabupaten Gowa melalui sensus sosial.

4.Teridentifikasinya asset based desa (potensi dan tantangan) pada 26 desa di Kabupaten Gowa melalui pemetaan sosial dan pentagonal asset.

5.Teridentifikasinya sejarah-sejarah sukses masing-masing desa pada site program.

Dari identifikasi tersebut, maka telah melahirkan :
1.Cerita-cerita perubahan dapat dlihat pada Warga (perempuan, kelompok miskin, kaum muda dan termarginal), Pemerintah desa (kepala desa dan aparatnya, Kader-kader pemberdayaan masyarakat (78 kader).

2.Progress (manual) dan dokumen-dokumen sebagai bahan-bahan perencanaan didalam pembangunan RPJMDes dan Sistem Bank Data Desa.

Untuk memperkuat kerangka dan logical frame work pencapaian visi dan perubahan utama rencana aksi “Perencanaan Partisipatif” ini, maka langkah-langkah selanjutnya adalah :
1.Training Perencanaan bagi 3 angkatan
2.Pelaksanaan perencanaan (lapangan) bagi 26 desa
3.Reviuw refleksi perencanaan triwulan kedua
4.Revleksi semester pertama

Dari rentetan kegiatan tersebut diatas, maka TOR kegiatan ini adalah untu menjawab point pertama, yaitu Training Perencanaan yang terdiri atas 3 angkatan. 

Untuk itu, tujuan training penjajakan bagi KPMD ini adalah berikut ini meningkatkan kemampuan dan skill fasilitasi dan pendampingan KPM dalam melakukan desaign perencanaan di desa masing-masing.

Meningkatkan kapasitas KPM untuk menfasilitasi warga desa dan dusun untuk melakukan perencanaan dalam penyusunan RPJMDes dan Sistem Bank Data Desa di 26 Desa di Kabupaten Gowa. (sultan darampa)

Kamis, 21 Oktober 2010

Bila Direktur Ketemu dalam Satu Forum (selesai)

Makassar, KBSC)

Makassar, (KBS)
Berikut hasil-hasil rekomendasi dua kabupaten, yakni Gowa dan Takalar, maaf, hasil untuk Kabupaten Bantaeng dan Jeneponto, menyusul.

Kami telah mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan Penguatan Kapasitas (Capacity Building) untuk Perubahan Sosial mulai pada temuan-temuan penilaian kapasitas, tujuan-tujuan bersama perubahan yang akan dicapai, hingga pembagian peran dan tanggung jawab berbagai pihak untuk merumuskan strategi dan langkah-langkah yang diperlukan untuk pencapaian perubahan-perubahan sesuai visi TKLD Kabupaten Gowa dan Takalar, serta mengembangkan pembelajaran bersama berbasis pengalaman. 
Pertemuan yang diikuti para Direktur dan Koordinator Program dari Organisasi Mitra Langsung dan ACCESS dengan dipandu oleh fasilitator dari REMDEC (Resource Management and Development Consultant) bertekad melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan  sebagai berikut:

1.Mitra Langsung bertanggung jawab terhadap rencana aksi, dan karena itu dengan sungguh-sungguh akan mengupayakan pencapaian tersebut. Untuk itu Mitra Langsung akan menjalin kerjasama dengan ACCESS dan Mitra Strategis sesuai kebutuhan masing-masing organisasi dan Kabupatennya.

2.Berupaya mendinamisasikan fungsi dan peran FLA (Forum Lintas Aktor) atau nama lain sejenisnya, sebagai forum pembelajaran bersama.

3.Saling berbagi pengalaman dan pengetahuan antar mitra dalam rangka mengupayakan pencapaian-pencapaian rencana aksi.

4.Menindaklanjuti hasil penilaian kapasitas untuk penguatan lembaga masing-masing baik diupayakan secara internal maupun bekerjasama dengan berbagai pihak.

5.Melaksanakan pembagian peran dan tanggung jawab diantara Mitra Langsung, ACCESS dan Mitra

Kabupaten Gowa
Sementara Peran dan tanggungjawab direktur mitra ACCESS di Kabupaten Gowa adalah sebagai berikut :
1.Mencapai visi/Outcome Challenge dari rencana aksi, Menerapkan nilai-niai partisipatif, transparansi dan akuntablitas, mendorong peningkatan kapasitas SDM lembaga dan mitra langsung, memastikan TKLD tercapai dalam implementasi rencana aksi, memonitoring dan mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pelaksanaan rencana aksi yang dilakukan tim pelaksana, mengarahkan, melatih, menfasilitasi, monitoring evaluasi dan tanggung jawab, memprasyaratkan keseimbangan perempuan dan laki-laki,  dan mendorong partisipasi dan menumbuhkan rasa memiliki semua terhadap rencana aksi.

2.Mengefektifkan FLA (Forum Lintas Aktor) atau nama lain yang sejenis,  yaitu pameran kreatif best practice pemberdayaan. working group FLA, membuat potret FLA untuk pembenahan dan membangun komitmen, membangun diskusi tematik membangun komunikasi aktif, membangun kesepahama bersama antar FLA.

3.Menyumbang pada PAK, Memediasi semua stakeholder unntuk memahami visi / misi Kabupaten Gowa, saling membantu melalui MEL, melakukan sharing pembelajaran.

4.Peran ACCESS, Menfasilitasi sumber daya local, menyiapkan perangkat-perangkat untuk support system kebutuhan mitra misalnya : informasi – informasi tentang issu atau tematik program, maupun non program

5.Peran Mitra Strategis, menfasilitasi kebutuhan – kebutuhan taktis ( modul, alat-alat belajar, dll), membantu proses MEL.


Kabupaten Takalar
1.Mencapai visi/Outcome Challenge dari rencana aksi, Berkomitment dan mendukung untuk pencapaian PAK dan nilai-nilai TKLD, mengadakan pertemuan di internal lembaga untuk monitoring dan evaluasi capaian-capaian rencana aksi, melakukan, merefleksi dan evaluasi tentang capaian-capiannya, pembelajaran antar mitra-mitra ACCES, mengembangkan ide/gagasan dan kerjasama antara mitra-mitra yang memiliki issue yang sama, mendorong terbukanya ruang dan peluang untuk pencapaian rencana aksi dan kaderisasi.

2.Mengefektifkan FLA & PAK, Regular meeting/ diskkusi tematik dan rencana strategi FLA, mengkampanyekan visi kabupaten dan agenda rencana aksi melalui: Baliho,brosur, pameran, audiensi, festival, film documenter dll, mendorong peran FLA untuk menfasilitasi lembaga-lembaga dalam membangun kerjasama dengan SKPD dan pihak-pihak lain.

3.Peran ACCESS, Mendukung upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas FLA, sharing info dan jaringan.

4.Peran mitra strategis, Peguatan kapasitas IMS, women leadership dan GSI, penguatan kapasitas organisasi dan kelembagaan.

Demikianlah komitmen bersama dan rekomendasi ini kami buat, agar dapat menjadi rujukan bagi kerja-kerja strategis semua pihak dalam mewujudkan perubahan-perubahan yang direncanakan dalam rencana aksi untuk berkontribusi dalam pencapaian Visi TKLD Kabupaten.  

Nama-nama penandatanganan petisi
1.Zainuddin Daud (Direktur Yayasan Baruga Cipta) dan Moh. Hatta (Koordinator Program)

2.Moh. Kodri Tapa, (Direktur Program Lembaga Bumi Indonesia), dan Nurhayati, S.KM.,M. (Kes Koordinator Program)

3.Kaharuddin Muji (Direktur WaKIL), dan Sultan Darampa (Koordinator Program)

4.Darmawan D (Direktur The Gowa Centre), dan Hasina Fajrin (Koordinator Program)

5.Nurlia Ruma (Direktur YKM “Gowata”), dan Putri Ratu (Koordinator Program)   

6.Rais Fatta (Direktur Yayasan Pendidikan Lingkungan), dan Syafri Situju (oordinator Program)

7.Nurlinda (Direktur FIK KSM), dan Abdullah Hasan (Koordinator Program)

8.Bambang Sul (Direktur Yayasan Buana Samboritta), dan Nini Afriani (Koordinator Program)

9.Husain Mabe (Direktur LPMT),  M. Danial (Koordinator Program)

10.Faisal Amir (Direktur Lembara), dan Syamsuddin S (Koordinator Program)   

11.Abdul Hakim (Direktur LAM),  Sudomo (Koordinator Program)

12.Handoko Sutomo (Direktur Remdec)

13.Sartono (Koorprov ACCESS Sulawesi Selatan)

14.Hj. Ratnah Arasy (Program Officer ACCESS Sulawesi Selatan)... (sultan darampa)

Jumat, 15 Oktober 2010

AMAN Sulsel Tolak UU No.41

Makassar, (KBSC)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel beserta AMAN Luwu Raya, ditambah dengan sejumlah aktivis, serta komunitas-komunitas dari Toraya (2 kabupaten), Enrekang, Sidrap, Maros, Gowa, Sinjai, Bulukumba, Luwu Utara, Bone, dan beberapa pihak lainnya, bersepakat menolak Undang-Undang No.41 Tentang Kehutanan, dengan alasan bahwa Skema (HTR,HKm dan Hutan Desa) yang ditawarkan kepada masyarakat adat justru dianggap mengkebiri hak-hak masyarakat adat.

Selain menolak yang kemudian meminta revisi UU No.41 tersebut, mereka juga meminta desakan agar RUU tentang Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat segera ditetapkan menjadi Undang-Undang. Kedua point ini terungkap lewat Workshop Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat yang disponsori oleh REFOCTC bekerjasama dengan AMAN Sulsel, tanggal 14 Oktober 2010 di Hotel Bumi Asih.

Dua narasumber yang hadir, yakni dari RLPS-Dephut dan Dr.Farida (ahli hukum), membahas tentang peluang-peluang Skema HKm, HTR dan Hutan Desa bagi masyarakat adat. Sayangnya, masyarakat adat menolak untuk menerima skema tersebut.

Disisi lain, L.Sombolinggi (tokoh masyarakat adat dari Toraja), bersikukuh menerima salah satu dari ketiga skema tersebut. “Sangat tidak masuk akal, kalau kita memaksakan masyarakat adat menolak ketika skema tersebut yang termuat dalam UU No.41,” katanya.

Tetapi ia juga mengharapkan, bahwa bagi komunitas-komunitas yang menolak ketika skema tersebut, tidak memaksakan kehendaknya kepada kepada komunitas-komunitas yang memanfaatkan peluang tersebut.

Ketua Pelaksana Harian Wilayah AMAN Sulsel, Sirajuddin, secara tegas mengungkapkan bahwa forum ini sedikit menyalahi dari kesepakatan awal ketika REFOCTC menawarkan kerjasama pelaksana dalam workshop ini.

“Kesepakatanya adalah kalau tujuan dari workshop tersebut untuk meminta anggota-anggota AMAN menerima ketiga skema tersebut, maka otomatis kami tidak mau terlibat dalam workshop tersebut,” katanya.

Tetapi akhir dari diskusi tersebut, disepakati bahwa workshop ini sebenarnya adalah hanya sosialisasi ketika skema tersebut kepada masyarakat adat. “Yang kemudian kita tidak dapat memaksakan kehendak kita, atau kehendak RECOFTC untuk masyarakat adat menerima ketiga skema ini,” kata Sirajuddin.

Jadi kalau forum ini meminta kesepakatan dari rekomendasi tersebut AMAN harus menerima ketiga konsep ini, maka itu sama sekali tidak boleh diterima.

Akhirnya, beberapa butir-butir kesepakatan dari workshop ini yang kemudian diterima secara legowo semua peserta, yaitu :
1.    Meminta Revisi Undang-Undang No.41
2.    Mendesak percepatan pengesahan RUU PPHMA
3.    Sebagian menerima skema HTR, HKm, dan HD, dan sebagian besar menolak
4.    Mencari bentuk dan model skema lain yang lebih tepat dan lebih akomodatif terhadap kepentingan hak-hak masyarakat adat.
Akhir kata, Mbak Mila dari RECOFTC menyatakan sangat puas terhadap proses workshop ini, apalagi duduknya satu forum antara komunitas-komunitas adat di Sulawesi Selatan, pemerintah, dan para pihak yang bersama-sama membahas issu-issu kehutanan, utamanya ketika skema tersebut. (sultan darampa)