SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Senin, 21 Mei 2012

Buton Pencetus Pemerintahan Demokrasi

Sistem demokrasi yang telah berjalan di Indonesia ternyata bukan memang hal baru bagi nusantara, tetapi sistem pemerintahan seperti ini adalah kekayaan lokal suku bangsa tanah air, dan diantara penerapan sistem demokrasi sejak beberapa abad lalu adalah Kerajaan / Kesultanan Buthuuni (Buton).
     Ada beberapa landasan tradisi untuk mengklaim bahwa sistem pemerintahan Kesultanan Buthuuni berjalan secara demokratis dengan nafas Islam, yakni mulai dari sistem pemilihan Sultan (Laki Wolio), dimana terpilihnya Sultan untuk naik tahta adalah berdasarkan pemilihan yang dilakukan oleh Siolimbona (perwakilan atau dewan adat masing-masing komunitas atau wilayah).
     Siolimbona ini dipilih berdasarkan sistem permufakatan yang dipilih oleh rakyat, dan sang Sultan (Raja) sendiri pun tidak didasarkan atas dasar turun-temurun, jadi Sultan di Kesultanan Buton tidak pernah mengenal istilah putra mahkota sebagai lazimnya kerajaan lain di dunia.
     Dalam menjalankan sistem pemerintahannya pun, sang Sultan juga tidak dapat mengambil keputusan sendiri, tetapi harus (selalu) merujuk pada Siolimbona dan segala perangkat kesultanan, termasuk diantaranya para barata. Untuk diketahui Kesultanan Buthuuni memiliki 4 barata (wilayah pemerintahan), yakni Barata Muna dan Tiworo (Kab.Muna sekarang), Barata Kalisusu (Kab.Buton Utara), Barata Kaledupa (Kab.Wakatobi).       
     Salah seorang budayawan Buton, Arif Tasila yang juga Bontona Gampikaro Mataneo (salah satu saya structural kesultanan Buthuuni) mengurai asal muasal Kerajaan Buton, bahwa pendiri Kerajaan Buton memang digagas secara mufakat, dan penggagasnya terdiri dari empat orang.
      Disebut “Mia Patamiana“ , terdiri Si Pajonga, Si Jawangkati, Si Malui dan Si Tamanajo.  Keempat orang inilah yang pertama kali membuat atau membuka daerah baru. Dalam perkembangannya daerah yang baru dibuka tersebut yang mengatur dalam negeri dengan dua orang Bonto, yaitu Sijawangkati sebagai Bontona Gundu-Gundu dan Si Tamanajo sebagai Bontona Barangkatopa. 
    Kemudian ditambah pula dua orang Bonto, yaitu Sangiariarana sebagai Bontona Baluwu dan Betoambari sebagai Bontona Peropa.  Setelah beberapa lamanya lalu ditambah lagi  empat orang Bonto, yaitu : Bontona Gama, Bontona Wandailolo, Bontona Siompu dan Bontona Rakia.  Bonto-Bonto inilah yang mengatur kepentingan dalam negeri.
     Sehingga wilayah Kesultanan Buton meliputi gugusan kepulauan di kawasan bagian Tenggara Jazirah Sulawesi Tenggara yang terdiri dari Pulau Buton, Pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau-Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Pulau Makassar, Pulau Kadatua, Masiri dan Pulau Siompu, Pulau Talaga Besar, Pulau Talaga Kecil, Poleang, Rumbia, Pulau Wawonii, Pulau Wanci, Pulau Tomia dan Binongko.
     Hasil kesepakatan ke-8 Bonto, maka diangkatlah Wa Ka Kaa ( Musrifatul Izzati Al Fakri ) menjadi Raja Buton yang pertama pada awal abad ke 13.  Bontona Baluwu dan Bontona Peropa yang melantik Raja yang pertama sebagai mana adat dan tata cara pelantikan sampai pada Sultan ke 37 ( terakhir ), Sultan Muhammad Falihi.
     Delapan Bonto yang mengangkat dan melantik  Wa Kaa Kaa  menjadi Raja ini diibaratkan “Bapak ( Delapan Bonto )melantik dan mengangkat Wa Kaa Kaa sebagai Anak atau Raja .  Delapan Bonto sebagai Bapak dan Wa Ka Kaa sebagai Anak atau Raja. Dimana Delapan Bonto telah menurunkan kebesarannya dan diberikan kepada anaknya/Raja, dan Anak/Raja menerima pemberian itu atas janji dari Bapaknya dalam bahasa Adat :  “ Ka Angkata tee Ka Muliangi “.
   Ini mengandung arti bahwa Wa Kaa Kaa telah diangkat sebagai Anak atau Raja dari Delapan Bonto yang sifatnya telah menjadi bayi yang baru lahir dalam arti : diberi baru menerima, disuap baru menganga dan kerjanya hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya. 
     Sedangkan untuk Bapak ( Delapan Bonto ) adalah kekuasaan penuh pada mereka dan apa-apa yang menjadi keperluan dan kebutuhan Anak atau Raja adalah tanggungan Bapak.  Inilah yang disebut dengan “adatu azali”. (sultan darampa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi