SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Sabtu, 09 Januari 2010

Panaikang Memandang Bumi (secarik catatan tercecer dari Pembuatan Films DAS Jeneberang)


Panaikang adalah pedusunan yang terletak diatas ketinggian jazirah Bawakaraeng dan Lompobattang. Disamping kanan puncaknya, adalah muara daerah aliran sungai Jeneberang, dan disisi kirinya adalah anak sungai Manappa.

Komunitas Panaikang yang dipimpin oleh Kepala Lingkungan Sulaeman menceritakan, Panakaing dapat diartikan adalah tempat untuk dinaiki, atau disebut tempat yang ketinggian yang dapat dicapai dengan pendakian.

Pedusunan ini dihuni pertama kali oleh penduduk pada tahun awal 1900-an. Sebelumnya. para nenek moyang orang-orang Panaikang mendiami lembah yang dinamai Parangkeke. Parangkeke dapat diartikan sebuah lembah yang terdiri atas padang rumput, dengan dikeliling tebing gunung. Arti harifiahnya yaitu digali.

Parangkeke yang terdiri atas padang rumput dijadikan sebagai tempat pengembalaan hewan ternak oleh penduduk setempat. Entah pada tahun berapa, tiba-tiba Parangkeke dijadikan sebagai tempat pemukiman atau kampung. Dari sinilah kemudian para penduduk kemudian naik ke Panaikang, yang selanjutnya dijadikan tempat tinggal sampai sekarang.

Masih menurut Sulaeman, pada tahun 1965, Kampung ini ditinggalkan penduduk, karena terjadi pemberontakan PKI, dimana orang-orang PKI itu membakar rumah-rumah penduduk sampai ludes. Penduduk mengungsi ke Malino. Namun tidak cukup setahun mengungsi, atau menyingkir sementara, mereka kembali ke Panaikang dengan membangun kembali kampung mereka, awalnya terpaksa membangun rumah-rumah penduduk dengan tiang dan dinding dari bambu.

Padang waktu itu, untuk mengatur tata pemerintahan lokal di Panaikang, maka orang tua Sulaeman ditunjuk sebagai ketua Sariang. Sariang dapat diartikan sebagai Ketua RT. Kewenangan Sariang ini diperluas menjadi kampung sehingga dia dipanggil sebagai kepala kampung.

Sesudah itu, kemudian digantikan oleh anaknya, saudara kandung tertua dari Sulaeman, dan baru pada tahun 1978, barulah Sulaeman menjabat sebagai kepala lingkungan menggantikan kakaknya. Lingkungan Panaikang membawahi dua rukun warga, yaitu RK Pattiro dan RK Panaikang.

Selama memimpin (Kepala) Lingkungan, Sulaeman yang lebih akrab dipanggil Pa’li itu telah melakukan sejumlah program dan pembentukan kelompok, diantaranya :
1. Kelompok Komunitas Sabo Panaikang DAS Jeneberang
2. Kelompok Tani Hutan Lestari Panaikang
3. Kelompok Julu Ero

Kelompok Komunitas Sabo Panaikang
Kelompok ini khusus menangani program warning system. Program ini adalah peringatan bencana dini, seperti mengamati pergerakan tanah longsor yang ada di Lengkese. Jika tanah ini bergerak maka dengan otomatis, oleh petugas jaga posko, langsung memberikan apa-apa, biasanya menggunakan katto-katto atau menggunakan HT (handy talky) kepada posko-posko di bawahnya, atau kepada masyarakat yang ada dibantaran sungai agar waspada terhadap pergerakan longsor ini.

Program ini sangat efektif untuk memberi peringatan kepada masyarakat, agar menghindari sungai jika sewaktu-waktu tanah / longsor yang bergerak ke bawah mengikuti arus sungai. Program ini didampingi oleh Yayasan WaKIL dengan bantuan pendanaan dari JICA.

Kelompok Hutan Lestari Panaikang
Kelompok ini membina sedikitnya 6 sub kelompok yang lebih kecil, yaitu Parangkulo, Bangkeng Sijang, Tobanda, Batumete, Bontotene dan satu kelompok lagi yang terlupa namanya.
Kelompok ini telah melakukan reboisasi atau menghijauan di Ramma. Kawasan Ramma awal mulanya hamparan padang rumput, karena memang kawasan ini areal pengembalaan, atau pelepasan hewan-hewan ternak masyarakat seusai membajak sawah.
Tapi karena desakan untuk penghijauan, maka Ramma dijadikan lokasi penanaman berbagai jenis tanaman kayu, seperti kayu putih, balang jawa. Tanaman ini sudah berumur sekitar 6 tahun, dengan prosentase pertumbuhan sampai 80 persen. Hal ini terjadi karena kawasan ini dijaga oleh seorang pemantau hutan yang setiap harinya menjaga ekosistem hutan tersebut.
Salah satu tugas dari pemantau hutan Ramma adalah menjaga kayu yang baru ditanam ini dari gangguan hewan ternak, sapi, dan memperbaiki atau merawat tanaman ini jika terinjak sapi, dll. Program ini oleh Dinas Kehutanan.
Kemudian setahun yang lalu, yakni 2008, ada program baru dari JICA – Jepang, sebanyak 20.000 bibit Akasia ditanam di lokasi seluas 45 hektar. Namun sayang, program ini dianggap gagal, dengan beberapa alasan : (1) tanaman akasia tetap tumbuh tapi tidak bisa menjadi besar, karena setiap pucuk selalu dimakan hewan ternak, (2) tanaman akasia ini tidak berdampak kepada masyarakat, utamanya dampak ekonomi, karena pada waktu pengusulan, masyarakat atau kelompok minta tanaman kehutanan tapi dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat, misalnya tanaman kemiri.
Selain itu, kelompok tani juga tengah mempersiapkan rehablitasi hutan di Kawasan Talung, dengan luas 100 hektar. Dengan 6 sub kelompok, atau kelompok kecil ini, maka Talung ke depan dapat dijadikan areal kawasan hutan rakyat.

100 hektar ini diprioritaskan tanaman kehutanan sebesar 70 persen, sedangkan 30 persen sisinya adalah tanaman perkebunan jangka panjang, seperti markisa, kakao dll. Sebelumnya, Talung juga telah menjadi lokasi Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GNRHL) sebanyak 40.000 pohon, namun gagal semua.

Kelompok Tani Julu Ero
Kelompok tani ini beranggotakan 25 orang, dengan tujuan yakni agroforestry, yaitu mengutamakan tanaman-tanaman perkebunan, atau tanaman kehutanan tapi menghasilkan buah. Misalnya, markisa, kopi, cengkeh, atau tanaman perdu yakni rumput gajah untuk pakan hewan ternak para petani.

Rata-rata setiap anggota kelompok memiliki luas lahan antara 0,5 – 1 hektar. Tanaman ini sudah tumbuh diatas bekas longsoran dengan umur sekitar satu tahun. Menurut keterangan petani, bahwa luas lahan yang tertimbun longsor yang masuk dalam wilayah Lingkungan Panaikang adalah , sawah 17 hektar, kebun 30 hektar, dimana longsor ini juga telah menelan sekitar 52 ekor sapi milik masyarakat Panaikang.
Demikianlah kondisi kehidupan sehari-hari komunitas Panaikang. Komunitas yang setiap harinya hidup diketinggian dengan hawa pegunungan yang mencekam. Rumah-rumah penduduk berselimut kabut, dengan warganya sehari-hari menoropong sungai, sawah-sawah dan perkebunan mereka ratusan meter dari ketinggian. Tiada hari tanpa memandang bumi. (teks : adi, foto-foto : sc publishing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi