SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Sabtu, 09 Januari 2010

Dari Pinggir Sungai Jeneberang



Komunitas Sabo Limbua terletak di Desa Salu Toa, Kecamatan Parigi, yang terletak di Bantaran DAS Jeneberang. Jumlah anggota kelompok ini adalah sekitar 80 orang, atau sebanyak 45 kepala keluarga atau rumah. Di Kampung ini setiap rumah hanya diisi oleh satu kepala keluarga, kecuali bagi orang-orang tua mereka, misalnya nenek atau kakeknya, sehingga tidak dapat dihitung sebagai satu kepala keluarga.

Lingkungan mereka yang terletak di pinggiran sungai, luas perkebunan mereka sekitar 2 Km panjangnya yang merupakan tingkat kemiringan nyaris tegak, sementara luas persawahan mereka sekitar 150 hektar, yang membujur dari timur ke barat.

Anggota kelompok tani ini mengandalkan hidupnya dari pertanian, sawah lahan basah, dengan model irigasi tradisional. Artinya, sistem irigasinya yakni dari pembuatan saluran oleh masyarakat sendiri dengan cara menggali pinggiran sungai Jeneberang. Selokan buatan yang selalu berobah-obah setiap kali terjadi banjir ini, dibuat berdasarkan kelender bertani mereka, bahkan ada ritual-ritual sebelum mereka mengerjakan persawahannya.

Selain kebun dan sawah, mereka juga mengembangkan sistem pertanian, yakni rata-rata setiap kepala keluarga memiliki minimal 2 sampai 7 ekor sapi, dan kambing yang merupakan hak kelola kelompok sebanyak 10 ekor. Hewan-hewan ternak ini juga mengandalkan air minumnya langsung dari sungai Jeneberang.

Menurut Sekretaris Kelompok, Bapak Bakri, selama memegang pengurus kelompok, ia telah melakukan pemetaan bagi kampung itu, termasuk studi PRA, sehingga kelompok sudah memilik data-data kampung seperti yang disebut diatas.

“Dalam memanfaatkan air sungai Jeneberang, kami betul-betul swadaya, dulu ada keinganan dari pihak kontraktor pertambangan untuk membantu kampung kami, tapi nyatanya sampai keluar dari penambangan galian C yang berupa pasir dan batu tidak pernah merealisasikan janjinya, sehingga kami menutup setiap upaya atau rencana tambang,” jelas Bakri.

Ia menambahkan, didalam memanfaatkan langsung air DAS Jeneberang dengan cara swakelola, maka masyarakat dengan arahan kelompok terlebih dahulu melakukan ritual-ritual, seperti :
 Ammua Ulu Salungan : Sebelum mengerjakan sawah, terlebih dahulu mereka bergotong royong mencari sudut-sudut pinggiran sungai yang cocok untuk digalikan saluran sehingga air ini dapat masuk ke persawahan mereka. Terkadang setiap tahunnya panjang-pendeknya saluran yang dibuat tergantung dari posisi pinggiran sungai dengan volume air yang tinggi. Karena irigasi ini masih sifatnya swakelola, maka masyarakat setiap tahunnya selalu memperbaikinya, atau membuatnya yang baru, karena setiap saat saluran itu hilang akibat disapuh banjir longsoran lumpur dan batu.
 Ajjuru-juru : Yaitu upacara ritual dilakukan ketika padi mulai memperlihatkan buah, batang-batang padi mulai hamil
 Apparimbua : Yaitu ketika petani memulai hari pertamanya membajak. Semua petani di Kampung Limbua membajak sawahnya dengan menggunakan sapi secara gotong royong. Mereka dilarang menggunakan traktor atau alat bajak canggih lainnya.
 Pesta Panen : Yaitu dilakukan setelah selesai mengambil padinya di sawah, artinya pesta ini dilakukan ketika tidak ada lagi batang-batang padi yang berdiri di sawah.

Masyarakat masih mempertahankan beberapa padi lokal, seperti parelompoa atau pare 8, pare pulu’ (padi ini ada hitam dan putih). Cirinya, batang padi lebih tinggi dari ‘pada modern’, dan ketika dipanen masih menggunakan anai-anai, dan setelah tiba di rumah sengaja di simpan dalam waktu yang lama. Ketika dibutuhkan, padi ini ditumbuk dengan alu / lesung, mereka sengaja tidak mau membawanya ke pabrik padi, karena dinilai tidak enak dimakan.

Ketika dimasak padi ini harum dan gurih, kenyal, Harganya pun di pasar cukup tinggi di pasar lokal, yaitu :
 Parelompoa : Rp 4.500 perliter
 Beras biasa / pertanian : Rp 3.000 perliter.

Juga keistimewaan padi katto ini (ketika dipanen pakai anai-anai), bukan di dros (cara panen modern sekarang), sehingga nampak berbedaan ketika sudah dimasak (dalam panji) :
 Ketika dimasak parelompa : 1 liter
 Berbanding padi biasa ketika dimasak : 1,5 liter

Selain dengan sistem pertanian yang masih tradisional, masyarakat Limbua juga sudah mulai kembali menggunakan pupuk kompos. Saat ini melalui Yayasan WaKIL, mereka mendirikan pabrik pupuk kompos dengan bahan baku dari batang jerami, sehingga musim-musim sawah mendatang sudah mulai menggunakan pupuk buatan sendiri ini. Dan berdasarkan hasil uji coba, hasil panen mereka tidak berbeda nilai produksinya dengan menggunakan pupuk anorganik (buatau pabrikan besar) dengan pupuk kompos, sehingga lambat laun mereka sudah mulai menerapkan pertanian organik.

Disamping itu, masyarakat atau kelompok juga tengah merencanakan budidaya belut, yang dilakukan selama ini baru pada sistem mina padi, yaitu memilihara ikan (ikan emas) di areal persawahan mereka ketika padi mulai tumbuh dan dipanen ikan itu sebelum panen padi. Namun untuk bubidaya belut, baru pada tahap percobaan, karena mereka belum mengerti betul sistem budidayanya, utamanya pasarnya.

Tetapi yang mengkhawatirkan kelompok ini adalah ancaman banjir lumpur dan batu yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan persawahan mereka. Disamping itu, mereka belum memiliki sistem saluran irigasi yang permanen, karena biaya saluran ini diluar jangkauan pendapatan petani, karena membutuhkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. (teks : s.darampa, foto-foto :SCPublishing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi