SC Office : Jln.Pampang I, No.23C, Makassar - Sulawesi Selatan. Mobile : 081341640799. FB : Sulawesi Channel. Email : sulawesichannelnews@yahoo.co.id.

Selasa, 27 Juli 2010

Naskah Buton, Peninggalan Sejarah yang Mulai Hilang

Bau-Bau, (KBSC)
Sejak dahulu kala, Kesultanan Buton memang sudah terkenal dimana-mana, kebudayaannya yang  tinggi masih terlihat hingga saat ini. Salah satu bukti peninggalan kebudayaan Buton yang masih ada hingga saat ini adalah naskah-naskah kuno.

Naskah-naskah kuno tersebut masih tersimpan di dalam keraton Buton yang dijaga oleh keturunan kesultanan Buton secara turun temurun. Akan tetapi dalam perjalanannya ada juga naskah kuno yang hilang tanpa diketahui keberadaannya.

Dalam naskah kuno tersebut berbagai infrormasi mengenai kebesaran dan kejayaan kesultanan Buton pada masa lampau seperti, hukum adat, kebudayaan, pemerintahan, tokoh-tokoh intelektual, hubungan dengan bansa-bangsa lain di dunia ,sejarah Buton dimasa lampau termasuk berbagai aspek kehidupan lainnya yang terekam dalam naskah-naskah tersebut.

Menurut  Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa) Sultra Prof. Dr. La Niampe, M.Hum bahwa naskah-naskah kuno dapat dipandang sebagai alat komunikasi yang hidup yang dapat menghubungkan antara kehidupan masa lampau dan masa sekarang serta masa yang akan datang.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh para ahli sejarah, naskah-naskah Buton ditulis dalam berbagai bahasa (Arab, Melayu dan Wolio), namun ada juga yang ditulis dengan menggunakan kombinasi Arab-Melayu (Jawi) dan Arab Wolio atau dalam bahasa Buton di sebut Buri Wolio.

Para penulis atau pengarang naskah kuno ini adalah para tokoh intelektual Buton pada zamannya, diantaranya adalah, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al-Buthuni, Syeikh Haji Abdul Gani bin Abdullah Al-Buthuni, Abdul Khalik Maa Saadi Al-Buthuni, Haji Abdul Rahim bin Muhammad Idrus Kaimuddin Al Buthuni, La Kobu, Wa Ode Samarati dan Haji Abdul Hadi.

Para penulis naskah Buton ini telah menghasilkan berbagai karya, bahkan hasil karya mereka tidak kalah produktifnya dengan pengarang dari Melayu maupun pengarang dari Arab seperti Hamzah Fansuri, Abdul Samad Al-Palimbani, Syeikh Muhammad Ibnu Syeikh Abdil Karim dan Haji Abdullah bin Nuh.

Naskah Buton yang masih tersisa saat ini umumnya terbuat dari kertas buatan Eropa yang bercap Concordia, Lion Medallion dan Propatria keluaran pabrik abad ke-18 dan ke-19. Sekarang ini kondisi kertas-kertas tersebu sudah dalam taraf yang sangat mengkhawatirkan, selain karena umurnya yang sudah ratusan tahun, juga karena perawatannya yang kurang memadai. Bahkan sebagian sudah rusak karena lembab, dimakan anai-anai dan terkena percikan kertas.

Dengan demikian, dikhawatirkan segala informasi penting dari naskah kuno tersebut dalam waktu yang tidak lama lagi akan menjadi kenangan bagi generasi selanjutnya. Ironisnya generasi Buton yang dapat membaca naskah-naskah tersebut sudah mulai langka, terutama disebabkan karena bahasa dan aksara yang digunakan semakin asing dalam kehidupan mereka.

“perlu perhatian serius dari pemerintah kota Bau-Bau untuk menyelamatkan naskah kuno Buton, salah satu yang perlu dilakukan adalah menyelamatkan naskah yang tersisa dengan menggunakan scan digital agar naskah kuno yang sudah rusak bisa disimpan dalam bentuk digital atau dicetak kembali dengan kertas baru, sehingga naskah kuno tersebut bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya.” Ungkap Prof. La Niampe.

Minimnya generasi muda yang sudah tidak dapat lagi menterjemahkan naskah Buton, mengakibatkan kelangkaan peredaran buku-buku  terjemahan  dari naskah Buton. Selain itu, para penterjemah sudah banyak yang meninggal dunia.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa) Sultra untuk menyelamatkan kelangkaan peredaran buku-buku tersebut  dengan memperkenalkan buku baru yang bersumber dari naskah Buton. Buku-buku itu di sunting oleh Prof. Dr. La Niampe, M.Hum.

Buku yang baru diluncurkan itu diantaranya Syair Ajonga Inda Malusa karangan Haji Abdul Ganiu pada abad ke-19, naskah asli berbentuk puisi dalam bahasa wolio dengan menggunakan aksara Arab-Wolio (Buri Wolio). Secara umum buku ini membiarakan berbagai hal seperti, agama, budi pekerti, hukum adat dan sistem pemerintah.

Selain itu juga diterbitkan beberapa buku yang juga bersumber dari naskah Buton seperti, Undang-Undang Buton Versi Muhammad Idrus Kaimuddin, Silsilah Bangsawan Buton yang ditulis oleh La Mbia Maa Hadia yang merupakan Menteri Baaluwu, Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu Badaruddin Al-Buthuni yang ditulis pada awal abad ke-19, Undang-Undang Buton Versi Muhammad Isa, Nasihat Syeikh Haji Abdul Gani dan buku terakhir adalah Hikayat Negeri Buton (Sastra Sejarah) yang bersumber dari Hikayat Sipajongan yang ditulis oleh salah seorang saudagar dari Banjar pada tahun 1267 Hijriyah atau tahun 1850 Masehi.

“kiranya buku ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan masyarakat Buton pada umumnya dan masyarakat terpelajar atau akademisi pada khususnya. Selain itu juga, kiranya buku buku ini dapat menambah koleksi perpustakaan sekolah, mulai dari SD hingga SLTA yang berada di wilayah Kesultanan Buton,” tutur Prof. La Niampe.

Pria yang meraih gelar doktor dan guru besar (professor) bidang ilmu Naskah Buton dan Filologi Buton ini mengaku bahwa penyebarluasan buku-buku ini bukan semata-mata untuk tujuan komersial, akan tetapi lebih memperkenalkan cara pengkajian naskah dengan menggunakan metode filologi sederhana sehingga naskah-naskah kuno yang semula menggunakan bahasa dan aksara yang asing bagi kalangan pembaca menjadi buku ilmiah popular yang dapat dikosumsi atau dibaca oleh masyarakat umum serta dapat digunakan sebagai sumber ilmu pengetahuan. (nining)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ini adalah bagian dari upaya transformasi informasi